Selasa, 09 Maret 2021

Santri Setan Berbulu


Santri Setan Berbulu
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pembayaran SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) yang naik dari Rp 20.000 menjadi Rp 28.000 per bulan, ternyata berbuntut panjang.  Ada segelintir santri marah.  Mereka tidak setuju dengan kenaikan pembayaran.  Kelompok ini melakukan aktivitas kreatif secara negatif.  Sasarannya yakni ustaz Saifullah selaku pimpinan kampus.
     Usai shalat Shubuh pada Senin, 9 Mei 1983, ustaz Saifullah tampil di masjid.  Ia geram gara-gara rumahnya dilempari bila malam.  Pelemparan sudah berlangsung beberapa malam.  Rumah ustaz Saifullah terletak di sisi 20 toilet.
     Rumah ini dulu disebut mes untuk menampung santri.  Setelah ustaz Saifullah pindah ke samping ruang pimpinan kampus, griya itu menjadi Wisma Guru.  Di Wisma Guru inilah saya sempat dititip karena dianggap nakal.  Selama tinggal di Wisma Guru, justru saya bertambah badung.  Bahkan, kenakalan makin beringas.  Pasalnya, qismul aman (seksi keamanan) tidak berani ke Wisma Guru.  Ustaz Kadir Massoweang serta ustaz Kadir Kasim yang juga tinggal di situ, malahan sering saya akali agar bebas merdeka.
     Usai Dhuhur, AR Muhammad yang merupakan wakil direktur pesantren memberi pengarahan perihal SPP.  Puncaknya sesudah Maghrib.  Ayahanda tercinta Haji Fadeli Luran, marah.
     Kami para santri gedebak-gedebuk.  Jantung zig-zag seolah mau copot.  Baru kali ini Abuna terlihat sangat emosional.  Kami dituding tidak sopan karena melakukan manuver tidak terpuji.  Saking murkanya, santri dicemooh dengan istilah "setan berbulu".  Di kampung saya di Sidrap, istilah "setan berbulu" (setang mabbulu-bulu) ditujukan untuk orang yang keterlaluan kurang ajarnya.
     Tidak bisa dipungkiri, santri telah melakukan tindakan tidak senonoh.  Kami picik dengan pikiran sendiri.  Melempar rumah ustaz Saifullah jelas tidak mengubah SPP.  Siapa pelaku pelemparan?  Sampai hari ini tetap misterius.  Mungkinkah pelakunya memang setan berbulu?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People