Senin, 22 Maret 2021

Menghitung Detik Kepergian



 Ustaz H Saifullah MS
Menghitung Detik Kepergian
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pada Rabu, 20 Januari 2010, ustaz Saifullah dibawa ke Rumah Sakit Islam Faisal oleh ketiga putrinya.  Ia mengalami gejala penyempitan pembuluh darah.  Penyakit ini beresiko menyumbat pembuluh darah di area jantung.  Ia dilanda pula kondisi darurat akibat kadar gula naik-turun, menjauh dari batas normal.
     Di bilik rumah sakit, hidung ustaz Saifullah dipasangi nasal kanul.  Alat bantu pernafasan sebagai terapi oksigen.  Di lengannya pun terpasang selang infus.
     Pagi pada Kamis, 21 Januari 2010, ustaz Saifullah berangsur membaik.  Ia tampak bahagia di antara istri bersama tiga putrinya.  Ustaz Saifullah juga berbinar cerah mendengar Munib Bina akan membezuknya.  Munib merupakan adik.
     Siang hari, ustaz Saifullah terlonjak memandang Munib.  Keduanya tersenyum penuh kegembiraan.  Mereka pun bercengkerama.
     Selepas pukul 24.00, perlahan merayap Jumat, 22 Januari 2010.  Detik berdetak seiring sepoi angin.  Semua terlelap pulas kala sang waktu berdenting dari hitungan ke hitungan.
     Keheningan pecah.  Sayup-sayup terdengar nafas berat ustaz Saifullah.  Ia sesak nafas.  Kondisi fisiknya terus menurun.  Senyum yang tadi siang mekar-merekah, mulai surut.  Kakinya yang pernah tangkas mengembara dalam pengabdian, tampak luruh.  Wajahnya yang dulu bak pelangi elok, kini pudar ditinggal pesona.
     Kamar sontak riuh, semua terbangun dalam kepanikan.  Wati, putri sulungnya bergegas mencari suster.  Menjelang pukul 03.00, ustaz Saifullah menampakkan tanda sakratulmaut.  Rasa sakit menyerang jiwa, menjalar ke segenap tubuh dari jari kaki ke ubun-ubun.
     Munib bersama Ibu Nuhaerah bergegas menuntun ustaz Saifullah membaca kalimat tauhid.  "La ilaha illallah muhammadar rasulullah" merupakan bekal utama di akhir hayat.
     Naza' ustaz Saifullah hanya hinggap sekejap.  Berbeda dengan hamba lain yang prosesnya cukup lama atau lama sekali.
     Ustaz Saifullah menghembuskan nafas terakhir sebelum kokok ayam membangunkan jemaah subuh Jumat.  Legenda Pesantren IMMIM tersebut berpulang.  Kedisiplinan, ketegasan serta keikhlasannya tinggal kenangan dalam trayek sejarah.  Raganya sekarang terkulai, tanpa nyawa.  Ia layu, tak sanggup lagi berkembang.  Ustaz Saifullah menuju ke Tuhannya di tengah keluarga tercinta yang dirintisnya sejak 1981.  Kini, episode petualangannya tamat dalam pertarungan terakhir.  Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
     Ustaz Saifullah termasuk golongan annasyithati nasytha, insan yang sakratulmautnya lembut sebagaimana teks Ilahi an-Naziat ayat 2.  Naza' yang dialami singkat.  Bahkan, kepergiannya dikitari oleh orang-orang yang dikasihinya.  Sebuah kematian yang begitu indah.  Perpisahan yang manis dikenang.

Ortodoks Monoton
     Di Pesantren IMMIM, pengabdian ustaz Saifullah melampaui imajinasi.  Pesantren bergelora dalam adab terpuji berkat rantai aturan yang terus-menerus diputar oleh ustaz Saifullah.  Ritme inilah yang memproduksi santri dengan energi baru.  Elemen ini selaras teori Yuval Noah Harari: "pengetahuan baru mesti mengarah ke perilaku baru".
     Ustaz Saifullah membimbing santri untuk bersatu, namun, beragam dalam berpikir.  Ia kunci sukses bagi santri untuk melangkah ke arah positif dengan cara taat aturan.  Ustaz Saifullah menyusun formula agar santri siap pakai di mana saja, kapan saja atau saat ini juga.
     Dari seluruh santri, saya termasuk paling sering bersinggungan dengan ustaz Saifullah gara-gara kenakalan.  Pelanggaran terbesar saya yakni bolos ke bioskop.
     Pada Rabu, 13 Oktober 1983, terdengar kabar kalau ustaz Saifullah sakit.  Dadanya bermasalah.  Walau sakit, tetapi, ketertiban pesantren tetap terkontrol.  Ini tidak berlaku bagi saya.
     Malam sehabis belajar bahasa Inggris di kelas, saya, Ahmad Natser (Angkatan 86) bersama Zulkifli (Angkatan 86) ke kota.  Kami bonceng tiga menunggang vespa milik Baharuddin, mantri pesantren.  Kami sekedar jalan-jalan ke bioskop, tidak nonton.  Dari New Artis kemudian ke Mitra terus ke Rusa.
     Dalam soal bolos, saya termaktub santri ortodoks, tidak kreatif.  Sekalipun monoton, namun, tak pernah mengalami kesulitan level dewa.  Tidak pernah tertangkap basah atau digundul.  Saya tak sudi menunggu situasi yang menguntungkan untuk bolos.  Soalnya, sihir Hollywood nan berkilau cemerlang tanpa jeda menyilaukan hasrat hati.  Selalu timbul kehendak nekat untuk bolos demi menghibur diri di bioskop.
     Jika ingin pulang, saya langsung loncat pagar.  Sementara teman lain punya gaya, tidak bergerak vulgar.
     "Ustaz Saifullah takut lihat darah.  Trik saya ketika mau pulang ialah mengiris ujung jari dengan silet.  Tanpa pertanyaan, ia langsung memberiku izin.  Trik ini tak ampuh lagi saya gunakan untuk kedua kali. Ustaz Saifullah mafhum ini tiada lain aksi tipu-tipu", ungkap Farid Azhari (Angkatan 90) yang sekarang guru di SMA Papua.
     "Tatkala kelas II, saya rindu pulang.  Sayang, jatah izin belum genap.  Saya lantas memberanikan diri menghadap ustaz Saifullah.  Saya berasalan sakit gigi.  Ia pun memberi izin karena melihat pipiku bengkak.  Padahal, di balik pipi itu saya taruh kertas", ujar Tahir Mana (Angkatan 86) yang kini mengabdi di Kementerian Agama Kabupaten Sidrap.
     Para santri yang tekun mengikuti pelajaran ustaz Saifullah, senantiasa puas.  Mereka laksana buku yang baru dicetak tadi malam.  Maklum, ustaz Saifullah membagikan ilmu ke segenap santri, sama rata tanpa pengecualian.
     "Ustaz Saifullah merupakan sosok guru bahasa Arab yang begitu membekas di kalbu sampai sekarang.  Saya tidak bisa lupa az-zi'bu war-raa'iy (Serigala dan Penggembala) dalam pelajaran al-Mutala'ah", papar Abrijal Dwiputra (Angkatan 90) yang berkarier di perusahaan swasta.

Kontrol Bilik
     Tengah malam pada Rabu, 3 Agustus 1983, tiba-tiba ustaz Saifullah muncul di Rayon Pangeran Diponegoro.  Saya kelabakan menyaksikan inspeksi mendadak ini.  Apalagi, tadi bolos ke kota.   Ustaz Saifullah mengomandani pembina mengontrol kamar di tiap asrama.  Ia ulet mengintip 24 jam dalam sepekan saban bulan selama setahun.
     "All time only for santri.  Ustaz Saifullah bekerja 24 jam untuk pesantren.  Ia selalu hadir di mana saja dalam zona pesantren.  Saat kelas III, saya bersama teman-teman belajar sejak pukul 03.00.  Sebab, ada ulangan di pagi nanti.  Tak disangka, ustaz Saifullah mengintip kami sedang belajar dari jendela samping mihrab", tutur Fuad Mahfuz Azuz (Angkatan 86) yang kini ketua Yayasan SMK al-Wathan Ambon.
     "Ustaz Saifullah sering bergerak bagai intelijen dalam mengawas serta melacak santri pelanggar aturan", ujar Lukman Sanusi (Angkatan 86) yang sekarang menakhodai Gedung IMMIM.
     "Ustaz Saifullah merupakan pembina yang saya segani.  Saya menghormati setulus hati.  Sebab, ia baik hati", ujar Muaz Yahya (Angkatan 86), arsitek ternama di Makassar.
     Ustaz Saifullah merupakan ikon Pesantren IMMIM selama dua dekade.  Ia simbol yang tidak dapat tersaingi atau dipalsukan.  Nama besarnya tak pudar kendati zaman berubah generasi berganti.
     "Menghadapi musuh saya siapkan siasat.
Menghadapi lawan saya berlatih tanpa kenal lelah.
Menghadapi ujian saya belajar lembar demi lembar kitab pengetahuan.
Segala energi spirit sirna bila tergiang nama ustaz Saifullah", tegas Mahmuddin Akil (Angkatan 88) yang berprofesi pengusaha.

Narasumber
Indah Fatmawati
Foto
Dokumentasi Indah Fatnawati

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People