Ustaz H Saifullah MS
Mengabdi dalam Keikhlasan
Oleh Abdul Haris Booegies
Selama dua dekade sejak 1980 sampai di ambang milenium ketiga tahun 2000, nama ustaz Haji Saifullah Mangun Sumito identik dengan Pesantren IMMIM. Ia ikon berkat ketegasan dan kedisiplinan dalam membina santri. Ustaz Saifullah tiada bandingnya dalam skala ketenaran di Pesantren IMMIM.
Jasa terbesar ustaz Saifullah yaitu menularkan bahasa Arab. Semua alumni sejak 1981 sampai 2000, sanggup berbahasa Arab karena kegigihan ustaz Saifullah. Sebab, ia menanamkan benih awal bahasa Arab. Saban hari, ustaz Saifullah bekerja memperbaiki stagnasi agar kapasitas santri tidak berada di bawah standar.
Ustaz Saifullah mengabdikan loyalitas setulus hati untuk pesantren. Ia terus bergerak demi keunggulan santri dalam percaturan pendidikan. Ustaz Saifullah bekerja untuk masa depan. Ia memobilisasi segenap akal serta nurani demi memacu energi dahsyat santri. Ilmu yang dicurahkan merembes deras, menganak sungai di gerbang masa depan.
Tiap subuh selama setahun, santri kelas I diajar al-Lughatul Arabiyah lil Muhadatsatil Yawmiyah. Mereka dituntut memahami teks-teks berbahasa Arab. Pelajaran ini mencakup fiil madhi, fiil mudhari, fiil amar dan isim. Al-Muhadatsatil Yaum ini dilandasi kisah inspiratif yang memuat petuah positif.
Ustaz Saifullah merupakan pribadi yang menyenangkan. Ia tegas, namun, selalu menghindari konfrontasi. Ustaz Saifullah membina, bukan membinasakan identitas impresif santri.
Saya berkali-kali dipanggil ustaz Saifullah gara-gara pelanggaran di kampus. Saat bernasehat supaya jangan nakal, ia begitu lembut. Durasi wejangannya acap bermenit-menit. Inilah yang membuat saya biasa terkantuk-kantuk.
Sehabis Maghrib pada Rabu, 3 Agustus 1983, saya dipanggil ustaz Saifullah. Pelanggaran yang disorot, tak mengepel di kamar. Kala diberi nasehat alim beberapa keranjang, saya gelisah bin geregetan. Berjinjit, seolah ujung jari kaki saja yang berjejak. Soalnya, saya berniat bolos ke Mitra untuk nonton Companeros. Film ini dibintangi Franco Nero, Tomas Milian serta Jack Palance.
Saya telat tiba di bioskop. Film telah diputar 30 menit yang lalu. Saya menyesali nasib. Tadi terlalu lama dinasehati agar jangan lagi melanggar aturan pesantren.
Selama lima setengah tahun bersama ustaz Saifullah, meruyak ragam suka-duka. Rindu-benci berkelindan. Sampai hari ini, sering terkenang ciri ustaz Saifullah kalau memarahi saya. Ia mengulang dua kali sebuah kalimat dalam satu tarikan nafas. "Haris ini nakal! Haris ini nakal!" atau "Haris ini sudah rawan! Haris ini sudah rawan!"
Tatkala masih di pesantren, saya mafhum jika ustaz Saifullah menyayangi kami. Buktinya, ia menghibur santri dengan memutar film di aula pada Ahad, 14 Agustus 1983. Film mengenai lima orang yang mengerut laksana liliput. Mungkin mirip Land of the Giants. Saya tidak ke aula nonton lantaran film ini pernah diputar ketika kelas II.
Ustaz Saifullah tergolong pembina yang mau mendengar keluhan santri. Pada Kamis, 4 Agustus 1983, saya menemuinya. Saya sampaikan bila enggan di ranjang nomor 14 Rayon Pangeran Diponegoro. Saya menghendaki ranjang 25. Dalam bincang yang enteng tersebut, ustaz Saifullah setuju. Sesampai di kamar, saya memilih ranjang 28 yang memang saya incar, bukan 25. Aneh, lain saya minta, lain saya mau. Saya terkadang sedikit gila usai bersua pimpinan kampus.
Ustaz Saifullah lahir di Kediri pada 24 September 1949. Ia alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor. Ustaz Saifullah kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab UIN Alauddin.
Menjelang akhir 1981, kami sesama santri saling berbisik tentang pernikahan ustaz Saifullah. Nama istrinya Nuhaerah Lambong, gadis Pinrang.
Nama Nuhaerah biasa saya dengar. Ia misan dari sepupu saya. Nuhaerah merupakan adik Muhammad Badawi Lambong, menantu Haji Fadeli Luran.
Selesai Isya, terdengar deru mobil memasuki pesantren. Kami tersentak, pasti pengantin datang. Saya bersama sekitar 50 santri berlari ke arah rumah ustaz Saifullah di sisi ruang pimpinan kampus. Ini acara mapparola (mempelai wanita diantar ke rumah pengantin pria).
Ustaz Saifullah tampak bahagia. Kami juga gembira. Saat ustaz Saifullah dibimbing masuk ke rumah, santri sontak bersorak. Rumah mungil itu sesak, bergetar oleh tetamu Bugis. Pengantin lantas dikawal ke aula.
Ketika rombongan menuju aula, Askar Azhari (Angkatan 85) mendendangkan melodi Si Unyil. Sebagian santri mengikuti irama Si Unyil. Mendadak suasana riuh. Saya tersenyum melihat lagak canda teman.
Saya bercelana pendek turut masuk ke aula. Bertemu dengan beberapa keluarga. Hafsah sempat menanyakan keadaan saya. Ia sepupu. Saat tamu meninggalkan aula, Hafsah memberiku seiris bolu.
Dari pernikahan ini, ustaz Saifullah dikaruniai tiga putri; Indah Fatmawati, Nurlaila Maisarah dan Azizah Kumalasari.
Berikut kompilasi frasa kontemplatif sejumlah alumni Pesantren IMMIM yang pernah berinteraksi dengan ustaz Saifullah. Nama alumni disusun secara alfabetik.
"Saya suka metode mengajar ustaz Saifullah. Pernah ketika selesai menerangkan al-Mutala'ah, ia menyuruhku menjelaskan ulang. Lumayan, saya berhasil".
Ahmad Hidayat (Angkatan 86)
"Saya acap terkenang ustaz Saifullah saat melontarkan ucapan "masbuq nasbuq nasbuq". Ini karena segelintir santri masih melakukan aktivitas yang mengakibatkan terlambat ikut rakaat pertama atau seluruhya".
Ahmad Natser (Angkatan 86)
"Tipe ustaz Saifullah yakni tegas. Sangat disiplin membimbing santri untuk menelaah pelajaran".
Andi Rijal (Angkatan 89)
"Ustaz Saifullah merupakan insan ikhlas. Ia pribadi nan unik".
Awaluddin Mustafa (Angkatan 86)
"Ustaz Saifullah merupakan guru, pembina sekaligus orangtua di pondok. Ia berdisiplin serta berkualitas prima".
Haeruddin Masyhur (Angkatan 89)
"Ustaz Saifullah merupakan orang yang teramat ikhlas mengabdi. Ia pun sangat disiplin dalam bekerja".
Lukman Sanusi (Angkatan 86).
"Ustaz Saifullah merupakan anugerah bagi saya. Ia membimbing kami penuh perhatian. Ustaz Saifullah tegas. Berdedikasi tinggi".
Mahmuddin Akil (Angkatan 88).
"Ustaz Saifullah membuat kami mahir dalam darsul al-Mutala'ah (bacaan bahasa Arab) dalam program Kulliyatul Muallimin wal Muallimat al-Islamiyah".
Sabri Suddin (Angkatan 90)
Narasumber
Lukman Sanusi
Indah Fatmawati
Foto dokumentasi Indah Fatmawati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar