Oleh Abdul Haris Booegies
Suasana Pesantren IMMIM terlihat gilang-gemilang bagai bintang-gemintang pada Ahad, 24 Juli 1983. Hari ini berlangsung acara penerimaan santri baru. Tunas baru yang diharap bergerak ke arah aura seterang kristal. Sementara santri lama juga terlihat segar bak makhluk minus dosa dengan energi membumbung. Sebab, dua hari lalu balik lagi ke kampus usai libur Ramadan.
Saat saya mondar-mandir mencari perhatian demi secercah sanjungan, mendadak ustaz Saifullah memanggil. Ia menyuruh membeli rol film. Ustaz Saifullah hendak merangkum rangkaian momen dengan merekam selaksa citra. Hatta, tidak terselubung dalam endapan misteri.
"Ini uang", ujar ustaz Saifullah sembari menyodorkan Rp 4.000 dan kunci motornya.
Saya keluarkan motor. Suara motor ini selalu memekakkan telinga. Kalau motor dibunyikan di depan ruang pimpinan kampus, dijamin penghuni Rayon Datuk Ribandang serta Rayon Sultan Hasanuddin leluasa mengupingnya.
Kami senantiasa gembira bila mendengar raung motor ustaz Saifullah. Pasalnya, ia pasti berangkat ke suatu tempat. Ini berarti pengawasan di pesantren berkurang. Santri badung sontak beringas.
Sejak dulu saya menamakan motor ini helikopter. Saking bisingnya, jika dibunyikan di depan ruang majelis guru, maka, terdengar di dapur. Jadi, desing "helikopter pesantren" ini enteng terdeteksi dari jarak 100 meter.
Motor ini selain menggelegar, alot pula bukan kepalang. Repot sekali distarter. Inilah yang saya alami sekarang. Berkali-kali distarter, tetap malas bunyi. Kalau distarter, hanya terdengar letupan halus persis kentut kambing perawan.
Teman ogah membantu menstarter motor. Maklum, ini motor pimpinan kampus. Menyentuh pun mereka segan. Tak kunjung bunyi membuat saya mendorongnya kembali masuk ke aula.
Saya mengajak Andi Syamsir Patunru ke kota beli rol. Kami naik mikrolet (petepete) karena gagal menjinakkan helikopter.
Kami membeli rol yang berhadiah sisir seharga Rp 2.750. Sisir diambil Syamsir. Ongkos mikrolet pergi-pulang untuk dua orang Rp 650. Sisa uang dari Rp 4.000 berjumlah Rp 600.
Tiba di pesantren, saya bergegas memberi rol kepada ustaz Saifullah. Kelebihan duit Rp 600, tetap saya kantongi. "Sekali-sekala santri mengakali pimpinan kampus tidak dilarang", gumam kalbu saya yang merestui mufakat curang ini.
Uang Rp 600 sangat besar nilainya di masa itu. Sebagai perumpamaan, martabak biasa berharga Rp 150. Di tarikh 2021, harganya Rp 15.000. Martabak istimewa dibandrol Rp 750 pada 1983. Di dekade ketiga milenium ketiga ini berharga Rp 100.000. Uang Rp 600 bisa dipakai nonton dua kali di bioskop Jaya. Sebab, HTM (harga tanda masuk) alias karcis cuma Rp 300.
Pada Senin, 15 Maret 2021, saya menyimak lembar demi lembar buku harian. Saya tersentak perihal duit Rp 600. Saya menerawang, bagaimana mungkin saya mengibuli ustaz Saifullah. Ini perbuatan tercela yang dilakukan santri.
Saya membatin, barangkali di kalimat tersebut saya lupa tulis "telah mengembalikan uang ustaz Saifullah". Bisa jadi juga tinta pulpen habis. Akibatnya, batal menulis "sudah mengembalikan duit ustaz Saifullah". Kemungkinan lain, typo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar