Selasa, 08 November 2022

Santri Sultan


Santri Sultan
Oleh Abdul Haris Booegies


     Di Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM, santri berbaur satu warna satu identitas.  Kami dididik berdisiplin tinggi.  Empati ditumbuhkan.  Solider dikembangkan.
     Dalam kehidupan sosial di pondok, santri mutlak sependirian di atas asas setia kawan.  Dalam suka, cuka serasa madu.  Dalam duka, madu terasa cuka.
     Menjelang akhir 1980, tiga bulan sesudah menjadi santri.  Kami sedang belajar bahasa Arab di masjid bakda Ashar.  Hujan deras kemudian mengucur dari langit.  Pembina sekaligus guru bahasa Arab lantas menyuruh seorang santri mengambil mug jumbo di kamar.  Mug vintage bermotif kembang tersebut lalu ditaruh di depan masjid demi menampung air hujan.
     Sampai hujan reda, mug besi cuma terisi setengah.  Sang ustaz kemudian menyuruh santri di barisan depan untuk mereguk air hujan.  Sebilang santri di saf pertama meminumnya seteguk secara bergilir.
     Saya bergidik akibat penjijik.  Geli campur deg-degan.  Rupanya tujuan menenggak air ini ialah untuk menghapus rasa jijik.  Satu mug bergantian diseruput oleh puluhan santri.  Tidak aneh kalau kelas II ke atas, memakai satu gelas beramai-ramai.  Berpindah dari mulut ke mulut tanpa dicuci.  Apalagi, tak semua santri memiliki gelas atau mug.
     Prinsip sama merek sama mutu di pondok menjadi jati diri.  Walau santri seia sekata tanpa perbedaan kasta, namun, tetap terbentang perbedaan.
     Di Pesantren IMMIM pada era 80-an, kentara terlihat santri pedalaman, santri kota serta santri sultan.
     Santri pedalaman tampak sabar dan kaku dalam bergaul.  Bila bertemu santri sekampung, mereka sontak bercakap-cakap menggunakan bahasa daerah.  Ibarat suami-istri yang baru bersua setelah terpisah berbulan-bulan.
     Santri kota bergaya dinamis.  Terkadang sok tahu.  Dalam obrolan di kamar atau di kelas, santri kota paling bawel.
     Santri sultan alias pelajar Islam bertipe crazy rich selalu tampil santai.  Bahkan, acap cuek.  Enteng diidentifikasi berkat berbusana rapi dengan arloji melilit di tangan.  Jika ke dapur, ia membawa sendok serta gelas atau mug.  Santri sultan pasti punya termos di kamar.
     Sandal jepit santri sultan senantiasa terlihat baru.  Soalnya, begitu hilang, ia langsung membeli.  Mustahil santri sultan mengenakan sandal jepit dua warna kalau alas kakinya hilang.
     Santri lain dengan gagah berani rela memakai sandal dua warna.  Sandal bagian kanan ia temukan di dekat masjid.  Sandal sebelah kiri dipungut di beranda.  Sudah dua warna, berbeda pula ukurannya.  Untung tidak ada menggunakan sandal yang sama-sama kanan atau kiri.
     Rata-rata santri sultan merupakan moviegoer (pecandu film)  Hingga, doyan membeli koran dan majalah.  Hai merupakan media populer di jagat santri sultan.
     Pada Senin, 7 November 1983, tatkala kelas IV, saya dipindahkan ke Wisma Guru.  Di sana bermukim Mukbil, santri kelas III.  Mukbil bersahabat dengan Andi Rezky Rohadian yang kelas II.  Anak ini termasuk santri sultan dari kalangan ningrat.  Sebab, menyandang nama "andi" yang bermakna dari klan darah biru.
     Dari hari ke hari, saya pun akrab dengan Rezky.  Ia memanggilku "Ris".  Rezky rupanya moviegoer level dewa.  Arkian, doyan mencerna tumpukan media hiburanku semacam Varianada, Variasi, Video, Team atau Ria Film.  Tentu juga Vista, kitab suciku di pesantren.
     Rezky sesungguhnya bukan tandem idealku bila kabur dari pesantren menuju bioskop.  Bocah ini polos.  Tubuhnya tak kekar pula.  Saya khawatir ia dicabik-cabik sekerat demi sekerat oleh algojo qismul amni (seksi keamanan pesantren) jika ketahuan bolos.

Senin, 28 November 1983
     Usai Magrib, saya bersama Rezky menerobos derasnya hujan.  Kami kabur dari pesantren menuju bioskop Paramount.  Tiba di Sentral, mampir di Indah Jaya untuk membeli beberapa majalah film.
     Di Paramount, kami nonton Angels with the Golden Guns.  Judul orisinalnya yakni Virgin Apocalypse.  Di sejumlah negara bertitel Terror in a Woman's Prison atau Anger.  Drama aksi yang dirilis pada 21 Mei 1981 ini dibintangi Eva Bissett, Gigi Bovee, Emma Yeung, Loretta Leone, Lau Hok Nin, Danny Law serta Ang Saan.  Berkisah tentang tiga gadis cantik yang disekap.

Selasa, 27 Desember 1983
     Rezky hampir saban hari ke bilikku di Wisma Guru di Jalan Bugis, dekat 20 toilet.  Di mes guru yang dulu bernama Asrama Ayatollah Khomeini ini, populasinya hanya dua santri.  Saya dengan Mukbil ditempatkan di Wisma Guru gara-gara ditengarai badung.  Kami seatap ustaz Abdul Kadir Massoweang, wakil pimpinan kampus.  Belakangan, KH Abdul Kadir Kasyim ikut menetap.
     Rezky senang ke ruang pribadiku karena leluasa membaca majalah.  Puluhan media saya koleksi.  Saya juga membawa radio tape recorder dan sekitar 100 kaset.  Kendati serumah dengan wakil pimpinan kampus, tetapi, saya justru bebas.  Qismul amni tidak berani datang mencatat pelanggaranku.  Tiap bolos ke kota, saya dikira sudah dapat izin dari duo Abdul Kadir.
     Suasana bebas tanpa aturan ini, rupanya disuka Rezky.  Hatta, ia merasa tenteram berkunjung ke Wisma Guru.  Selain membaca ulasan artis serta film, Rezky membolak-balik pula Hai.  Di majalah remaja itu, ia sempat membaca cerpen kocak karya novelis Eddy D Iskandar.  Cerpen berjudul Turmini Karta Legawa Telah Tiada tersebut dimuat di Hai edisi 22 November 1983.
     Sore ini, Rezky mengajakku ke kota.  Ia hendak memanjakan mata memandang keramaian.  Rezky berniat menyegarkan pikiran.  Pasalnya, besok kami semester.  Pertama kali diuji-coba di Pesantren IMMIM.  Kami libur dulu lantas ulangan.  Kemarin lusa Rezky tiba dari Bone.  Sedangkan saya tinggal di kampus selama libur.
     Setelah berwisata lokal tanpa tujuan, saya bersama Rezky, pulang ke pondok.  Sebenarnya mau nonton di bioskop, namun, burit kian buram.  Apalagi, bioskop papan atas tak ada yang memutar film kalau petang.  Kami juga gengsi ke Jaya.  Mana ada santri sultan ke bioskop kelas bawah.  Dari 17 bioskop di kota ini, cuma Jaya secara reguler memutar film pada pukul 17.00.  Ini pertunjukan kedua selewat pemutaran pertama pada pukul 15.00.

Rabu, 28 Desember 1983
     Bakda Magrib, Rezky mengajakku kabur.  Kami ke New Artis nonton Big Guns yang di Perancis bertajuk Les Grands Fusils.  Judul asli film noir (drama kriminal) Italia ini yaitu Tony Arzenta.  Film berdurasi 100 menit ini dibintangi Alain Delon, Carla Gravina, Richard Conte, Marc Porel, Roger Hanin dan Nicoletta Machiavelli.  Film yang disutradarai oleh Duccio Tessari ini meraup sukses secara komersial.

Jumat, 30 Desember 1983
     Selepas senja, Rezky memprovokasiku ke bioskop.  Kami pun kabur lagi.  Di kota, saya mencari iklan bioskop di harian Pedoman Rakyat.
     "Nah, di New Artis yang main The Cannonball Run.  Di sana saja, oke?", usul Rezky.
     Saya langsung setuju.  Ini film box office.  Tidak boleh dilewatkan, wajib tonton.  Dibintangi Burt Reynolds, Roger Moore, Dom DeLuise, Dean Martin, Sammy Davis Jr, Jackie Chan serta Farrah Fawcett.
     Dalam gedung bioskop saat duduk di kursi, Rezky menatapku dengan mengacungkan telunjuk ke wajahku.
     "Berikutnya kamu lagi yang traktir saya".
     Saya pura-pura tak mendengar ocehannya.
     "Ingat, kamu lagi yang traktir".
     Saya pun mengangguk agar ia girang.
     Malam ini, penonton berjubel menyaksikan The Cannonbal Run.  Seluruh kursi terisi.  Full house, tiket habis terjual.  Hikayat sinema komedi ini begitu seru.  Balapan liar menembus negara-negara bagian di negeri Paman Sam.  Ini betul-betul America's illegal Grand Prix.
     Selesai menonton, para pemirsa bergegas meninggalkan tempat duduk masing-masing.  Tiba-tiba Rezky berbisik panik.
     "Ada pembina pesantren".
     "Mana dia?"
     Rezky mencolekku sebagai kode.  Ekor mataku melirik ke arah sesosok figur pembina yang berjalan di lorong landai di tengah deretan kursi penonton.  Gawat ini.  Bisa rawan nasib kami di pesantren bila tepergok.
     Saya bersama Rezky akhirnya menunduk di kursi.  Seolah mencari koin yang tercecer di antara barisan bangku.
     Secara naluri, saya merasa diamati oleh pembina bersangkutan.  Wajah kami teramat jelas lantaran lampu di dalam gedung sudah dinyalakan.
     Rezky yang duduk di sebelah kiriku, mengintip ke arah kanan lewat pundakku.  Ia mengamati kepergian sang pembina.  Rezky lalu bersuara senyap jika keadaan telah aman sentosa.  Kami pun selamat!

Sabtu, 31 Desember 1983
     Sehabis Magrib, saya bersama Rezky meluncur ke kota.  Mobil dan motor tampak sangat padat, sesak sekali.  Maklum, malam tahun baru.  Lima jam lagi kami berada di tarikh 1984.
     Pukul 20.00, saya dengan Rezky sampai di Makassar Theater untuk nonton Tandes, Sorga Dunia di Pintu Neraka.  Sinema ini disutradarai oleh Henky Solaiman.  Bintangnya antara lain Meriam Bellina, Torro Margens, Rico Tampatty, Cathy Lengkong serta Yolanda.
     Sehabis menyaksikan Tandes, berjalan kaki sekitar dua kilometer ke Dewi.  Kami bakal nonton Double Cross.  Apes, kami kehabisan karcis.
     Dari Dewi, berjalan lagi kira-kira satu kilometer ke New Artis yang terletak di Jalan Gunung Lompobattang.  Kami menyusuri Jalan Gunung Bulusaraung, sekarang Jalan Jenderal M Jusuf.  Kami singgah di kios dekat bioskop untuk menyantap mi.  Ini supaya tidak kelaparan kalau bergadang sampai subuh.
     Lautan manusia terus membanjiri jalan-jalan di pusat kota.  Mobil dan motor saling menyalip.  Saling mendahului laksana mengejar detik-detik kedatangan tahun baru.
     Pukul 00.01, kala berada di tahun 1984, saya bersama Rezky melangkah ke Paramount.  Kami kembali melewati Jalan Gunung Bulusaraung.  Di Paramount, menyaksikan Angel Face Killer.
     Film yang diputar midnight show ini cukup menggairahkan.  Banyak adegan topless, telanjang dada.  Perempuan yang berlakon sebagai Lady White hampir sepanjang film tak mengenakan kutang.  Boleh jadi ia tidak memiliki pula celana dalam di rumahnya.
     Menjelang pukul 02.00, film pun tamat.  Ketika menuruni tangga depan Paramount, Rezky membisikku.
     "Wanita yang berperan Lady White itu besar teteknya".
     Saya malas menanggapi unek-unek Rezky.  Lady White memang berpostur indah dengan dada besar.  Dalam pandangan Rezky, ini tak proporsional.  Kelebihan berat.
     Saya sebetulnya juga heran, tetapi, malu membahasnya.  Mengapa payudaranya sebesar itu?  Ini mengingatkan Amy Yip, simbol seks film Hongkong.  Artis Taiwan ini bertubuh mungil, namun, buah dadanya segede buah kelapa.  Behanya ukuran jumbo.  Akibatnya, media Hongkong menjuluki Amy Yip dengan Boba (big bubble).

Selasa, 3 Januari 1984
     Pukul 17.00, badanku hangat.  Makin lama, kian panas.  Entah hantu model bagaimana yang bersemayam di Wisma Guru ini sampai satu per satu sakit.  Sederet sohib yang terhubung erat dengan saya menderita demam.
     Kemarin Mukbil didera demam.  Disusul Rezky serta Mahmuddin Achmad Akil.
     Kesehatan yang sempat terganggu dalam skala mikro, kiranya awal kehancuran masa emasku di Wisma Guru.  Pada Ahad, 22 Januari 1984, saya disuruh angkat kaki dari mes guru.  Inilah hukum besi kehidupan di pesantren, berpindah dari satu kamar ke kamar lain.  Ketidakpastian adalah bagian dari keseharian santri.
     Saya mencoba bernegosiasi, memohon kebijakan ustaz Kadir Massoweang.  Ia justru mendesakku secepatnya pergi karena ini keputusan bersama pembina.  Imbauan tegas ini terdengar mirip umpatan sheriff sangar di film koboi.  "Singkirkan bandit ini di depan mataku, dead or alive!"  Sadis banget.
     Saya akhirnya digiring ke bangsal Imam Bonjol pada Senin, 23 Januari 1984.  Ini pedepokan para raksasa.  Segenap penghuninya bertinggi di atas 160 cm.  Boleh dikata, alumni barak Imam Bonjol akan menjadi kepala geng di kamar lain.  Di Imam Bonjol inilah nasibku berlabuh.
     Sejak tinggal di Imam Bonjol, petualangan mendebarkan ke bioskop bareng Rezky, perlahan redup.  Kami seolah terpisah berkilo-kilometer jauhnya.  Dulu di Wisma Guru, saya tak pernah diadili di qismul amni.  Kini, saya kembali menjadi pelanggan setia qismul amni.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People