Santri Bolos
Oleh Abdul Haris Booegies
"Bolos terkadang perlu untuk mewarnai hidup agar bergairah" (Abdul Haris Booegies).
Alkisah di suatu pagi di ruang kelas II Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM. Kalender akademik menunjukkan tahun ajaran 1981/1982. Ustaz Laode Mangasa tengah menerangkan pelajaran administrasi.
Seorang santri kemudian meminta izin untuk ke toilet. Dalam hitungan detik, santri lain menyusul ke peturasan. Tidak berselang lama, ada lagi yang meminta izin. Begitu seterusnya sampai kelas nyaris kosong.
Ustaz Mangasa cuma bingung bin bengong. Ia berdiri dekat bangku depan dengan wajah kikuk. Tak diduga, santri pergi kencing berjamaah.
Sebagian santri kembali ke kelas. Lainnya ke kantin, memilih bolos. Di ruang kelas, santri yang dari WC terlihat lega berkat selesai buang air kecil. Ustaz Mangasa lantas memulai pelajaran dengan kalimat; "sudah semua kencing?"
Sewaktu kuliah pada 1990, saya menonton Dead Poets Society. Film drama berdurasi 128 menit ini, diproduksi pada 1989.
Hikayat bergulir seputar sepak-terjang John Keating (Robin Williams). Guru eksentrik tersebut mengajar Sastra Inggris di Wellton Academy pada era 50-an. Sekolah elite khusus putra yang setingkat Aliyah Pesantren IMMIM ini, menganut semboyan "tradisi, kehormatan, disiplin serta prestasi".
Konsep mengajar Keating tergolong unik. Misalnya, meninggalkan ruang kelas menuju taman. Di bawah naungan pohon, mereka belajar. Siswa pun terinspirasi dengan gaya pembelajaran ala Keating. Apalagi, sang guru mengarahkan mereka berpikir bebas perihal apa saja, freethinkers. Keating memperkenalkan pula istilah carpe diem yang bermakna "rebutlah kesempatan".
Merokok
"Kenangan yang tergiang tentang sekolah adalah saat bolos" (Abdul Haris Booegies).
Dari luar tembok Pesantren IMMIM, khalayak menyangka santri ditempa belajar bagai robot. Kurikulumnya pasti mengeja kata per kata dalam aksara Hijaiyah. Menghafal nama-nama nabi dan rasul. Menghafal surah-surah pendek persis anak TPA (Taman Pendidikan al-Qur'an).
Santri Pesantren IMMIM, sesungguhnya tidak berbeda dengan pelajar di sekolah lain. Ada nafsu serta cinta. Sebab, "santri juga manusia".
Dalam proses belajar-mengajar, terkadang santri merasa terdorong untuk jeda sejenak dengan cara bolos. Tujuan mereka ke kamar untuk berbaring-baring, main gitar, mendengar radio atau merokok.
Di Pesantren IMMIM, membawa radio dan merokok termaktub pelanggaran berat. Walau ada aturan, namun, santri tak kapok membawa radio. Sejak kelas II sampai VI, saya punya radio mini. Bahkan, membawa radio tape recorder sebesar bantal balita.
"Saya berkali-kali bolos dari kelas. Bolos pertama pelajaran Matematika kala kelas I. Saya bersama penghuni asrama Ayatollah Khomeini. Di bilik rumah panggung yang terbuat dari papan itu, kami merokok merek Djarum", tutur Mutalib Besan dari Angkatan 8086.
"Saya jarang bolos. Mulai bolos ketika kelas V serta VI. Saya bolos terkadang sendiri atau dengan beberapa sahabat. Pelajaran yang membuat bolos yaitu Matematika dan Kimia. Biasa pula tidak diizinkan masuk kelas gara-gara terlambat", ungkap Subhan Hasibu, Armada 8389.
"Saya pernah bolos saat pelajaran Matematika serta Bahasa Indonesia. Kalau ketahuan alpa, nama diumumkan di masjid bakda Zhuhur, bukan Isya seperti dulu. Pelanggar lalu dihukum dengan membersihkan dapur atau ruang kelas selama sepekan", urai Ahmad Fauzi, Divisi 1622.
Fauzi merupakan Generasi Zamrud Pesantren IMMIM yang tamat di Kampus II Moncongloe. Klasifikasi angkatan di Pesantren IMMIM terbagi empat. Generasi Berlian (alumni 1981-1986), Generasi Ruby (alumni 1987-1991), Generasi Safir (alumni 1992-2017) dan Generasi Zamrud (alumni 2018 sampai sekarang)
Selama di Moncongloe bila bolos, Fauzi ke kamar. Ia bersama rekan-rekannya memanjat jendela lantaran pintu terkunci. Pembina kemudian mengendus aksi ini. Hingga, jendela dipasangi terali besi.
Santri Moncongloe tak kehabisan akal. Mereka melewati kakus yang tembus ke beranda untuk masuk ke ruang tidur. Kini, santri yang doyan bolos hanya bisa gigit jari. Musababnya, di pintu serta beranda rayon terpasang CCTV. Segenap gerak-gerik terpantau.
Terungku
"Bolos menjelma gairah akibat proses belajar-mengajar mengekang peserta didik" (Abdul Haris Booegies).
Usai santap siang di dapur pada Senin, 1 November 1982, Hesdy Wahyuddin menghampiriku. Kami sama-sama kelas III. Rupa mukanya tampak kalut, sedikit kusut. Ia berusaha tegar dengan tersenyum.
"Haris, nanti malam kita dimasukkan ke sel. Alpa kita di kelas paling banyak".
Suara Hesdy terdengar lirih dengan nada memelas. Ia seolah tidak berkutik karena takdirnya bakal berakhir di bilik terungku. Saya terpana dan terpaku mendengar untaian kata Hesdy. Rasanya bak mendengar bom meledak di kediaman kekasih. Dihukum dengan cara dimasukkan ke sel merupakan siksa yang memalukan sekali. Bui tersebut terletak di dekat kantor pimpinan kampus. Penjara santri bandel itu lumayan memilukan. Pengap, berdebu serta gelap. Mirip ruang bawah tanah untuk menyiksa penjahat.
Dalam masalah absen, saya dengan Hesdy boleh dikata saling bersaing. Apalagi, kami termasuk La Dosa (laki-laki dengan otak sempurna). Ini mungkin karena nama kami sama-sama diawali huruf H. Panggilan kami pun serupa, tetapi, beda. Saya biasa disapa Ogi. Sedangkan Hesdy akrab dipanggil Oge.
Dalam perkara bolos dari kelas, saya kalah tipis dari Hesdy. Sementara untuk kabur dari kampus ke bioskop, jelas saya menang mutlak.
Selepas Isya, seluruh nama pelanggar diumumkan di masjid. Di luar estimasi, saya dengan Hesdy tak terhitung sebagai pelanggar. Kami selamat sentosa dari beban berat yang mengimpit. Padahal, saya telah pasrah. Entah wirid purba apa yang dirapal secara khusyuk oleh Hesdy sampai qismul amni (seksi keamanan) lupa menciduk kami. Malam ini, saya bersama Hesdy bersorak-riang sembari menyusun strategi supaya besok leluasa lagi bolos.
Lima bulan berselang pada Senin, 28 Maret 1983, saya dinasehati guru lantaran jarang masuk kelas. Selama 12 kali tatap muka pelajaran Ekonomi dan Koperasi (Ekop), baru kali ini hadir. Saya gaib 11 kali. Ini baru Ekop, belum Matematika, Fisika, al-Muthalaah serta pelajaran lain.
Bolos merupakan perilaku lazim dalam dunia pendidikan. Di tiap sekolah, madrasah maupun pesantren, persoalan bolos pasti ruwet diatasi. Jika urusan absen ini tidak ditanggulangi secara sistematis, maka, melahirkan generasi apatis sekaligus individualis.
Tatkala masih berstatus santri Pesantren IMMIM, terpampang faktor penyebab bolos. Elemen yang memaksa santri mangkir antara lain benci dengan sikap guru dalam membawakan materi pelajaran. Kurang berminat dengan pelajaran yang sedang dibahas. Terbujuk rayuan sohib untuk ke kamar guna berleha-leha. Tak jarang ada juga yang mau mencuci pakaian. Maklum, celana dalam sudah tujuh hari dipakai berturut-turut. Ada-ada saja ulah santri Pesantren IMMIM. Begitulah yang namanya Santri Lea (lelaki amburadul).
Dalam meminimalkan bolos, tenaga pendidik mesti terbuka sebagaimana John Keating. Di Dead Poets Society, Keating menawarkan metode pembelajaran yang kreatif. Ia menjadi pencetus stimulus. Alhasil, memacu inspirasi positif para peserta didik. Siswa pun menderu dalam agresivitas dan antusiasme guna melahap pengetahuan.
Keating menyajikan materi secara memukau. Ia menciptakan kondisi komunikasi harmonis dengan peserta didik.
Kalau spirit Keating menjadi model pembelajaran di Pesantren IMMIM, niscaya santri lugas mengaktualisasikan diri dalam menuntut ilmu. Pesantren IMMIM akan panen raya dengan prestasi gemilang dari alumni cemerlang. Carpe diem, raihlah kesempatan demi almamater yang tangguh dalam tradisi, kehormatan, disiplin serta prestasi.
Narasumber secara abjadiah
Ahmad Fauzi
Mutalib Besan
Subhan Hasibu
Di artikel ini, ada sejumlah frasa yang saya utarakan bila bolos itu perlu. Ketika mengenyam pendidikan di Pesantren IMMIM, saya senantiasa berupaya mencari dalih untuk membenarkan perbuatan salah. Alibi tempo dulu tersebut, kini masuk secara sengaja di tulisan ini. Dari lubuk hati terdalam, saya bersaksi bahwa bolos merupakan perbuatan keliru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar