Surat dari Masa Silam
Oleh Abdul Haris Booegies
Di akhir tarikh 1980, seorang santri kelas I Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM, dilanda rindu. Dalam kerisauan gelora kalbu, ia menulis sepucuk surat di suatu malam yang pekat. Keesokan hari, santri ini melafalkan jampi-jampi supaya niatnya berjalan mulus tanpa aral. Dengan wajah pilu, ia menghadap ke pimpinan kampus (pimkam).
Santri ini melapor bahwa ia menerima surat jika ayahnya meninggal. Santri tersebut lantas menyodorkan selembar surat ke pimkam. Tentu saja pimkam kaget. Belum pudar keterkejutannya, ia sontak bingung dengan secarik surat yang ada di tangannya. Pimkam yang orang Jawa tidak bisa membaca surat itu lantaran ditulis dengan abjad Lontara.
"Kamu harus cepat pulang! Kamu harus cepat pulang!", seru pimkam dengan suara panik kepada santri bersangkutan.
Santri tersebut terus mempertahankan roman mukanya agar tetap terlihat sendu. Padahal, hatinya melonjak girang. Akal bulusnya mampu mengibuli pimkam dengan mengabarkan berita bohong kalau bapaknya mati!
Menurut sahibul gosip, santri durhaka yang bikin malu sejagat ini melenggang kembali ke pondok sesudah puas di rumahnya selama tiga hari tiga malam. Semua berkat surat sakti beraksara Lontara.
Santri dari pedalaman selalu akrab dengan surat. Soalnya, ini primadona komunikasi pada kurun 80-an. Hampir separuh santri Pesantren IMMIM pernah mengirim surat di periode itu.
Keunggulan surat ialah ditulis tangan. Alhasil, untaian huruf terasa mewakili curahan hati. Orang yang membaca surat pun kerap bergemuruh nuraninya. Makin jauh jarak geografis suatu surat ditulis, kian terasa hidup di sanubari. Apalagi, di akhir surat ada tanda tangan. Ini menunjukkan bila surat menjadi personifikasi pribadi si pengirim.
Bukti Historis
Surat merupakan sarana komunikasi. Kertas berisi teks informasi tersebut dikirim dari satu pihak ke pihak lain. Surat sebagai komunikasi tulis menjadi duta yang membawa pesan.
Surat sesungguhnya merupakan dokumentasi suatu peristiwa dalam skala minimal. Surat berbeda dengan surat kabar yang ditujukan untuk publik. Surat cuma menyangkut satu golongan ke golongan lain. Isi surat tentu tergantung pengirim serta penerima. Hatta, khalayak tak antusias menelisik.
Sebuah surat dapat bercerita mengenai zaman lampau karena merupakan bukti historis. Isi surat akan mewartakan maksud pengirim yang berasal dari kelompok perorangan atau institusi.
Penghalang pokok surat yakni jarak. Apalagi jika transportasi tidak memadai. Akibatnya, surat mengendap, terbengkalai sampai akhirnya dibuang ke tong sampah.
"Saya tak pernah mengirim surat ke orangtua. Musababnya, kampungku di Kalimbua, Enrekang. Ini teramat jauh. Selain itu, minim transportasi. Sempat menulis surat, namun, batal mengirim. Surat tersebut akhirnya tercecer. Hilang entah di mana", papar Saidin Mansyur (Angkatan 8591).
"Saya tidak pernah mengirim surat ke orangtua. Tatkala kelas I dan II, saya terkadang menangis ketika mencuci. Orangtua pasti mafhum kalau saya sekarang sedang merindukannya", kenang Musytari Randa (Armada 7985).
"Saya tak mengirim surat berkat jadwal besuk yang normal. Orangtua dari Bulukumba rutin berkunjung. Setelah berlangsung dua tahun, saya melarang untuk dijenguk. Pasalnya, sudah mandiri serta percaya diri", tandas Andi Fausih Rahman (Divisi 8086).
"Mengirim surat ke orangtua tidak pernah saya lakukan. Bila jenuh di pesantren, saya main bulu tangkis", urai Sabri Suddin (Angkatan 8490).
Laksana Lilin
Sebagian pelajar Islam yang menuntut ilmu di Pesantren IMMIM, merasa perlu menulis surat untuk berkirim kabar. Rindu yang menumpuk di dada, memaksa santri berupaya mengirim surat.
"Saya beberapa kali mengirim telegram ke orangtua. Saya ke kantor pos mengisi berita. Saya sampaikan jika butuh uang sekaligus rindu. Telegram memerlukan waktu tujuh hari untuk tiba di kampungku di Ohilahin, Kecamatan Buru Utara Timur (Golong Guba), Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku", tutur Mutalib Besan (Armada 8086).
"Kalau menulis surat, saya minta dikirimkan duit dan kue. Ibu di Palopo repot membesuk karena faktor jarak. Saya memaklumi kendala maupun kesibukan ibu", cetus Andi Syamsul Rijal Nur (Divisi 8389).
Andi Syamsul mengirim surat dengan menitip di bus Piposs trayek Makassar-Palopo. Tak ada ongkos kirim karena langganan. Sopir juga mengerti kondisi santri yang jauh dari keluarga.
"Sewaktu kelas I serta II, saya tidak pulang kampung kecuali libur. Saya biasa mengirim surat bila rindu atau ada kepentingan. Jika mendesak, saya minta izin ke pimkam untuk mengirim surat. Saya ke Asrama Mamuju di Jalan Beruang, Makassar. Di sana mencari mahasiswa yang mau pulang kampung untuk menitip surat", ungkap Kurniawan A (Angkatan 8389).
Perjalanan surat Kurniawan cukup berliku. Dari Pesantren IMMIM ke Asrama Mamuju kemudian menuju ke Mamuju. Setiba di kota, dibawa ke Pelabuhan Kasiwa. Surat itu lalu naik kapal selama lima jam untuk sampai di Budong Budong. Perjalanan surat pun berakhir saat diterima ayah-ibu.
Setelah mengirim surat, santri pun lega. Kini, mereka menunggu balasan dengan penuh harap dan cemas. Menanti balasan surat butuh waktu berhari-hari.
Menyampaikan sepucuk surat kepada orangtua ibarat mengirim separuh jiwa. Kalau ayah-ibu membalas, niscaya kebahagiaan mendadak bergema. Orangtua bagai membagikan peluk hangat. Ini menjadi energi untuk tekun belajar supaya memiliki perspektif santri progresif. Tekad suci berkobar demi membalas jasa-jasa ayah-ibu.
Siapa pun yang belajar di pesantren pasti tahu pengorbanan orangtua dalam menafkahi putra-putrinya. Santri paham bila ayah-ibu berdoa dengan air mata berlinang di malam nan sepi. Santri mengerti bahwa orangtua bercucur peluh mengumpulkan uang. Santri tahu jika ayah-ibu tak mengharap harta dari anak-anak yang dibesarkannya. Orangtua terus berjuang sampai kulitnya melepuh, sampai telapaknya kapalan, sampai kakinya tidak kuat berdiri. Mereka tiada jeda serta tanpa lelah membimbing putra-putrinya menggapai cahaya kehidupan. Ayah-ibu seperti lilin yang hancur demi menerangi kegelapan.
Narasumber secara alfabetis
Andi Fausih Rahman
Andi Syamsul Rijal Nur
Kurniawan A
Musytari Randa
Mutalib Besan
Sabri Suddin
Saidin Mansyur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar