Gerbang Rindu
Oleh Abdul Haris Booegies
"Hati senantiasa mencari telaga untuk melepas rindu, tanpa kita izinkan pun" (Abdul Haris Booegies).
Di Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM, rata-rata santri kelas I dan II pernah dilanda rindu. Mereka kangen kepada orangtua, kerabat, rumah serta kampung.
Kenangan tentang orang-orang yang dicintai selalu memicu pikiran untuk mengembara. Santri merindukan suara, senyum sekaligus pelukan orangtua dan keluarga. Pasalnya, mereka merupakan insan istimewa dalam kehidupan.
Rindu timbul berkat hasrat untuk berkomunikasi dengan orang yang selama ini hadir dalam kehidupan. Santri merindukan segala hal mengenai kerabat. Bayangan orangtua serta saudara berkecamuk di pelupuk mata. Semua muncul di mana-mana, kecuali di pondok, di Pesantren IMMIM.
Seonggok gelisah tiada lelah mengeruhkan batin. Bayang-bayang rumah bersama para penghuni terus menari di depan mata. Santri memikirkan tanpa jeda. Mereka malahan memimpikan dalam tiap bunga tidur.
"Saya acap ke depan aula bila terkenang orangtua dan kampung. Kalau rindu merayap di kalbu, saya menghubungi orangtua via telepon pesantren. Jika mendesak, saya meminjam ponsel satpam. Menjelang tidur, kadang air mata berurai karena rindu", ungkap Ahmad Fauzi (1622), Generasi Zamrud dari Moncongloe.
Saksi Bintang
"Bila rindu laksana taman bunga, maka, penantian adalah taman makam" (Abdul Haris Booegies).
Santri tak kuasa menghapus wajah ayah-ibu, sanak saudara serta rumah dari pikiran. Berkali-kali mencoba melupakan dengan tawa, senda-gurau atau bermain. Segenap upaya tersebut cuma berbuah kegagalan. Rindu terus memanggil. Pikiran tetap tertuju ke orangtua, famili dan rumah. Mereka seolah terlalu jauh dari Pesantren IMMIM. Padahal, tidak terpisah tujuh benua maupun tujuh samudera.
Santri berkeinginan, angin membawa rindu yang terpendam untuk disampaikan. Santri berhasrat, bintang-gemintang menjadi saksi perihal rindu yang berharap.
"Tahun pertama sampai kedua merupakan masa-masa kritis. Banyak yang tak tahan berrpisah dengan keluarga. Tidak sedikit yang kabur dari pondok. Bahkan, ada yang tak balik lagi ke pesantren. Menjelang tidur, air mata bercucuran. Saya sering ketahuan tersedu-sedu. Rekan-rekan ternyata tidak berempati. Mereka justru mengompori saya agar makin terisak-isak. Saya jadi tontonan", cetus Muzakkir Muannas Tovago (8187).
Membujuk Tuhan
"Neraka ialah menanti orang-orang terkasih" (Abdul Haris Booegies).
Santri merindukan beberapa kenangan tatkala mengingat ayah, ibu, kakak atau adik di rumah. Saban hari di tiap doa dalam shalat, santri merayu Tuhan dengan puja-puji. Santri membujuk Tuhan supaya hari ini rindu tuntas oleh pertemuan.
Menunggu orangtua membuat santri merasa terasing di tengah kebisingan suara sahabat yang bercanda serta bermain. Untuk memupus rindu, santri kerap menengok ke gerbang kampus. Berharap ada keajaiban. Berkhayal yang dinanti mendadak hadir. Sebab, orangtua atau kerabat yang datang menjenguk senantiasa membawa kehangatan. Resah pun musnah.
"Namanya orang kampung pasti teringat dengan orangtua dan keluarga. Dalam setahun, tamu terkadang tak datang. Apalagi, transportasi serta komunikasi masih sangat susah. Untuk mengobati kerinduan, saya bersama Muhammad Arfah (8086) duduk-duduk di depan aula kalau sore. Saya menunggu bis dari Sengkang yang lewat. Jika sudah melihatnya, sontak rasa rindu terhadap orangtua dan kampung sedikit terobati. Waktu itu terminal mobil antardaerah masih di Panaikang. Jadi pasti lewat di depan pesantren", papar Lukman Sanusi (8086).
Menimang di Hati
"Untaian kata tidak mampu melukiskan rinduku. Kata-kata malalan tak mengerti bagaimana rindu di hatiku" (Abdul Haris Booegies).
Sejumlah santri bertekad menghabiskan sisa petang dengan menanti tamu. Tatapan mereka tertuju ke gerbang. Senja secara perlahan kemudian beranjak ke dekapan gulita malam. Suara azan terdengar, kaki melangkah gontai mengarah ke masjid. Sesak di dada terasa mengiris. Hari ini tamu yang ditunggu belum tiba. Asa pudar bagai kilatan meteor yang melemah sebelum sirna. Sementara rindu di hati terus menyala. Merongrong dada bak serbuan prajurit beringas. Perasaan terburuk menimpuk sanubari lantaran yang dinanti tidak kunjung datang.
"Bakda Magrib, saya ke belakang masjid di dekat dinding luar mihrab. Di situ air mata meleleh. Rindu tak terbendung kala mentari tenggelam. Bila rindu bergolak pada siang, saya bergegas ke kantin untuk belanja", tutur Mahmuddin Achmad Akil (8288).
Kalau tamu tiba, niscaya rindu terobati. Santri pun tidak tahan menunggu perjumpaan tersebut terjadi. Betapa berharga orangtua, kerabat serta rumah yang kini jauh di mata.
Santri merindukan rangkulan hangat orangtua, kangen dengan kakak yang menemani ke suatu tempat. Rindu dengan kejahilan adik yang membuat tertawa.
Dampak persuaan dengan orangtua, saudara, orang-orang tercinta, selalu menggelorakan ikhwal baru. Terasa ada perbedaan.
Pertemuan orangtua dengan anak yang menuntut ilmu di Pesantren IMMIM, pasti mengharukan. Santri berbinar ceria menyambut orangtua. Pelukan bagai menjelma hujan deras di tengah gurun nan panas terik.
"Bagaimana keadaanmu? Kamu baik-baik saja?"
"Iya", santri malu-malu menyahut.
"Kamu tahu, kami juga merindukanmu".
Jawaban ini membuat santri merasa berharga. Membuat santri bangga. Membuat semangat kembali menyala garang. Santri seolah insan spesial di dunia berkat dirindukan. Di mana pun berada, orangtua senantiasa menimang sang anak dalam rindu, dalam impian dan dalam jiwa.
"Jika ibu datang membesuk, saya selalu minta kiriman susu serta kue. Saya berkali-kali minta sandal. Dalam hati, ibu bisa marah bila begini terus karena sandal acap hilang. Di situ baru sedih rasanya", kenang Andi Asri Lolo (8086).
Santri berkehendak agar orangtua dan saudara tiada putus hadir di dekat, seperti orang yang berboncengan. Mata pun tak mau terpejam kalau mereka tidak hadir di dalam mimpi.
Selama jiwa terkandung di badan, selama itu pula rindu terus bergemuruh persis topan. Rindu niscaya bergelora sampai nafas terputus.
"Rindu mengikat seluruh nada, segala kata serta semua impian di relung kalbu" (Abdul Haris Booegies).
Video milik Lukman Sanusi
Narasumber secara abjadiah
Ahmad Fauzi
Andi Asri Lolo
Lukman Sanusi
Mahmuddin Achmad Akil
Muzakkir Muannas Tovago
Tidak ada komentar:
Posting Komentar