Komunikasi Iapim
Oleh Abdul Haris Booegies
Pada kurun 80-an, pertumbuhan sains serta teknologi masih minim. Generasi X yang lahir pada 1966-1979, belum tersentuh inovasi-inovasi di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Sebagai contoh, penggunaan satelit dalam komunikasi masih taraf embrio. Aktivitas manusia banyak terjadi lewat tatap muka. Semua bergerak dinamis dalam proses interaksi demi menuntaskan pekerjaan.
Di era 80-an, telepon seluler (ponsel) belum hadir di Indonesia. Setelah tamat di Pesantren IMMIM, saya menonton Black Moon Rising. Di film thriller aksi fiksi ilmiah itu ada adegan ketika Tommy Lee Jones menghubungi seseorang dengan ponsel. Prototipe ponselnya segede batu bata merah. Ada antenanya sebagai penguat sinyal. Revolusi komunikasi banyak menghias film-film produksi Hollywood. Sineas begitu enteng menyuguhkan wacana sains.
Dunia terus bergerak membentuk definisi futuristis yang berevolusi dari waktu ke waktu dalam hitungan hari. Tahapan dalam transformasi inovasi makin lama kian membentuk dunia bergemuruh kencang. Ciri perkakas masa depan yakni kecil serta cepat. Alat yang diciptakan tergolong mini, namun, gesit dalam memproses.
Iapim tampil bersahaja di ujung akhir 80-an. Walau belum terjamah teknologi komunikasi, tetapi, spirit terus bergelora dalam mendesain program kerja. Eksplorasi gagasan tidak bertumpu pada teknologi komunikasi yang minim. Anggota Iapim punya taktik level master untuk terampil berkreasi sekaligus cekatan berkriya. Alhasil, Iapim tak terseok-seok menggagas kegiatan kendati dibatasi oleh faktor dana, jarak dan waktu. Awak Iapim bersatu-padu memobilisasi optimisme. Mereka memacu diri dalam gairah inspirasi. Hingga, kokoh kala bergandeng dalam ikhtiar.
Whiteboard
Bagaimana warga Iapim yang sedang merancang hajatan bisa saling terkoneksi tanpa ponsel? Ada dua cara yang dipakai. Pertama, mengabarkan di kampus tempat kuliah. Kedua, mengumumkan di media whiteboard.
Menebar informasi di kampus-kampus terkadang remeh, tidak sedikit pula yang rumit. Menyiarkan informasi di UIN Alauddin, terbilang sangat mudah. Maklum, hampir 30 persen anggota Iapim kuliah di kampus Islami tersebut. Apalagi, luas lahan UIN Alauddin di Gunung Sari nyaris sebesar area Pesantren IMMIM di Tamalanrea.
Awak Iapim yang kuliah di Universitas Hasanuddin (Unhas), agak repot dihubungi. Soalnya, jarak antarfakultas saling berjauhan. Angkatan 8086, sebagai umpama. Saya (Fakultas Sastra) dengan Muhammad Ilham Suang (Fakultas Ekonomi), senantiasa bertemu berkat satu atap di FIS IV. Saya jarang bersua Saifuddin Ahmad (Fisipol) lantaran terpisah puluhan meter. Selama kuliah, saya cuma satu kali berjumpa Andi Asri Lolo (Fakultas MIPA) di kampus. Sedangkan dengan Suharkimin (Fakultas Kedokteran), sama sekali tak pernah bertemu. Ruang kuliah kedokteran cukup jauh dari FIS IV.
Kendala berupa jarak, menjadikan penyebaran informasi tidak efektif. Akibatnya, warga Iapim yang kuliah di Unhas jarang ke sekretariat.
Cara kedua anggota Iapim berkomunikasi untuk menggagas aktivitas ialah mengumumkan di whiteboard. Di sekretariat Iapim di Jalan Sungai Lariang, ada whiteboard ukuran 150 x 90 sentimeter. Tergantung di dinding Timur. Whiteboard ini mencolok pandangan karena pintu terletak di sudut Barat Laut.
Teks yang tertera di whiteboard langsung terserap oleh kuriositas. Hatta, awak Iapim langsung mafhum perihal jadwal acara. Informasi di whiteboard terasa mantap di kalbu serasi di jiwa.
Sesungguhnya ada satu lagi alat komunikasi di Iapim, yaitu buku tulis ukuran folio. Di buku besar itu, warga Iapim atau tamu yang berkunjung ke sekretariat disunahkan mencatat nama, jam kedatangan, kesan maupun pesan.
Dari buku ini, dapat diketahui siapa yang bertandang ke sekretariat. Ada juga yang menggunakan buku ini untuk bersepakat bersua di suatu tempat.
Telepon Manual
Kalau Iapim hendak menyelenggarakan kegiatan, niscaya pengurus serta panitia wajib siap lahir-batin. Sebab, komunikasi payah. Transportasi tersendat pula. Pasalnya, hanya segelintir anggota Iapim yang memiliki motor.
Terkadang, awak Iapim meminta izin untuk memakai telepon Islamic Centre yang bernomor (041) 322955. Saya biasa menggunakan telepon statis ini untuk wawancara dengan narasumber.
Telepon manual di Gedung IMMIM dicabut oleh pegawai usai jam kantor. Dikhawatirkan ada yang memakainya di luar agenda Islamic Centre.
Bukan alumni Pesantren IMMIM jika tak kreatif. Ada sahabat membawa pesawat telepon dari rumah bila malam. Ia bersama sekumpulan kecil alumni kemudian menyelinap ke ruang tempat memasang kabel ke saluran telepon. Mereka lantas menghubungi layanan telepon dewasa. Sampai tengah malam, oknum Iapim ini puas melakukan obrolan hot dengan operator wanita. Mereka ketagihan mengulang terus karena adrenalinnya memuncak. Siapa gerangan tidak terangsang mendengar desah nafas perempuan yang seolah minta dinodai.
Aksi telepon genit ini berlangsung beberapa kali sampai ketahuan. Ini gara-gara mereka tak memikirkan kemungkinan yang tidak terbayangkan.
Saya heran, gerombolan ini alumni Pesantren IMMIM, namun, masih badung. Status sebagai alumni tak membuatnya menebar kebajikan, justru pamer bandel. Sebuah kenakalan dari masa silam yang tidak patut ditiru. Kalau mengenang ini, ane cuma geleng-geleng kepala sambil tak lupa ngakak so hard, Coi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar