Kamis Sendu
Oleh Abdul Haris Booegies
Alkisah di suatu siang di Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM, Tamalanrea. Kala itu menjelang Zhuhur di suatu Kamis. Berseru ketua kamar 1 Rayon Datuk Ribandang (Fadeli Luran); "siapa yang ingin pulang, tulis nama di kertas ini?"
Kami penghuni bilik yang kelas II bergegas mengerubuti ketua kamar. Nama santri yang mau pulang dicatat untuk diserahkan ke pimpinan kampus (pimkam).
Saya berdebar-debar. Beberapa menit ke depan, saya pasti memperoleh surat izin. Terbayang perasaan lega bila sudah di atas mikrolet (petepete). Pulang ke rumah ibarat cas baterai. Sebulan di kampus membuat lesu, bosan sekaligus meredupkan semangat. Rumah akan mengobati kelesuan, kejenuhan sembari menyegarkan spirit. Bahkan, menstimulasi imajinasi.
Terdengar azan Zhuhur. Saya melangkah gontai ke masjid. Konsentrasi tidak ada lagi di masjid. Terbayang terus rumah.
Di dapur, lidah kelu serta tenggorokan begitu berat menelan makanan. Nasi susah dikunyah. Ikan terasa tawar, tiada rasanya. Tak ada nafsu makan karena kalbu merindukan rumah laksana tarian ombak hendak merangkul langit ketika senja.
Dari dapur, saya bergegas ke asrama. Siapa tahu surat izin telah dibagikan. Saya sesungguhnya mafhum bahwa pukul 14.00, surat izin lazim dibagikan. Semangat untuk pulang membuatku berkhayal. Andai dibagikan sekarang saat jam satu, pasti elok.
Saya duduk-duduk di tepi ranjang. Gelisah menanti surat izin. Saya berdiri, namun, terasa berat. Akhirnya duduk lagi.
Jam dua siang makin dekat, gelisah kian mengoyak batin. Saya duduk sambil menggoyang-goyangkan tubuh agar debar jantung tidak terasa.
Saya melirik ke pintu. Berharap ketua kamar nongol dengan segepok surat izin. Kiranya ia belum keluar dari kantor pimkam.
Saya menata jadwal di pikiran kalau nanti pulang. Pertama, menghapus dahaga dengan es. Kedua, ke Sentral beli majalah dan koran. Ketiga, ke bioskop New Artis Theatre. Keempat, ke kolam renang Mattoanging.
Terdengar kasak-kusuk di pintu. Teman-teman berlarian menyambut riang ketua kamar. Saya pun melompat ikut ke dalam kerumunan.
Sahabat yang memperoleh surat izin, langsung melonjak-lonjak gembira. Saya menahan nafas. Sedetik lagi, saya pasti meloncat-loncat pula.
Surat izin di tangan ketua kamar tinggal satu, itu pasti milikku. Tangan tak sabar hendak meraih. Ternyata bukan. Saya tertegun. Mata terbelalak. Lutut bergetar.
Ketua kamar menatapku dengan mata sayu.
"Kamu tidak diberi izin karena pelanggaranmu banyak", ujar ketua kamar seraya mendengus meninggalkanku. Takdir buruk tak terhindarkan menimpaku.
Saya terpana. Kaki begitu berat melangkah. Rasanya seperti seorang diri di tengah rekan-rekan yang riuh berkemas untuk pulang. Saya marah, juga malu. Pasalnya, ditindas dengan cara tidak diizinkan pulang. Bergemuruh niat agresif untuk menentang pimkam. Sebab, rasa keadilannya absen untuk saya di Kamis kala mentari tergelincir ke Barat. Saya merasa terjepit, tetapi, sia-sia untuk menjerit.
Kawan-kawan yang diberi izin sontak berpakaian. Senyumnya merekah bak pengantin yang baru menghabiskan malam pertama. Langkahnya ringan. Ada pula yang berlarian secara ritmis. Mereka bergandeng dalam suka-cita. Euforia membuatnya ekstase.
Saya menatap mereka meninggalkan pondok. Saya pilu tak bisa pulang. Beginilah nasib sebagai santri terkucil. Semua lantaran saya menuruti pola-pola ekstrem berupa nekat bermanuver mengakali aturan. Saya memilih hidup ganjil di tengah santri yang tekun menaati ketertiban.
Berniat memanggil orangtua supaya ke pesantren meminta izin, bagaimana caranya? Ingin bolos meninggalkan kampus, saya selalu diintai, dimata-matai. Entah siapa yang senaniasa melaporkanku. Akibatnya, selalu hadir di qismul amni (seksi keamanan) untuk dirajam sampai kapok.
Malam ketika berada di dapur, saya tidak bernafsu makan. Semua impian buyar gara-gara tak diberi izin pulang. Saya benci pimkam yang kini membuatku merana di Kamis sendu.
Usai Isya, saya cuma tepekur di ranjang. Ke mana mata memandang, rasanya seolah menatap sesuatu yang kosong. Sampai jauh malam, saya tidak mampu tidur.
Saya heran. Soalnya, pelanggaranku hanya secuil di kampus. Saya cuma berkali-kali tak masuk kelas. Jarang ke masjid, namun, rajin bolos ke kota untuk nonton di bioskop. Bagi saya, ini pelanggaran sepele. Tidak perlu dihukum.
Bandingkan dengan sejawat yang ke toilet. Mereka tak menyiram kotoran yang dikeluarkan dari perut. Akibatnya, bau busuk merayap ke beranda asrama. Lalat pun berseliweran. Ini baru namanya pelanggaran berat.
Jumat pagi, saya masih lemas. Belum rela menerima perlakuan pimkam yang tidak memberiku izin pulang.
Bertahun-tahun baru saya menyadari. Santri digilir untuk pulang sebagai penggemblengan. Pimkam mengajar kami untuk bermental baja. Tak rapuh, tidak gampang terkulai sampai luruh. Santri dididik untuk tak mengerti apa itu "menyerah". Semua mutlak di level geledek demi memacu tekad.
Apa yang diidamkan sekarang, belum tentu digapai hari ini. Ada perjuangan berupa persiapan, kesabaran, ketegaran maupun keuletan. Siapa kuat dalam proses pencarian makna hidup, bakal mereguk kemenangan manis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar