Marhaban Ya Ramadan
(Menyambut Ramadan 24 September 2006)
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Sosial
“Wahai insan-insan beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu. Mudah-mudahan kalian menjadi manusia yang bertaqwa” (al-Baqarah: 183).
RAMADAN merupakan bulan yang paling krusial dalam kalender Islam. Di bulan itu, umat Islam menahan lapar serta dahaga sekitar 14 jam sebelum fajar menyingsing sampai senja turun ke peraduannya, selama 29 atau 30 hari.
Secara etimologis, puasa bermakna menghindari makan maupun minum. Sementara dari sudut pandang terminologi, berarti menahan diri dari ragam perbuatan yang membatalkan niat puasa.
Di tiap milenium, Ramadan laksana liga mondial. Pengikut Rasulullah yang tergolong Muslim atau yang telah berpredikat Mukmin, berlomba merebut Tropi Ketakwaan. Piala tersebut jelas menjadi milik mutlak pribadi seperti tertera dalam kitab monoteisme terakhir bahwa la ‘allakum tattaqun (semoga kalian menjadi individu yang bertakwa).
Dalam merebut klasemen puncak (capotalista) Liga Global Ramadan, maka, diperlukan kondisi fisik dan rohani yang prima. Sebab, tantangan serta godaan yang dihadapi tidak sedikit di tengah penurunan status gizi. Selain tidak makan-minum, peserta liga Ramadan pun mesti bertarung melawan diri sendiri.
Iblis bersama pasukan setan (the forces of evil) memang dibelenggu dalam neraka selama syahr ash-shabr (bulan kesabaran). Sekalipun dirantai-erat, namun, angkara murka manusia tetap berkobar menggelegak dalam aliran darah. Keturunan Nabi Adam enteng terjerumus ke kubangan noda dan terjerembab ke liang dosa. Karena, mimpi-mimpi jahanam selalu menyesatkan langkah-langkah kaki dan hirupan nafas. Hingga, tubuh serasa didorong ke arah hal-hal destruktif.
Manusia yang sukses melakukan inner struggle (perjuangan batin) terhadap hawa nafsu, langsung mendapat pahala dari Allah. Berkah itu tidak diperoleh lewat beleid profetis, tetapi, dari Arasy yang Agung. Tuhan mempersembahkan pahala khusus kepada para hamba yang sukses menjalankan ibadah puasa.
Tetesan rahmat Allah yang digapai acap terlihat pasca-Ramadan. Sebab, manusia sebagai maha karya monumental Tuhan, tiba-tiba memperagakan kasih sayang terhadap sesama maupun kepada lingkungan.
Pemenang Tropi Ramadan kontan bertambah energi imannya. Warna hidup mereka berubah berkat komposisi komunikasi transendental kepada The Truth and The Absolute Being, kian terkonsentrasi. Koloni dosa dalam sanubarinya sirna menjadi lahan subur ketakwaan. Alhasil, perilaku mereka sontak bergerak ke arah marhamah (kelemah-lembutan) guna mencairkan kebekuan, kekeluan dan kekakuan.
Panjang Umur
Orang-orang yang ikhlas menjalankan ibadah puasa, tidak gampang terusik kesehatannya. Kendati jadwal makan berubah serta terjadi pengurangan frekuensi makan, namun, puasa ditilik dari segi kesehatan sangat cocok bagi jasmani.
Dalam kondisi normal, termaktub jika zat gizi yang dibutuhkan tubuh mencapai 45 macam. Zat tersebut antara lain mineral, asam amino esensial, asam lemak esensial, karbohidrat atau vitamin. Pria lazimnya memerlukan sebesar 2.100 kalori. Sedangkan wanita berkisar 1.900. Kalori sebanyak itu membuat aktivitas mampu berjalan lancar.
Puasa sesungguhnya mengistirahatkan organ-organ badan sesudah sebelas bulan bekerja tanpa henti. Di bulan Ramadan, raga berkesempatan membersihkan zat-zat beracun berlabel kronis. Puasa juga memperlancar proses metabolisme tubuh.
Puasa menggiring jasmani ke tingkat kebugaran optimal. Karena, tercapai adaptasi terhadap efisiensi penggunaan energi. Survei membuktikan bila pengurangan makanan pada dasarnya memompa daya tahan jasmani.
Puasa bagi manusia berfaedah guna meningkatkan kesegaran. Bahkan, menghalangi pelbagai penyakit degeneratif.
Pada 1982, Reihm S dalam penelitiannya menggarisbawahi bahwa puasa mempengaruhi penurunan insiden tumor semacam paru-paru, limpa dan payudara. Dengan puasa, niscaya konsumsi lemak tinggi yang menjadi sebuah faktor tumbuhnya tumor bisa ditekan. Puasa malahan memotivasi tercapainya usia yang lebih panjang.
Aspek positif pengurangan konsumsi energi alias puasa tersebut, membuktikan kalau ajaran Islam tidak bertentangan dengan kesehatan. Apalagi, struktur raga manusia dirancang untuk bertahan selama dua pekan, dengan catatan tetap minum. Sementara bila tidak makan serta minum, tubuh sanggup bertahan sekitar tujuh hari.
Pola hidup sehat dengan berpuasa makin mantap jika menaati perintah-perintah yang menyelubungi Ramadan. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad menyuruh supaya melambatkan sahur sembari menyegerakan berbuka (ifthar). Hikmah di balik sabda Rasulullah yakni agar masa defisit kalori tidak berlarut-larut.
Catatan sejarah menukilkan bila Nabi Muhammad berbuka dengan tiga butir kurma. Rasulullah makan yang manis-manis seperti kurma, lantaran memberi jasmani energi instan. Sebab, hidangan yang manis (glukosa maupun fruktosa), cepat disintesis oleh badan menjadi daya motorik.
Puasa Laba-laba
Pada hakikatnya, puasa sudah dikenal dalam agama Yahudi dan Nasrani. Bahkan, puasa ditemukan pula jejak historisnya pada bangsa purbakala semacam Persia, Mesir, Cina serta India. Sedangkan di ranah Hollywood yang liberal dan individualistik, para artis kaliber Oscar mengenal istilah diet (pola makan ketat).
Di samping dijumpai dalam kebudayaan manusia, puasa pun terlihat secara jelas dipraktikkan oleh hewan atau serangga. Ayam, contohnya, ketika mengerami telurnya tetap bergeming. Pandangannya tetap nanar sekalipun disodorkan makanan berupa kacang-kacangan. Ayam tak punya selera makan kendati seharian duduk tepekur di atas telurnya.
Ihwal serupa terlihat pada laba-laba. Dengan kepompong yang lebih besar dibandingkan perutnya, laba-laba setia melekat di dinding yang jauh dari keramaian dalam rumah. Serangga itu tak memiliki nafsu makan kendati telah beberapa hari bergelantungan.
Orang berpuasa supaya bisa bermetamorfosis menjadi insan takwa. Karena, dengan meraih Piala Liga Ramadan, niscaya manusia berada dalam naungan nilai-nilai yang berasal dari pancaran Ilahi (futuhat rabbaniyyah). Fase yang sama terjadi pada binatang. Ayam serta laba-laba, misalnya, tidak makan-minum selama mengerami telur, demi memperoleh hidup baru berupa kelahiran anak. Mereka mengalami transitio a minore a majorem perfectionem (peralihan dari kondisi yang tidak baik ke arah yang sempurna). Hingga, tercapai tingkat prestasi tinggi dengan berton-ton kharisma yang mahmudah (terpuji).
Pasca-puasa, tiap individu dengan Tropi Ketakwaannya dituntut kian bertanggung-jawab sebagai khalifatun fil ardhy (master of the universe). Para pemenang liga ritualisme ubudiyah wajib memperlihatkan dawai nurani yang menyejukkan dengan kerja sama harmonis buat kepentingan bersama.
Umat Islam yang sudah memboyong Piala Ramadan dipastikan berjalan di atas bumi dengan perilaku Qur’anik yang finalitas paripurna. Sebab, mereka telah lolos seleksi iman yang pengumumannya terdengar sampai lapis langit ketujuh. Mereka sudah bergulat dan bergelut dalam proses pengendalian diri serta introspeksi diri (muhasabah). Mereka telah berikhtiar dan menjauhi maksiat far’i (durhaka dari hukum-hukum Islam). Kemudian memperbanyak sujud sekaligus menghargai waktu lewat totalitas akhlak. Bahkan, menyemburkan sensasi hidup baru seperti berempati dengan nilai insaniah secara tulus dan mengasah kepekaan sosial. Karena, homo homini socius (manusia adalah sahabat bagi sesamanya).
Aneka keunggulan Ramadan tersebut yang membuat umat Islam selalu merindukan datangnya bulan suci. Selain sebagai hari-hari penuh rezeki berkat makanan serta minuman melimpah melebihi takaran, juga Ramadan dirindukan berkat gemuruh tarawih.
Kini, Ramadan akhirnya tiba. Hati bergetar khidmat dan wajah berbinar ceria menyambut bulan kemuliaan itu. Selamat datang bulan bertabur maghfirah (ampunan). Marhaban ya Ramadhan.(Tribun Timur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar