Kamis, 16 Juni 2011

Membangun Negeri atau Piala Dunia

Membangun Negeri atau Piala Dunia

Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Sosial

     Piala Dunia selalu disambut histeria publik global.  Stadion senantiasa sesak oleh penonton.  Semua menanti dengan hati berdebar penampilan para bintang lapangan hijau.  Media pun berlomba mewartakannya sebagai laporan utama.  Kronik Piala Dunia selalu dominan di segenap media.  Kabar World Cup senantiasa menempati derajat terdepan berkat sepak bola merupakan olahraga paling populer.
     Tercatat 204 negara bertarung memperebutkan 31 tiket ke Afrika Selatan.  Laskar Bafana Bafana lolos langsung berkat posisinya sebagai tuan rumah.  Sedangkan 736 pemain terdaftar mewakili 32 tim yang berlaga di Piala Dunia 2010.
     Pada hakikatnya, Piala Dunia sekedar hiburan sekilas.  Bukan taman sejuk bagi kepenatan jiwa.  Bukan puri elok untuk tubuh-tubuh ringkih yang telah aus energinya.  Bukan pantai permai bagi pikiran yang dibelenggu apatis menatap zaman mendatang.  Event akbar empat tahunan tersebut tak mengubah situasi negeri ini menjadi lebih baik.
     Piala Dunia tidak membuat koruptor bertobat.  Piala Dunia tak meminimalisasi kemiskinan di muka bumi.  Piala Dunia tidak mengurangi pembabatan hutan.  Piala Dunia malahan tak membuat Timnas PSSI bermental juara.  Dengan demikian, World Cup tidak memiliki dampak positif bagi kehidupan di Tanah Air.  Sesudah Piala Dunia, keseharian tak berubah.  Tidak terdengar vitalitas baru pasca Piala Dunia.  Segalanya berjalan biasa-biasa saja.
     Piala Dunia cuma membawa rezeki bagi penjudi.  Mereka ini yang doyan mengutak-atik skor.  Mereka bertaruh demi mendulang segepok uang dari penjudi sial lain.  Omzet judi South Africa 2010 ditaksir Rp 13,4 triliun.  Angka fantastis itu berputar lewat pelbagai varian judi.
     Sebelum Piala Dunia, kita punya banyak masalah.  Setelah Piala Dunia, persoalan-persoalan tetap berjubel menunggu penyelesaian.  Kita sesungguhnya rugi jika menfokuskan minat ke South Africa 2010.  Dengan adanya Piala Dunia, perkara makin bertumpuk.
     Entah bagaimana jadinya kelak mafia hukum, mafia peradilan, mafia pajak, mafia politik, makelar kasus (markus) dan suap kriminalisasi.  Kemudian problem semacam dana aspirasi ala DPR, tabung gas Elpiji yang kerap meledak, kasus Bank Century maupun KPK yang terancam bubar.  Beruntung bila masalah-masalah tersebut tak direkayasa seiring hiruk-pikuk Piala Dunia.
     Betapa celaka kalau kasus-kasus besar mendadak sirna diterpa keriuhan Piala Dunia.  Apalagi, prahara yang melabrak bangsa ini begitu dahsyat.  Deretan petaka yang terlihat sepertinya hanya noktah kecil dalam lingkaran setan yang maha-besar.

Logika Duafa
     Pusat perhatian yang patut dikedepankan ialah pemberantasan korupsi.  Lantas menyejahterahkan kaum papa.  Selain itu, meningkatkan kewaspadaan terhadap pemanasan global.  Tiga persoalan tersebut lebih signifikan dibandingkan seratus Piala Dunia.
     Tidak layak menikmati Piala Dunia jika pencuri bergentayangan mencoleng harta negara.  Tak pantas menonton Piala Dunia bila ada tetangga yang cuma sekali makan dalam sehari.  Tidak patut menghibur diri dengan Piala Dunia kalau rimba kita dirusak serigala berwujud manusia.
     Media cetak bersama elektronik selama Piala Dunia harus terus mengangkat isu-isu nasional.  Tak adil jika momen-momen Piala Dunia menempati ruang khusus di sejumlah halaman koran.  Sementara perkara krusial di ranah nusantara diekspose hanya dua kolom sepanjang 10 cm.
     Media berdalih bila Piala Dunia adalah turnamen empat tahun.  Arkian, wajar kalau memiliki porsi besar.  Terbetik tanya di kalbu, apa hikmah yang bisa dipetik dari World Cup?  Apakah Piala Dunia meredam korupsi, kemiskinan serta pemanasan global.  Apakah South Africa 2010 dapat menuntaskan kasus pornografi artis, lumpur panas, amuk massa pilkada atau anarkisme mahasiswa.
      Piala Dunia seyogianya ditempatkan dalam logika golongan fakir.  Tatkala Piala Dunia berlangsung, bagaimana nasib kaum papa.  Selama ini, mereka jungkir-balik banting-tulang mencoba mencari pengharapan.  Di sisi lain, pejabat tinggi dan wakil rakyat tidur pulas dengan perut kenyang.  Bahkan, segelintir jenderal asyik-masyuk menghitung rekening buncitnya.  Ke mana sifat empati mereka terhadap aneka ketimpangan yang mendera rakyat kecil.  Camkan sabda Umberto Eco: “Manusia bermakna oleh kehadiran orang lain”.
     Pemimpin tidak hirau, Piala Dunia pun tak memberi solusi bagi rupa-rupa problem strategis kehidupan.  Perut rakyat tetap melantunkan irama keroncong oleh ketiadaan pasokan makanan.  Betapa ironis jika orang berseru gembira menyambut gol yang dilesatkan bomber tim kesayangan.  Sedangkan tetangga kita menahan lapar dengan usus yang terasa perih.  Kepalanya pening serta pandangannya berkunang-kunang oleh rasa lapar.
     Suporter fanatik begitu royal menghamburkan duit membeli kostum skuad kesayangannya.  Syal dan merchandise lainnya ikut mempergagah penampilannya.  Sementara tetangga kita cuma berpakaian kostum partai yang diperoleh ketika kampanye berlangsung.

Penggerak Bangsa
     Masalah bangsa ini berderet sampai di ujung gelap.  Hingga, fokus atensi mesti terkonsentrasi mengurai satu demi satu.  Piala Dunia tidak menyelesaikan persoalan, tetapi, menghambat penuntasan.  Kesemrawutan bertambah bila perkara ditangani oleh individu yang berpandangan culas sekaligus curang.  Tak ada solusi dari kalangan bervisi licik serta picik.  Mereka justru membenamkan negeri ini ke kubangan jorok.
     Perkara di sekeliling kian ruwet.  Di sampig itu, memori rakyat Indonesia teramat rapuh.  Ingatan terhadap suatu kejadian gampang terlupakan.  Mereka malahan bermental masa bodoh kalau suatu masalah tidak kunjung usai.  Apa saja hasilnya tak lagi dihiraukan.  Apalagi, mereka beralibi jika persoalan tersebut tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya.
     Piala Dunia sekedar hiburan semata.  Hatta, perhelatan itu tak sepantasnya memorak-porandakan konsentrasi bangsa ini.  Membangun negeri ini lebih berfaedah ketimbang menikmati Piala Dunia.  Perkara domestik tidak boleh terdesak oleh gempita pergelaran Piala Dunia.
     Agenda kita yakni mengangkat penghidupan kalangan tunawisma, penganggur, pengemis dan pemulung.  Bahkan, mengayomi pekerja seks murahan yang tercampak secara sosial.  Mereka tak selayaknya disingkirkan serta dikucilkan.  Kasta rendah tersebut tidak sepatutnya dibisukan secara politik.  Mereka tidak sepantasnya dicueki walau tak pernah laku sebagai isu politik di tiap pilkada.
     Lupakan Afrika Selatan sebagai penyelenggara World Cup.  Lupakan Perancis yang tampil memalukan.  Lupakan Italia yang bingung mendribel Jabulani.  Lupakan Portugal yang 11 pemainnya hanya berkerumun di garis pertahanan.  Lupakan Inggris yang diazab karma “gol kontroversial 1966”.
     Dewasa ini, kita wajib menatap masa depan gemilang.  Kita mutlak merebut kemakmuran tanpa batas.  Dalam menggapai cita-cita tersebut, kita butuh “tuan di antara manusia” yang bisa menciptakan kemajuan.  Bukan pemimpin yang mahir berceloteh seraya memamerkan angka-angka statistik yang diperoleh dari suruhannya.  Derita rakyat mustahil lenyap cuma dengan retorika.
     Kita mendambakan tokoh berkarakter yang mampu menggerakkan bangsa ini meraih kemajuan di berbagai bidang kehidupan.  Suatu sosok yang rela mendengar aspirasi yang terus berubah.  Bukan figur otoriter yang menganggap kebenaran hanya berasal dari sisinya seperti disitir sinema Hollywood.  “Every way of man is right in his own eyes”, ujar gembong bandit Ben Wade (Russell Crowe) dalam film 3:10 to Yuma
     Di era multimedia ini, kita merindukan the great leader yang sanggup mengguncang sekaligus membawa negeri ini sejajar dengan negara maju dan beradab.  Alhasil, membawa manfaat berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People