Senin, 06 Juni 2011

Renaisans Ekonomi Indonesia

Renaisans Ekonomi Indonesia

Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Ekonomi

Ekonomi menguasai hidup kita”, papar M. Sadli, mantan Menteri Pertambangan. Tanpa ekonomi yang mapan, niscaya kehidupan morat-marit.
Selama delapan tahun, ekonomi Indonesia carut-marut. Apalagi, uang bergerak bebas tanpa mengikuti aliran barang. Selain itu, karakter untung-rugi serta instrumen investasi acap mengundang resiko. Sebab, perkiraan kurs tak kunjung jitu. Fenomena tersebut bergemuruh lantaran berseliweran variabel yang repot dianalisis.
Bencana ekonomi di negeri ini, bermula pada 14 Agustus 1997. Kala itu, Bank Indonesia mencabut rentang intervensi rupiah. Akibatnya, rupiah menjadi barang yang perdagangannya paling liberal di pasar internasional. Sejak itu, krisis berkepanjangan membelit nadi kehidupan.
Sesudah delapan tahun terkapar, ternyata titik cerah masih terlihat redup dan samar-samar. Dampak badai dahsyat multidimensi yang embrionya berasal dari krisis moneter pada 11 Juli 1997 tersebut, masih tersisa banyak. Sebelum krisis finansial menerpa, jumlah lapangan kerja yang tercipta mencapai 400 ribu orang per tahun. Sekarang, pengangguran menggelembung. Alhasil, memendam potensi kerawanan sosial serta instabilitas politik. Apalagi, sejak 1 Oktober 2005, harga bahan bakar minyak (BBM), naik.
Badan Pusat Statistik (BPS) menengarai jika tingkat pengangguran terbuka pada Oktober 2005, sekitar 11,6 juta orang. Armada pengangguran bertambah lantaran PHK di sektor industri manufaktur, industri padat karya, sektor properti maupun konstruksi.
Saat ini., dampak kenaikan BBM mulai berdengung kencang. Gemuruh inflasi tahunan (year on year) membumbung menjadi 17,89 persen. Sedangkan untuk periode Januari-Oktober 2005, angkanya mencapai 15,65 persen. Padahal, target inflasi tahunan di APBN Perubahan 2005, ditetapkan delapan persen.
Inflasi terjadi akibat adanya kenaikan harga. Fase itu terpampang oleh kenaikan indeks pada seluruh kelompok barang serta jasa.
Di tengah ekonomi dunia yang kian terintegrasi, telah banyak ikhtiar diberdayakan. Ihwal tersebut dilakukan demi menempatkan ekonomi pada jalur pertumbuhan optimal. Hingga, memacu percepatan perputaran roda ekonomi.

Ekonomi Global

Tantangan ekonomi Indonesia yakni ketidakstabilan kinerja ekonomi makro. Kemudian penegakan hukum guna membangun kepercayaan. Lantas penyederhanaan prosedur perizinan. Di samping itu, sistem perbankan yang menerapkan suku bunga tinggi. Lalu tumpang-tindihnya kebijakan antara pusat, daerah maupun antar-sektor. Masalah lainnya adalah reformasi perpajakan.
Tantangan selanjutnya ialah animo untuk memfokuskan ekspor minyak, gas dan pertambangan. Hal penting yang juga mendesak yaitu menekan tingkat pengangguran. Kemudian menurunkan jumlah penduduk miskin. Data pada semester kedua tarikh 2005 memaparkan jumlah orang miskin mencapai 54 juta.
Harapan teramat vital berikutnya yakni, mengembangkan perekonomian rakyat. Ihwal pokok terakhir adalah memberantas korupsi sebagai biang ekonomi tinggi. Bahan bakar minyak (BBM), umpamanya, mencatat kebocoran keuangan negara sekitar Rp 35 triliun per tahun gara-gara salah urus.
Sebelas tantangan itu merupakan momok di tengah manajemen pengelolaan ekonomi yang semrawut. Alhasil, Indonesia yang dihuni hampir seperempat miliar penduduk, hanya menjadi pasar konsumsi (negara perdagangan). Negeri dengan sumber kekayaan alam yang menggiurkan ini, sulit menempatkan diri sebagai pasar produksi (negara industri). Indonesia cuma jago sebagai pembajak hak atas kekayaan intelektual (HaKI) di tengah ekonomi swasta global yang mengalami booming.
Pertumbuhan ekonomi dunia sebenarnya dibiayai oleh defisit neraca perdagangan Amerika Serikat (AS). Pada 1995, defisit AS hanya dua persen. Pada 2004, menjadi 5,7 persen dari produk domestik bruto.
Fenomena tersebut sesungguhnya membuat greenback (mata uang dollar AS), melemah. Paman Sam beruntung berkat negara-negara di Asia mengaitkan mata uangnya dengan dollar. Hingga, nilai ekspor barang dari Asia meningkat berkat harga yang kompetitif.
Pada awal Juli 2005, harga minyak dunia menembus 60 dollar AS per barel. Gejala itu diprediksi merugikan ekonomi AS. Di luar dugaan, pada kuartal I tertera bila pertumbuhan gross domestic product (GDP) Uncle Sam meningkat dari 3,5 persen menjadi 3,8 persen. Data belanja konsumsi individu warga AS, juga menurun dari 2,2 persen menjadi 2 persen. Peningkatan ekspor AS diiringi pula penurunan impor.

Ekonomi Rakyat

Saat ini, untuk memacu pertumbuhan ekonomi supaya meningkat, maka, dibutuhkan renaisans (kebangkitan kembali). Dengan jumlah penduduk sekitar 240 juta jiwa, Indonesia merupakan gerbong sesak. Hingga, lokomotifnya mesti lebih handal dibandingkan China maupun India. Kedua negara tersebut dibaiat sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang dinamis.
AS malahan terpesona dengan potensi India sebagai pasar raksasa. Apalagi, Negeri Bollywood itu ditopang oleh 1,1 miliar penduduk dengan kegairahan pertumbuhan ekonomi yang pesat sebagaimana Negeri Tirai Bambu.
China bersama India, juga dibaptis sebagai emerging power. Karena mendominasi fenomena perpindahan teknologi serta modal secara besar-besaran dari negara maju ke negara berkembang.
Paradigma perekonomian Indonesia di tengah kondisi ekonomi global yang masih volatil (terayun-ayun), menjadi tantangan besar. Jika perekonomian dunia yang cenderung neoliberalisme (berpaham pasar bebas) diikuti, berarti arah kebijakan ekonomi terkesan jalan di tempat. Geajala tersebut merupakan kabar buruk atawa rapor merah bagi perekonomian dan sektor bisnis Indonesia.
Konsolidasi ekonomi Indonesia mendesak digagas demi menyambut Asia Timur Laut sebagai pusat ekonomi dunia yang baru. Asia Timur Laut ditarik oleh Jepang, China serta Korea. Tiga kuda terbang itu memiliki nilai perdagangan sekitar 2,08 triliun dollar AS pada 2003.
Kini, sepatutnya dihidupkan social capital yang berasas kejujuran. Dengan model perekonomian tradisional yang dikenal dengan nama bagi hasil, maka, perekonomian rakyat bisa maju.
Fondasi ekonomi perdagangan dan industri yang kuat berasal dari usaha kecil maupun menengah. Kalau kedua sektor tersebut bergizi, niscaya bakal menjadi investasi jangka panjang bagi perekonomian nasional. Perekonomian akan tetap kokoh berotot di tengah amuk perputaran uang berkat kehadiran usaha kecil serta menengah yang kuat.
Selama ini, perekonomian tradisional tersisih lantaran kepungan mal dan hypermarket yang one stop shopping (membeli apa saja di satu tempat). Masalahnya, bisnis Goliath yang total merchandises (menjual segala sesuatu) sekaligus total solution services (semua keperluan konsumen) itu, justru memasarkan produk dari Barat.
Renaisans ekonomi Indonesia sebagai grand vision merupakan titian menuju pembangunan milenium yang demokratis, partisipatif serta transparan.
Tanpa kekuatan ekomomi, niscaya kehidupan morat-marit. Keseharian dilanda alur yang carut-marut. Sebab, “ekonomi menguasai hidup kita”.

(Pedoman Rakyat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People