Humanisme Imlek
(Menyambut Tahun Baru Imlek 2558 18 Februari 2007)
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Sosial
Pada 9 Mei 2006, meruyak peristiwa Latimojong di Makassar. Kerusuhan tersebut bermula ketika WT menyiksa sampai mati Hasniati. WT yang beretnis Tionghoa akhirnya memicu kemarahan pribumi. Akibatnya, warga Tionghoa hidup dalam ketakutan. Beberapa rumah suku Tionghoa sempat dihujani batu.
Kasus Latimojong mempertontonkan suasana keruh dalam berbangsa. Makna Pancasila masih sebatas wacana indah di ruang-ruang seminar. Sebab, persatuan Indonesia belum meresap di tengah pluralistik umat manusia yang diciptakan Tuhan secara berbeda-beda. Negara ini belum sanggup menempatkan seluruh kabilah negara berkedudukan serta setara di hadapan hukum (equality before the law) yang dijamin UUD 1945. Padahal, puak Tionghoa adalah bagian dari bangsa Indonesia. Mereka pun makhluk Tuhan yang berpikir, berjalan dan makan. Pokoknya: “Tionghoa juga manusia!”
Tragedi tragis Latimojong sesungguhnya memperlihatkan hubungan benci, tetapi, rindu (hate-love relationship). Tionghoa dibenci lantaran mereka cuma kaum pendatang di bumi pertiwi. Di sisi lain, non-pribumi dirindukan pula. Karena, tanpa Tionghoa, berarti pasokan barang di pusat-pusat perniagaan ikut macet.
Masyarakat perantau itu dibutuhkan sekaligus dinafikan identitasnya. Dari segi hukum, terlihat posisi mereka mengambang. Sedangkan dalam kehidupan sosial, kelompok tersebut seolah tidak mengakar. Padahal, kekuatan serta peran Tionghoa sebenarnya teramat besar.
Posisi Tionghoa yang terombang-ambing, bagai bahtera yang dipermainkan ombak. Mereka sering merasakan sejarah kelam di Nusantara. Prahara paling pahit yang pernah menimpa mereka terjadi di Batavia pada 9 Oktober 1740. Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), membunuh 10 ribu orang Tionghoa. 700 rumah mereka dibakar dan dihancur-leburkan. VOC seolah memandang Tionghoa sebagai Jews of the East.
Di era Soeharto, terbit Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967. Inpres tersebut melarang adat istiadat serta wujud ekspresi keagamaan masyarakat Tionghoa di depan umum. Sejak itu, terjadi diskriminasi sistematis atas rumpun Tionghoa. Orde Baru lalu melansir istilah Cina. Ungkapan tersebut mirip penamaan negro yang bernuansa menghina di Amerika Serikat. Akibatnya, banyak insan Tionghoa merasa kurang berkenan dengan penggunaan kata Cina.
Masyarakat keturunan yang dibatasi tindak-taduknya, justru tetap tabah. Irama kehidupannya memang dibelenggu, namun, di bidang ekonomi mereka sulit ditandingi.
Tangan orang Tionghoa dalam mengelola bisnis laksana jemari Midas. Apa yang disentuhnya langsung menjadi emas. Gerak-geriknya lihai mengundang kesuksesan. Kesan yang tertancap yakni, begitu lahir orang Tionghoa sudah pintar berdagang dan pandai mencari duit.
Kehandalan orang Tionghoa mengelola ekonomi bisa dilihat dari Imlek. Budaya itu merupakan ungkapan terima kasih atas hasil usaha yang diperoleh dari tradisi agraris.
Ikhtiar Positif
Pada intinya, Imlek bukan perayaan religius dalam kepercayaan Kongfutzu. Imlek hanya hari raya tradisional Tionghoa yang erat kaitannya dengan pertanian. Arkian, terkadang dinamakan nong li xin nian (tahun baru petani).
Di negeri Tirai Bambu tempat the Great Wall (Tembok Besar) kukuh terpancang, Imlek dinamakan chunjie atau sin cia (hari raya musim semi). Imlek di zaman pemerintahan Republik Tionghoa Bin Kok (1912-1949), sempat dilarang. Sebab, dinilai usang sekaligus ketinggalan zaman.
He lek (penanggalan) Imlek didasarkan pada peredaran bulan serta matahari (sistem lunisolar). Penghitungan kalender tersebut bermula pada tanggal satu bulan pertama yang bertepatan dengan awal musim semi.
Kata “Imlek” (perayaan bulan) berasal dari dialek Amoi bahasa Hokkian selatan. Dalam bahasa Mandarin dinamakan yinli. Selain itu, kegiatan Imlek diistilahkan guo nian (memasuki tahun baru). Di Indonesia dinamakan konyan.
Pada tanggal 25-30, masyarakat Tionghoa mulai menata rumah, berbelanja dan memasak. Sebagai ungkapan rasa syukur, maka, berkumpul sanak-famili di malam pergantian tahun. Mereka berdoa serta bersantap malam sebagai ucapan terima kasih kepada Tuhan (Thian). Rumah pun dipasangi chunlian (puisi berpasangan mengenai musim semi yang diletakkan di sisi kanan-kiri suatu benda). Kemudian ada nianhua (lukisan pohon yangliu, berupa rumah yang dikelilingi pohon persik dan sajak kuno). Pancaran lampion merah yang memantulkan cahaya memukau, ikut meramaikan suasana. Ada pula bunga sakura yang elok terpajang dalam ruangan. Sementara anak-anak terlihat girang memperoleh angpao yang di Beijing diistilahkan yasuiqian.
Makanan yang disiapkan antara lain siu mi (mi panjang umur) serta zabanr (manisan buah kering). Lantas ada mijian (manisan buah), migong (kue ketan goreng) dan niangao (kue keranjang). Lalu dihidangkan pula yu sheng (rujak), jiaozi (makanan berisi sayur yang satu di antaranya diisi uang logam). Di samping itu, juga tersedia arak.
Usai menyantap hidangan, maka, mereka bergadang semalam suntuk. Pintu rumah dibuka lebar agar rezeki leluasa masuk. Kala bergadang, tersedia camilan semacam kacang, kuaci serta kembang gula.
Esoknya, warga Tionghoa bersilaturrahmi sebagai bagian dari spiritualitas Imlek. Mereka memakai busana model qipao (cheongsam) yang didominasi merah. Warna tersebut diidentikkan dengan musim semi. Bahkan, dihubungkan dengan keberuntungan. Suasana makin gegap-gempita oleh gemuruh barongsai, liong dance (tarian naga) dan atraksi Shaolin Wushu.
Dulu, di hari raya Imlek akrab terdengar ucapan sin cun kiong hie, thiam hok thiam sioe, ban soe jie ie (selamat tahun baru semoga bertambah rezeki serta umur sekaligus terkabul segala yang dipanjatkan).
Tujuh hari setelah Imlek, dilakukan King Thian Kong (sembahyang kepada Sang Pencipta) di kelenteng. Aspek itu menghendaki supaya tahun baru yang dimasuki penuh dengan kebaikan.
Pada dasarnya, jumlah hari perayaan Imlek mencapai 22 hari. Sepekan sebelum Imlek (tanggal 23 bulan 12) , diadakan sembahyang untuk Toa Pe Kong (Dewa Dapur) yang bernama Ciao Kun Kong. Dewa tersebut mengawasi sekaligus memperhatikan seluruh tingkah-polah penghuni rumah. Ciao Kun Kong kemudian melaporkan perilaku seseorang kepada Thian (Tuhan) sebagai penguasa langit.
Ciao Kun Kong yang berangkat ke langit wajib diantar dengan membakar hio (dupa) dan mercon. Lantas menghamparkan buah-buahan serta rangkaian devosi (persembahan) doa. Ritual itu dimaksudkan agar Ciao Kun Kong cuma menyampaikan ikhtiar positif di hadapan Tuhan.
Menggalang Silaturrahmi
Pada hakikatnya, Imlek menegaskan esensi kehidupan berupa penghormatan terhadap kemanusiaan. Di hari raya tersebut, komunitas Tionghoa menghaturkan rasa hormat kepada orang-orang tua dalam keluarga. Lalu bersilaturrahmi demi menyambung tali persaudaraan.
Dari sisi itu terlihat jika inti Imlek ialah humanistik (kemanusiaan). Formula Imlek tiada lain untuk mengagungkan spirit kemanusiaan. Imlek mengusung penghormatan yang mendalam terhadap orang-orang tua, kerabat, sahabat-sahabat maupun kolega bisnis. Selama 22 hari perayaan Imlek, warga Tionghoa larut dalam rasa syukur, kegembiraan dan silaturrahmi. Sedangkan semangat humanisme yaitu satu dunia (one world). Raja Pop Amerika Serikat Michael Jackson memekikkannya dengan istilah We are the World. Dari energi humanisme tersebut, tercipta manifesto bahwa semua manusia bersaudara (alle menschen verden bruder). Apalagi, humanisme menfokuskan visi pada martabat serta kebudiluhuran dari kesuksesan yang dicapai tiap individu.
Karl Marx menuangkan filsafat kehidupan bahwa manusia adalah bagian dari kelompok masyarakat. Hingga, keadaan sosial yang sesungguhnya menentukan kesadaran tiap insan. Ia juga menandaskan bahwa hidup yang aktif dengan dunia obyektif merupakan hidup yang produktif. Sektor itu lahir berkat adanya kesadaran dalam wujud hakiki manusia.
Presiden pertama RI Soekarno, memiliki argumen perihal sisi humanis. Ia berteori tentang politik warna kulit sebagai aspek adikodrati. Biarpun bernuansa adikodrati, tetapi, ikhtiar penentu nasib sangat didominasi potensi orang per orang. Dalam mencapai skema hubungan antara segenap kulit berwarna, maka, nasib manusia tetap tergantung pada hasil usahanya sendiri.
Hakikat Imlek yakni menggalang silaturrahmi di tengah rasa syukur. Sementara humanisme berupaya mewujudkan tata baru masyarakat bebas dan universal. Alhasil, umat planet biru ini enteng berpartisipasi buat menggapai kemaslahatan global.
Kalau sukma Imlek meresap dalam sanubari, niscaya pengganyangan Tionghoa di Makassar mustahil terjadi. Karena, tiada lagi sentimen etnisitas yang membatasi semangat guna membangun negeri ini. Apalagi, Imlek lahir dari persada agraris. Hingga, bumi Nusantara yang juga bertipe agraris bakal menjadi lahan subur kesetaraan serta kebersamaan. Apalagi, semua suku di muka bumi ini mutlak menjaga ciri pokok dan karakter khasnya supaya tidak melepuh tergerus dinamika zaman.
Tiap penduduk Indonesia seyogyanya bekerja sama demi mencapai kemakmuran serta kesejahteraan. Stigma rasis terhadap minoritas suku Tionghoa di negeri merdeka ini selayaknya dibelenggu dan dipasung. Sikap otoritarian mesti diredam agar nilai-nilai Pax Humanica seperti cinta kasih serta perdamaian merekah indah di persada permai ini. Hatta, sekali setahun nyaring terdengar suara merdu dari saudara kita puak Tionghoa mengucapkan salam ala Mandarin: “Gong Xi Fa Cai” (selamat dan semoga banyak rezeki).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar