Senin, 20 Juni 2011

Sikap Hidup: Barat Lebih Islami

Sikap Hidup: Barat Lebih Islami?


     Sesudah membaca tulisan "Sikap Hidup: Jangan Berkiblat ke Barat" (TEMPO, 6 April 1991, Komentar), saya merasa tergelitik. Sebab, tulisan itu sangat pesimistis terhadap Barat. Ada tiga hal yang menarik dalam tulisan itu. Pertama, menganggap bahwa pada umumnya dunia Barat dewasa ini menjadi pusat malapetaka dunia. Hingga timbul asumsi bahwa moral masyarakat Barat sangat rendah: penuh syahwat kebinatangan. Kedua, seni dan budaya dunia Barat telah terkungkung dalam museum-museum. Ketiga, pondok pesantren disebut sebagai sasaran yang akan menjadikan orang pintar, alim, bijak dan berwatak.
     Yang tergambar dalam benak kita, ketika Barat disebut, adalah nilai-nilai moral yang sangat rapuh. Lebih khusus, ketika Amerika dibicarakan, yang terbayang adalah Rambo atau Madonna. John Rambo, tokoh fiktif Uncle Sam, adalah pendekar sakti yang dibalut kekerasan. Ia jatuh dari tebing terjal, disengat listrik atau pansernya ditabrakkan helikopter, toh ia tetap masih hidup.  Sedangkan Madonna merupakan figur wanita yang seronok. Dalam berbagai pose, buah dadanya terburai dan nyaris jatuh merenting.  Begitulah wajah Amerika dalam kepala kita, yang generasinya dijuluki The Lost Generation atau The Lost Boys.
     Menilai Amerika, tentu harus dikesampingkan kengerian bahwa di benua temuan Kolombus itu, dalam enam menit, ada satu perkosaan. Barat mesti dilihat dengan kaca mata yang arif. Di Barat, terutama Amerika, ilmu dan teknologi maju pesat. Bulan, Mars, maupun planet lain, kini, bisa diintip. Sesuatu yang sangat mustahil ketika Jules Verne membayangkan ruang angkasa dalam cerita science-fiction-nya. Namun, akhirnya, negara-negara liberal-kapitalis Amerika bisa membuktikan: Neil Armstrong dan Edwin Aldrin tampil sebagai manusia pertama ke bulan.
     Ada yang mengatakan bahwa agama dan susila di sana praktis telah lumpuh. Tapi, ingat, Salman Rushdie, novelis Inggris keturunan India, yang menghujat Islam lewat The Satanic Verses-nya. Ketika novel setan itu ramai dibincangkan, Dr. Ahmad Zaki Hammad, Presiden Islamic Society of North America (ISNA), mengatakan ada sekitar 300 ribu surat protes dilayangkan ke Viking New York, penerbit The Satanic Verses. Ini berarti, kepedulian agama tetap ada di tengah hura-ria kemaksiatan.
     Sebelum pecah Perang Teluk II, orang tak cuma membeli buku biografi Presiden Saddam Hussein, tapi juga mencari al-Quran, Holy Bible serta ramalan-ramalan astrolog Prancis, Nostradamus. Sedangkan masyarakat Islam Amerika yang berkulit hitam (Muslim Bilali) menerbitkan koran The Bilalian News, yang diilhami nama Bilal bin Rabah, eks budak kapitalis Mekah, Umayah bin Khalaf.    
     Jadi, napas agama di Amerika bukan lumpuh, justru berkembang pesat. Di Perancis, Jean Marie Le Pen, tokoh ekstrem kanan Front Nasional, pernah gusar dan berujar, "Dang vingt ans la France sera un Republique Islamique." (Dalam dua puluh tahun mendatang, Perancis akan menjadi republik Islam). Cukup mengherankan kalau disebutkan, di Perancis saat ini penggemar seni dan budaya tinggal 15%. Angka ini sebenarnya diambil dari angket yang belum bisa dijadikan standar penilaian terhadap masyarakat Perancis.  
     Kenyataan menunjukkan, seni dan budaya kini sedang ramai dibahas. Hingga, John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam buku Megatrends 2000, menempatkan renaisans dalam seni sebagai satu di antara sepuluh kecenderungan besar. Perlu digarisbawahi, dari tahun ke tahun, pengunjung museum terus meningkat. Betul jika ada pernyataan, "kita harus benar-benar jeli dan selektif memilih kiblat ilmu, ke negara mana kita akan berorientasi". Tetapi, sangat sulit diterima bila pesantren dianggap sebagai sarana yang akan menjadikan orang menjadi pintar.
     Pelajaran-pelajaran yang dikuliahkan di pesantren sebenarnya sudah banyak yang tak sesuai dengan tuntutan zaman. Dalam pondok itu, santri cuma belajar kitab kuning yang memuat pikiran-pikiran tempo dulu. Apa yang telah terserap dari kitab kuning cenderung dipertahankan sebagai hukum tak terbantah.
     Pada hakikatnya, pesantren cuma menjadikan santri sebagai manusia bijak, yang bergelut dengan fikih masa lalu. Menghadapi antena parabola atau komputer al-Quran, mereka bingung. Padahal, teknologi canggih itu tak mungkin terlepas dari keseharian hidup. Ini yang sangat ironis dari pesantren yang tetap memberlakukan kurikulum kuno.
     Pantas Muhammad Abduh pernah berkata, "Saya tak melihat Islam di bumi kaum muslim, tapi di Barat." Tokoh pembaru Islam ini melihat cara kerja di Barat, yang begitu ulet dalam berbagai hal, yang menjadikan mereka lebih Islami daripada orang muslim sendiri. Di situ, lahir orang-orang seperti Isaac Newton, Michael Faraday, dan Wernher von Braun. Hal-hal positif dari orang-orang terkemuka di dunia Barat itulah yang harus digenggam. Bukan hanya melihat segi maksiatnya yang memang lebih menonjol. Bila tak ingin belajar dari bangsa lain, itu berarti rasa percaya diri tidak ada. Kini bagaimana memadukan ketajaman berpikir ala Barat dengan perilaku lembut ala Timur.



ABDUL HARIS BOOEGIES
Jalan Veteran Selatan No. 292 A Ujung Pandang 90133


(Tempo, 20 April 1991)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People