Sabtu, 04 Juni 2011

Tasawuf Sebagai Virus Islam


Tasawuf Virus

Islam


Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Sosial

     Saat terjadi perpindahan milenium di akhir abad ke-20, terpampang fenomena baru dalam Islam Indonesia.  Orang tiba-tiba melihat beberapa pemuda berjenggot dengan baju gamis.  Bahkan, kepalanya ditutup sorban.
     Sosok demikian memunculkan dua persepsi.  Pertama, boleh jadi mereka merupakan anggota organisasi berbasis Islam yang mencoba menegakkan hukum Allah di muka bumi.  Kedua, mungkin saja mereka pecundang kehidupan yang mencari keteduhan dengan melibatkan diri dalam tasawuf.
     Mistik Islam sering menjadi pelarian bagi kalangan yang kalah dalam menghadapi kehidupan.  Mereka menganggap sufisme sebagai panggung baru kehidupan.  Gerombolan penganut tasawuf menilai kalau mendekatkan diri kepada Tuhan merupakan jalan terbaik.
     Sufisme sesungguhnya tiada lain musuh sains dan teknologi.  Dunia masa kini sebenarnya tak boleh menyisakan tempat bagi komplotan mistik Islam.  Sebab, yang dibutuhkan adalah manusia-manusia barbasis teknologi yang mahir di wilayah eksplorasi ilmiah. 
     Di era industrialistik-kapitalistik ini, tasawuf bukan pilihan hidup.  Paradigma berpikir di alam modernisasi memang memaksa orang sibuk tak keruan.  Kesibukan tersebut yang akhirnya membelenggu kesadaran ilahi manusia.
     Kala sepercik tetes segar keberagamaan menggoda, sontak orang memandang sufisme sebagai pilihan hidup.  Tasawuf dianggap sebuah sumber hidup yang mencerahkan.  Perspektif seolah terbentang jika sufisme merupakan puncak pendakian menuju hakikat Tuhan.  Padahal, nilai-nilai agamis yang terpasung dalam modernitas tidak akan tergantikan oleh spiritualisme.
     Pada esensinya, orang bisa menggelorakan dimensi ilahi hanya dengan menjalankan ibadah yang diperintahkan Allah.  Fase itulah yang selama ini hilang.  Orang lupa Tuhan gara-gara sibuk bekerja di tengah suasana kompetitif serta apresiatif.  Ketika semangat agamanya memuncak, maka, tasawuf pun dilirik sebagai way of life.  Akibatnya, sisi duniawi kehidupannya tak lagi fokus.  Semua energi dikhidmatkan untuk sufisme.
     Islam tidak mengenal tasawuf.  Apalagi, seluruh tindak-tanduk manusia sudah tercakup dalam ajaran Islam.  Karena, Islam memberi peluang buat bekerja sambil berdoa. 
     Islam tidak mengajar orang berdoa terus sampai ajal menjemput.  Islam juga tidak menyuruh penganutnya agar mengasah etos kerja selama 24 jam sehari-semalam.  Islam dengan tegas memerintahkan untuk menyelaraskan kehidupan dunia dan akhirat.

Elang Gagah
     Anatomi sufisme tidak sejalan dengan Islam lantaran inti ajaran tersebut tergolong anti-dunia.  Dalam mencapai panggung cinta serta kearifan (via illuminativa), mereka wajib menjalani disiplin ketat demi mereguk kemurnian (via purgavita).
     Pada prinsipnya, manusia tidak dilahirkan buat meninggalkan hiruk-pikuk dunia.  Bumi bersama isinya justru harus dikelola lewat aktualisasi diri.  Diktum jenaka berderit: “cogito ergo mundus tali est” (saya berpikir, maka, semesta raya seperti ini).
     Tanpa menggunakan akal, niscaya kehidupan tetap terbelakang.  Ilmu-ilmu terasa gelap.  Pengetahuan tak kunjung menawarkan kenyamanan.
     Anthony de Mello mendongeng.  Alkisah, seseorang menemukan sebutir telur elang.  Ia lantas menetaskannya dengan telur ayam.  Elang tersebut akhirnya lahir bersama anak-anak ayam.  Mereka hidup berdampingan sampai dewasa.
     Syahdan, elang menatap ke langit.  Ia melihat burung yang terbang dengan elok.  ”Siapa gerangan itu?” tanya elang.  ”Dialah elang, raja segala burung.  Habitatnya di langit.  Sementara ayam di bumi”, jawab induk ayam.
     Sepanjang hayat, elang hidup dan mati sebagai ayam.  Ia tak mampu mendayagunakan potensinya sebagai burung nan gagah yang menguasai angkasa.
     Hikayat elang menunjukkan bahwa pelaku tasawuf merupakan orang-orang yang tak mengetahui jatidirinya.  Mereka lupa jika sesungguhnya sufisme sekedar kreativitas ibadah belaka.  Tanpa mengaplikasikan tasawuf pun, orang dapat memperoleh pencerahan.  Sebaliknya, penganut mistik Islam mesti hati-hati bin waspada.  Sebab, mereka berada di jalan buntu (cul-de-sac) akibat melakukan perbuatan berlabel sesat.  Seratus persen sufisme adalah bid’ah.
     Korupsi serta aneka penyelewengan di sekitar yang dilakukan oleh sekelompok anak-cucu Nabi Adam, tidak harus membuat golongan lain lari dari kehidupan dunia.  Segenap kebejatan mesti dilawan.  Kaum Muslim bukan chicken shit (pengecut), tetapi, elang perkasa.  Hingga, tidak pantas orang Islam hidup di tengah ajaran tasawuf yang bisa diidentikkan sebagai ayam.
    
Buraq 2
     Sufisme bukan jalan kehidupan.  Nabi Muhammad sendiri tidak pernah mengamalkan seumur hidupnya praktik tasawuf.  Rasulullah justru memperlihatkan kerja keras guna meraih kemenangan.  Ia berhijrah ke Medinah.  Kemudian berperang secara head-to-head (bertarung secara fisik) dengan komunitas kafir. 
     Pada intinya, Nabi Muhammad bisa saja berdoa kepada Penguasa Langit dan Bumi supaya disediakan Buroq 2.  Dengan Buroq 2, ia leluasa melakukan pengembaraan (odyssey) ke Medinah tanpa diganggu algojo-algojo Quraisy.  Rasulullah pun dapat meminta kepada Allah agar semua penentang Islam mati dirajam oleh burung sebagaimana yang dialami balatentara Abrahah al-Asyram.
     Nabi Muhammad tidak melakukan permintaan khusus yang bisa membantunya menebar syiar Islam.  Ia ternyata bermandi keringat serta berdarah-darah demi mengagungkan Islam.
     Pola perjuangan Rasulullah tersebut yang sebenarnya wajib menginspirasi umat Islam di tengah arus deras informasi dari seluruh penjuru.  Bukan melarikan diri ke tempat-tempat tertentu saraya berdoa mengharap kasih Tuhan.
     Orang boleh saja mendengus bahwa sufisme memberi kedamaian hati.  Sisi itu menunjukkan kalau tasawuf adalah ajaran egois.  Kala orang-orang di sekitar terbelenggu bencana, mereka justru asyik-masyuk dengan sufisme. 
     Berbagai kelompok berlomba mencari visi kehidupan lewat dimensi rasionalistik.  Sedangkan jemaah mistik Islam lebih memilih menghindar.  Alhasil, empati penganut tasawuf benar-benar nihil.  Orang lain sibuk bekerja, sementara mereka tepekur mendalami jalan rohani yang tak punya landasan syariah.
     Hidup merupakan perjuangan buat menggapai titel the giant person (manusia raksasa).  Sains dan teknologi tidak bakal timbul di tempat persemedian atau ruang sufisme.  Sains maupun teknologi selalu merekah di laboratorium berbasis analisis.
     Menjelang kebangkitan khilafah (Kerajaan Islam), maka, seyogyanya tasawuf dikerangkeng.  Tidak ada kemuliaan dari rahim sufisme.  Karena, tasawuf tiada lain penghambat kemajuan Islam.

(Tribun Timur, Jumat, 27 April 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People