Benturan Kepentingan di Era Digital
Oleh Abdul Haris Booegies
DALAM mendedah masa depan, terdapat tiga nama sakti yang sering terpampang. Mereka adalah Alvin Toffler (Future Shock), John Naisbitt (Megatrends 2000) dan Samuel P Huntington (The Clash of Civilizations).
Ramalan Toffler serta Naisbitt perihal struktur era mendatang terasa santun. Sementara gambaran Huntington pasca-Perang Dingin beraroma provokatif. Karena, mempertentangkan bila bakal terjadi jurang-curam antara Islam dengan Barat. Ujung-ujungnya, rivalitas ideologi tersebut melahirkan benturan peradaban antara Konfucu-Muslim dengan Barat.
Di batok kepala "paus pewarta khaos" itu, jelas tertancap erat Islamphobia. Semua yang berbau ajaran Nabi Muhammad dianggap membahayakan perjalanan hidup.
Riba dan free sex, umpamanya, merupakan bagian hidup di Barat di tengah nuansa sekuler serta politik berciri liberal. Padahal, dua budaya sesat tersebut, tidak kapok dicerca oleh Islam.
Pada esensinya, benturan peradaban tak akan pernah terjadi. Sebab, tak ada insan planet bumi yang menghendaki perselisihan, sengketa atau perang. Di Barat orang mencela Islam sebagai ajaran barbar. Di tengah hiruk-pikuk itu, Barat lantas menggemakan wacana paling spektakuler yang ditujukan pada Islam. Mereka mengumandangkan kalau Islam adalah teroris. Karena, semua bom yang meledak pasti pemantiknya kaum Muslim.
Negara-negara Barat leluasa mencaci-maki umat Islam tanpa menyadari jika sedang terjadi paradoks. Sebab, di Amerika Serikat (AS) tengah berlangsung Islamisasi. Di negeri George Bush tersebut, tiap hari seorang penduduk memeluk agama Islam (mualaf).
Kalau AS memperoleh anugerah saban hari dengan masuknya seorang dalam jemaah Muslim, berarti rantai Islam bakal kokoh. Jalinan ukhuwah islamiyah kian kuat dari New York sampai Mekkah, dari London sampai Medinah, dari Paris sampai Kairo. Tidak mustahil, Hollywood yang berlumur dosa akan bermetamorfosis menjadi Holyland yang bergelimang amal saleh. Bila Khilafah (Kekaisaran Islam) berdiri dengan Yerusalem sebagai Ibu Kota, berarti, bukan hal muskil jika Los Angeles menjadi pusat baru kebudayaan Islam.
Film The 13th Warrior (Antonio Banderas) dan Kingdom of Heaven (Orlando Bloom), sebagai bukti. Dua karya sinema itu tidak secara ekstrem memandang Islam sebagai paham hitam-putih. Kedua film tersebut tidak sama True Lies (Arnold Schwarzenegger), yang menimbulkan kesan kalau orang Arab yang identik Islam adalah gerombolan tukang onar.
Melempangkan Kepentingan
Di era digital yang mendewakan kecepatan, menusia terhubung dalam hitungan nol detik. Jarak bukan lagi masalah dalam menghasilkan kesepakatan. Karena, teleconference, jaringan online maupun siaran real time telah menjadikan dunia dapat dipandang secara datar. Bumi tidak lagi bulat sampai susah diteropong.
Di era berasas kecepatan ini, manusia terhubung tanpa pantangan. Ruang ekonomi tak memiliki pintu negara atau regional. Semua sudut terbuka dalam tataran global. Dunia adalah pasar terbuka yang tak punya sekat. Perpindahan modal pun lancar tanpa rintangan di tengah maraknya paham kapitalisme.
Prinsip kerja sudah berubah oleh munculnya korporasi yang menjadi penopang utama kapitalisme. Ideologi yang tak peka terhadap norma sosial serta aturan hukum itu, selalu bergerak dengan modus operandi yang menghalalkan segala cara. Hingga, faktor yang bergemuruh tiada lain pencarian laba dengan cara apa saja. Gejala tersebut membuat peran World Trade Organization (WTO) yang dimotori AS, Eropa, Kanada dan Jepang, makin enteng. Sedangkan triumvirat Washington (World Bank, International Monetary Foundation serta Departemen Keuangan AS), leluasa mendiktekan kehendaknya di negara-negara lemah.
Saat manusia sanggup menjinakkan waktu dan jarak, maka, yang timbul yaitu bagaimana memuluskan kepentingan tanpa tantangan. Apalagi, seluruh tindak kehidupan berakar pada kerangka berpikir ekonomi. Alhasil, tiap individu terkurung dalam visi ekonomi yang menjadi mesin utama. Selain itu, para taipan yang berjuluk high-net-worth individuals (manusia dengan tingkat kekayaan bersih), tak mempersoalkan berapa bakul dollar yang harus dikucurkan.
Aspek bertabur dollar dari para kapitalis mondial tersebut, yang kelak mewarnai dunia. Dengan anggaran triliunan dollar, segenap kepentingan berhasrat direalisasikan. Pada kurun itu, perekonomian neo-liberal telah menyelubungi semua komponen kehidupan. Apalagi, sudah tak ada hambatan perdagangan. Sebab, terjadi penurunan tarif perdagangan aneka produk sekaligus penghapusan subsidi pertanian. Akibatnya, sistem moneter global yang bebas tersebut, membuat bank sentral tak berkutik mengendalikan pergerakan pasar uang internasional. Hingga, dari lima benua, dua samudera serta dua kutub, insan berskala mondial dengan modal gigantik, berupaya melempangkan kepentingannya.
Komposisi itu kian binal bila tesis Noreena Herzt dicerna. Penulis kitab “Perampok Negara” tersebut, berargumen jika demokrasi telah mati gara-gara wabah kuasa kapitalisme global. Kini, imperium bisnis duduk pongah di singgasana dunia menggantikan tahta politik negara.
Persaingan Kepentingan
Di masa depan, perang antar-bangsa di medan laga, tinggal kenangan zaman lampau. Pada era itu, pertempuran yang bergemuruh cuma kepentingan dalam merebut kesempatan.
Bibit benturan yang nantinya mewarnai dunia tergambar pada persepakbolaan. Kalau AC Milan bentrok dengan Real Madrid, maka, beberapa negara ikut terlibat. Karena, Il Diavolo dan Los Galacticos diperkuat pemain berkebangsaan Italia, Spanyol, Brasil, Perancis, Inggris, Belanda, Portugal, Georgia, Swiss, Denmark, Uruguay, Kroasia, Ceko, Ukraina serta Australia..
Penonton tidak melihat asal pemain kala mencetak gol. Media, masyarakat dan tifosi bonek (Ultra Sur) hanya tahu yang membobol gawang adalah Ronaldo atau Shevchenko. Kedua tombak runcing yang selalu on fire itu tidak dibatasi oleh negara, tetapi, sebuah klub kosmopolitan milik konglomerat! Dua kesebelasan yang beradu keterampilan di lapangan hijau tersebut, saling menggempur guna merebut tropi kejuaraan. Dan piala number one itulah yang mengaburkan nasionalisme atau kepentingan pribadi demi merebut keagungan klub yang sedang dibela.
Orang-orang jenius dari mancanegara yang direkrut Bill Gates tidak ditengok asal negaranya. Kumpulan orang cerdas tersebut tiada lain chip Microsoft. Gates memobilisasi sumber daya (resource mobilization) buat menciptakan piranti yang diinginkan pasar.
Petualangan raksasa industri software Microsoft, jelas dirintangi tantangan. Sebab, situs pencari terkemuka Google pun terkesan liar serta bandel dalam mengembangkan bisnisnya. Apalagi, Google yang memiliki nilai saham 130 miliar dollar AS (Rp 1.300 triliun) tersebut, juga menjalin kerja sama strategis dengan American Online (AOL).
Google punya ambisi untuk merealisasikan mikrobiologi dan biologi komputasional. Dalam mencapai target itu, jelas Larry Page serta Sergey Brin sebagai pendiri
Google, mesti bergerilya mencari orang jenius guna dipekerjakan di mesin pencari (search engine) mereka. Alhasil, di masa depan bakal terlihat bagaimana dahsyatnya persaingan antara Microsoft dengan Google. Bahkan, kemelut tersebut akan diramaikan pula oleh raksasa teknologi IBM dan Intel.
Google, mesti bergerilya mencari orang jenius guna dipekerjakan di mesin pencari (search engine) mereka. Alhasil, di masa depan bakal terlihat bagaimana dahsyatnya persaingan antara Microsoft dengan Google. Bahkan, kemelut tersebut akan diramaikan pula oleh raksasa teknologi IBM dan Intel.
Di era mendatang, klub bola atau perusahaan raksasa berlabel King Kong, bakal menghadapi benturan kepentingan. Dalam memoles kekuatan, mereka akan menggunakan segenap keunggulannya untuk mewujudkan programnya.
Fenomena itu menjabarkan bila di era mendatang, bukan tesis kontroversial Huntington yang berlaku. Masa depan bakal pekat oleh kemelut kepentingan ekonomi. Persaingan yang saling mematikan atau zero sum game tersebut, akan kental mendominasi konteks bisnis. Hingga, siapa yang piawai menata kehandalannya, niscaya bakal berjaya dalam benturan kepentingan di era digital.
(Pedoman Rakyat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar