Sabtu, 04 Juni 2011

Hijrah sebagai Metamorfosis Universal


Hijrah Sebagai Metamorfosis Universal

(Menyambut Tahun Baru Hijriah 1428 20 Januari 2007)

Oleh Abdul Haris Booegies

     Kehidupan manusia selalu terkait dengan perubahan.  Nabi Adam, umpamanya, meninggalkan surga untuk menata bumi.  Dalam proses kehidupan, janin berkembang lalu lahir sebagai bayi.  Masa kanak-kanak berubah menjadi remaja.  Kemudian berganti sebagai orang dewasa.  Proses terus berlangsung sampai tiba pada life begins at 40.
     Perubahan yang tiada henti bergerak, merupakan siklus kehidupan.  Manusia tak dapat mengingkari metamorfosis dalam dirinya.  Proses tersebut adalah perubahan dari wujud sederhana menjadi sempurna.  Ibarat ulat, ia berproses menjadi kupu-kupu yang indah.
     Metamorfosis juga dialami oleh Nabi Muhammad SAW.  Sesudah dilantik sebagai utusan Allah pada Senin, 10 Agustus 610, Rasulullah lantas mengalami hari-hari kelam.  Landasan tauhid yang dibangunnya dihujat oleh sebagian penduduk Mekah.  Hingga, para pengikut Nabi Muhammad tak bisa mempraktikkan gelanggang bebas individu dalam mengikuti proyeksi nuraninya.  Public sphere (ruang publik) di lembah Bakkah agaknya sumpek bagi kaum Muslim yang jumlahnya masih segelintir.
     Etnis Quraisy menggelorakan perlawanan sengit terhadap agama formal (organized religion) yang disampaikan Rasulullah.  Preman (hoodlum) Mekah yang selalu mengganggu aktivitas dakwah Sang Nabi antara lain Abu Lahab al-Hakam bin Abul-Ash bin Umayyah bersama istrinya Ummu Jamil binti Harb bin Umayyah.  Lalu Amr bin Hisyam Ibnul Mughirah al-Makhzumi al-Qursyi (Abu Jahal), Uqbah bin Abu Mu’ith, Ady bin Hamra ats-Tsaqafy, Ibnul-Ashda al-Hudzaly serta Al-Asud bin Abdul Yaguts bin Wahab bin Abdul Manaf bin Zahrah.  Selain itu, ada An-Nadhr bin al-Harits, al-Akhnas bin Syariq ats-Tsaqafy dan Al-Harits bin Thalathilah bin Amr bin al-Harits.
     Para begundal yang selalu nongkrong di sekitar Kakbah itu, tak sudi politeisme warisan nenek moyangnya diganti.  Mereka tak rela Hubal, Lata, Manat, Uzza dan sekitar 360 arca lainnya dicerca sebagai sesembahan tanpa daya.  Daarun Nadwah sebagai Gang of Mecca, kemudian meracik vaksin pencegah munculnya “Islamdon” (peradaban Muslim). Komplotan padang pasir tersebut menggemakan voice of judgment buat menghabisi Rasulullah.
     Gangster Daarun Nadwah cemas melihat posisi Nabi Muhammad sebagai poros moralitas universal.  Apalagi, dari hari ke hari, selalu saja ada warga Mekah yang mengikuti ajarannya.  Hamzah, paman Rasulullh yang selama ini dianggap memiliki sudut pandang netral (neutral point of view), justru ikut masuk Islam.  Ia malahan menghantam Abu Jahal dengan busur di sisi Kakbah.  
     Kala itu, Abu Jahal menghina Nabi Muhammad.  Tiba-tiba Hamzah muncul sepulang berburu.  Sang paman yang berpostur raksasa, lantas menghajar Abu Jahal sampai mukanya berdarah.
     Cecunguk Abu Jahal serentak hendak mengeroyok Hamzah.  Abu Jahal sebagai ikon legendaris Quraisy, ternyata ciut seraya mengisyaratkan agar pergi meninggalkan Hamzah seorang diri di Kakbah.
     Hamzah yang jago gulat, diikuti pula oleh Umar bin Khattab sebagai pembela Islam.  Sebelumnya, Umar adalah peminum khamar.  Sosoknya gempal, berkulit hitam dengan sorot mata setajam elang.  Syahdan, setelah masuk Islam, sebagian setan memilih  menyingkir jika Umar lewat.
     Kekuatan Islam akhinya bergemuruh dalam mengekspresikan sikapnya.  Skema moral dalam ajaran samawi tersebut, tidak lagi didakwahkan lewat metode word of mouth (dari mulut ke mulut).  Akibatnya, tantangan berat menghadang kaum Muslim.  Mereka diteror dengan segala cara.  Situasi itu memaksa Rasulullah berniat angkat kaki meninggalkan Mekah.

Algojo Quraisy
     Yatsrib merupakan kampung subur seluar 20 mil persegi.  Oasis tersebut dikelilingi gunung serta hamparan pasir-pasir tandus.  Yatsrib secara harfiah bermakna “mengecam”.
     Posisi Yatsrib teramat strategis dalam perniagaan.  Kampung yang dihias kebun-kebun kurma itu, menjadi jalur kafilah yang lewat ke pesisir Laut Merah menuju Syam.  Para pebisnis dan pemilik modal di Mekah dan Thaif, sangat tergantung pada Yatsrib sebagai jalur lalu lintas.
     Yatsrib sebagai tanah pertanian, digarap oleh masyarakat Yahudi.  Di Yatsrib, bermukim tiga suku Yahudi terkemuka.  Mereka adalah Bani Quraidzah, Bani Nadzir serta Bani Qainuqah.
     Pada abad ke-6, Bani Qailah berimigrasi ke Yatsrib.  Rombongan dari Arabia selatan itu memecah diri menjadi kelompok Aus dan Khazraj.  Sayup-sayup, panggilan Islam akhirnya sampai di Yatsrib.  Apalagi, komunitas Yahudi tidak asing dengan ajaran satu Tuhan.
     Pada tahun 621 di musim haji, enam orang dari Yatsrib masuk Islam.  Tarikh berikutnya atau musim haji tahun keduabelas dari nubuwwah (kenabian), kembali orang Yatsrib mencari petunjuk (getting leads) dalam pancaran nur Ilahi.  Ada 12 orang yang menemui Nabi Muhammad di Aqabah, Mina.
     Ketika rombongan itu balik ke Yatsrib, Rasulullah mengutus change agent bersama mereka untuk mengimplementasikan program-program strategik serta framework (kerangka kerja) syariat Islam.  Nabi Muhammad memilih Mush’ab bin Umair al-Abdary, seorang pemuda cerdas yang pernah ke Abysinia.  Di Yatsrib, ia menginap di rumah As’ad bin Zurarah.
     Sebelum musim haji tiba, Mush’ab kembali ke Mekah.  Usai mengemban amanah sebagai relationship builder dan helps others to succeed.  Ia berpendapat kalau  penduduk Yatsrib sudah punya minat yang signifikan serta siap membela Rasulullah.
     Pada Juni 622, bergerak 75 Muslim Yatsrib melaksanakan manasik (tata cara haji).  Dua di antaranya wanita yakni Asma binti Amr dan Nasibah bin Ka’ab.  Di suatu malam, dicanangkan Baiat Aqabah Kubra atau Ikrar Aqabah Tsani.  Klausalnya mencakup sikap untuk berpegang teguh pada Islam, loyalitas serta saling melindungi.
     Baiat Aqabah Kubra membuat punggawa-punggawa Quraisy terguncang.  Pada 12 September 622, Daarun Nadwah sibuk.  Tujuh delegasi yang terdiri 14 utusan kabilah Quraisy, lalu berembuk di kediaman Qusay, sesepuh Quraisy.  Mereka adalah Abu Jahal, Jubair bin Muth’im, Thu’aimah bin Ady, Al-Harits bin Amir dan Syaibah bin Rabi’ah.  Kemudian Utbah bin Rabi’ah, Abu Sufyan bin Harb, An-Nadhr bin al-Harits, Abul-Bakhtary bin Hisyam dan Zam’ah bin al-Aswad.  Di samping itu, juga hadir Hakim bin Hizam, Nubih bin al-Hajjaj, Munabbih bin al-Hajjaj dan Umayyah bin Khalaf
     Ke-14 orang tersebut merupakan wakil dari tujuh klan dalam puak Quraisy.  Selain itu, tersisip pula seorang kakek misterius dari Najd.
     Keputusan gila bin sinting institusi Daarun Nadwah ialah membunuh Nabi Muhammad.  Sebelas algojo yang keberaniannya mendapat acungan dua jempol sekaligus double A langsung ditunjuk.  Mereka adalah Abu Lahab, Abu Jahal, Al-Hakam bin Abul-Ash, Uqbah bin Abu Mu’aith, An-Nadhr, Umayyah, Zam’ah, Thu’aimah, Ubay bin Khalaf, Nubih serta Munabbih.

Kesetaraan Manusia
     Malam pada 27 Shafar tahun ke-14 nubuwwah, Rasulullah meninggalkan rumahnya.  Champions teamwork Quraisy dengan pedang setajam silet yang berhasrat mengeksekusinya, ternyata menuai kegagalan operasional.  Nabi Muhammad yang selamat tanpa cedera, lantas menemui Abu Bakar ash-Shiddiq (Abdullah bin Abi Quhafah Usman bin Amir bin Amru bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taym).  Keduanya lalu menuju gunung Tsur.
     Pada Senin, 1 Rabiul-Awal (16 September 622), Rasulullah, Abu Bakar, Amir bin Furaihah bersama Abdullah bin Uraiqith, menuju ke Yatsrib sebagai awal hijrah.
     Akar kata hijrah berasal dari hajara.  Morfem tersebut diinterpretasikan sebagai pemutusan diri dari hubungan yang penuh kasih sayang demi berasosiasi.  Hijrah merupakan perpisahan yang menyakitkan.  Sebab, menyelamatkan diri tanpa menghiraukan kepentingan.  Di samping itu, hijrah berarti mengorbankan harta benda sekaligus memotong ikatan sakral persaudaraan.
     Di Mekah, hak dan kewajiban orang Islam dikebiri.  Mereka dikucilkan dari lingkungan.  Kini, Nabi Muhammad berhijrah guna menatap masa depan gemilang.  Hijrah menjadi tonggak perjuangan dalam menghadapi masa depan.  Fazlur Rahman menyebutnya the founding of Islamic community.
     Dalam mengarungi pasir-pasir nan terik, Rasulullah menunggangi Qaswa, unta kesayangannya.  Pada Senin, 8 Rabiul-Awal tahun pertama Hijriah (23 September 622), seorang Yahudi dari atas pohon melihat Nabi Muhammad bersama rombongannya.  Ia segera berteriak di tengah iklim menyengat gurun yang seolah tiada bertepi serta tanpa batas.  “Putra-putra Qailah! Kakek kalian telah datang!”
     Di sepanjang jalan, beberapa orang memohon supaya Sang Maha-Rasul tinggal di rumah mereka.  Qaswa terus mengayunkan langkah sampai tiba di toko kurma milik dua bersaudara yang sudah yatim.   
     Nabi Muhammad turun dari untanya.  Kemudian bernegosiasi untuk membeli tanah mereka.  Di sana, lantas dibangun masjid Quba, tempat ibadah pertama kaum Muslim.
     Usai shalat Jumat pada 12 Rabiul-Awal, Rasulullah memasuki Yatsrib.  Sejak itu, kampung tersebut dinamakan Madinatur-Rasul atau medinah (kota) yang menjadi Dar as-Salam (Ibu Kota Islam).  Kata al-madinat diadopsi dari medinta (kota).  Kosakata itu berasal dari bahasa Aramaik yang jamak dipakai umat Yahudi.
     Sekarang, hijrah telah memasuki tahun ke-1428.  Metamorfosis terus bergerak dalam menggapai optimisme.  Hijrah menjadikan Islam bercahaya benderang.  Karena, sukuisme (pembelaan mati-matian terhadap kabilah), ditinggalkan untuk masuk ke dalam ummah (komunitas Islam).  Tidak ada lagi perbedaan asal-usul, kabilah atau tingkat materi.  Kini, yang menyembul tiada lain kesetaraan antar sesama manusia.
     Hijrah yang dilakukan pada periode awal Islam merupakan pencarian demi pencerahan jiwa.  Di era online ini, bergemuruh diktum “change or die” yang sejiwa dengan struktur hijrah.  Tanpa hijrah, niscaya gemuruh Islam sulit beradaptasi dengan lingkungan di luar teritorial Hijaz.
     Hijrah membuat Quraisy, Khazraj, Aus, Indian, Viking, Maya, Tionghoa, Tokugawa, Kurdi, Zulu, Bugis, Aborigin, Maori dan aneka rumpun saling bersaudara dalam iman.  Bahkan, hijrah juga berhasil mengangkat medinta menjadi al-madinat sebagai kosakata global.  Maknanya pun bukan sekedar “kota”, tetapi, “peradaban”. 
     Di sisi lain, termaktub pula bila spirit hijrah erat kaitannya dengan anatomi manusia.  Sebab, hijrah merupakan pantulan tentang kemampuan (capability) hakiki manusia berupa adaptasi serta bahasa.  Dua aspek tersebut yang sesungguhnyta menjawab epigraf “why change is a must”.  Karena, manusia bisa beradaptasi di mana saja di atas bumi ini.  Selain itu, bahasa pun menjadi refleksi serta aksi dalam bermasyarakat.  Arkian, adaptasi dan bahasa kental dalam perjalanan profetik dari Mekah ke Medinah.  Walhasil, hijrah yang dilakukan sebagai realitas alternatif, laksana jalur sutra bagi ulat yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu indah di ruang universal.
     “Purnama sudah terbit di atas kami.  Dari arah Tsaniyyatul-Wada’.  Kita wajib mengucap syukur.  Dengan doa kepada Allah.  Wahai insan yang diutus buat kami.  Dikau datang membawa urusan untuk ditaati”.  (Kidung Thala'al Badru yang disenandungkan kalangan Anshar pada 23 September 622).

(Fajar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People