(Sejumput Asa pada Tribun Timur 4th Anniversary
9 Februari 2008)
9 Februari 2008)
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Kajian Media
Di kawasan Sulawesi Selatan, nama Tribun terus berkibar. Sebab, media beranatomi compact edition ini memperoleh respons maksimal dari pembaca sekaligus menjadi lambang kepercayaan masyarakat.
Di era free market ini, Tribun seolah menggunakan celah sesempit apa pun buat berekspansi di tengah perspektif kritis. Hatta, Tribun menjadi acuan bagi khalayak Sulsel. Keberhasilan Tribun mencapai puncak seirama premis Roland Barthes. Ia berargumentasi bahwa: “Nothing is reported without making it signify” (tiada yang diwartakan tanpa menjadikannya bermakna).
Dewasa ini, Tribun telah menjelma “Pemimpin Baru”. Semua berkat isi beritanya dengan gambar yang cukup menarik. Biarpun Tribun mewakili generasi baru pers Indonesia, tetapi, tetap ada yang perlu direformasi. Selama lebih 20 tahun menikmati koran, hanya halaman opini Tribun yang ada iklannya. Pada Januari 2008, entah berapa kali halaman opini dihias advertorial komersial.
Sekelebat saya berdegup girang. Mungkinkah pembayaran pariwara itu menjadi milik penulis yang kebetulan opininya terpublikasi bersamaan. Jika demikian, mohon artikel-artikel saya dimuat di halaman opini yang pas ada iklannya.
Ihwal yang juga mengusik di Tribun ialah berita halaman satu yang bersambung ke halaman enam. Galibnya, kalau surat kabar punya delapan halaman, maka, sambungan berita halaman satu berada di halaman dua atau tujuh. Hikmahnya, orang tetap dapat mencerna koran bersangkutan kendati lembaran lain hilang.
Bila penempatan berita sudah tidak merepotkan pembaca, berarti state of the art Tribun makin luwes. Arkian, pembaca merasa disuguhi visualisasi kolosal yang hidup dengan berita apik yang mencerdaskan. Apalagi, lay out yang berorientasi pada pasar merupakan simbol fighting spirit (semangat juang) dalam berkompetisi. Thomas Watson Jr yang pernah menjabat CEO IBM berpetuah: “Good design is good business”.
Penguasa Dunia
Pada 4th anniversary ini, Tribun telah layak terbit dua kali sehari. Di era informasi berbasis hi-tech ini, media tidak pantas lagi terbit sekali sehari. Layanan informasi sepanjang waktu mutlak sejalan dengan tuntutan globalisasi. Kinerja pers mesti melambangkan spirit abad 21. Angka 21 (dua satu) berarti dua kali terbit dalam satu hari.
Terbit dua kali sangat mendesak lantaran ketergantungan masyarakat terhadap informasi kian tinggi. Di sisi lain, informasi meluber laksana buih ombak di samudera raya.
Pada Maret 2007, tersiar kabar perihal Lisa Molitor. Reporter online tersebut lalu-lalang meliput pameran dengan peralatan futuristik di Hannover, Jerman. Di bagian kiri kepalanya terpasang kamera. Sementara di depan mata kanannya menyembul layar kecil untuk mengedit berita.
Lisa kemudian mengetik teks via PDA. Wartawan masa depan itu cuma butuh 10 menit guna mengirim informasi berupa video, foto dan teks ke media yang berminat.
Kecepatan berita Lisa tentu tidak sejalan dengan media cetak konvensional yang hanya terbit pagi hari. Kinerja Lisa cuma cocok dengan media audio-visual atau pers yang terbit lebih satu kali dalam sehari.
Media konvensional yang terbit pagi, nantinya repot bersaing gara-gara bakal hadir surat kabar digital berupa layar seukuran dua halaman tabloid. Media elektronik tersebut leluasa memanjakan pembaca dengan ratusan halaman berita serta analisis.
Massa di luar pers menebar jargon bahwa pemilik informasi adalah penguasa dunia. Sedangkan insan pers di zaman information superhighway ini dililit mantra sakti bahwa siapa yang bisa mengelola informasi niscaya akan menguasai dunia.
Struktur pengelolaan informasi itu menunjukkan jika Tribun sudah waktunya terbit dua kali sehari. DeadlineTribun enteng mempertajam beritanya untuk edisi sore. yang selama ini membuat wartawan dan redaktur dibelit stres, pasti dapat dihindari. Pasalnya, pengasuh
Dengan terbit dua kali sehari, berarti Tribun telah mendorong rakyat secara instan mengetahui peristiwa aktual. Alhasil, berita-berita up-to-date tersebut efektif membantu menyediakan hak atas pengetahuan bagi publik.
Gergasi Sulsel
Secara elementer, saingan Tribun bukan media nasional yang dipublikasikan lewat cetak jarak jauh. Internet yang sesungguhnya menjadi kompetitor utama.
Di era mendatang, internet makin sakti oleh kehadiran Internet Protocol Television (IPTV). Sensasi IPTV yakni memutar ulang sebuah siaran yang tengah berlangsung. Hingga, siaran langsung bisa ditilik kembali tanpa khawatir ketinggalan momen sedetik pun.
Internet yang bertabur rupa-rupa informasi tentu bakal membentuk kultur watching. Budaya menonton kian membahana kalau seluruh wilayah Indonesia sudah berbasis multimedia. Hambatan yang masih menganga sekarang yaitu masih banyak desa yang blank spot (belum terjangkau jaringan telepon).
Terbit dua kali sehari merupakan urgensi krusial akibat membludaknya informasi di era multimedia. Kehadiran dua kali jelas menjadi kontribusi pengabdian Tribun terhadap masyarakat.
Dengan terbit dua kali, berarti redaksi tidak semena-mena pula mengubur beberapa berita. Bila di edisi pagi tidak diangkat, maka, pada terbitan sore akan dilansir. Edisi pagi serta sore saling bersinergi guna menampilkan informasi yang kokoh dalam deskripsi maupun analisis.
Informasi yang kencang ditebar membuat pembaca makin cepat menemukan elemen-elemen terbaru. Apalagi, sejarah pers adalah hikayat pesan. Marshall McLuhan bertutur bahwa: “The medium is the message”.
Kecepatan menyebar informasi jelas menguntungkan aneka komunitas dalam meretas keseharian. Segenap segi yang disampaikan pers bakal bermanfaat bagi kalangan profesional. Ilmuwan, pejabat, ulama, dokter, bankir, analis atau peneliti akan tertolong oleh media. Dengan demikian, pesan yang berbentuk informasi bakal mendorong para profesional menata kehidupan.
Tiap aksara yang disajikan Tribun seyogyanya mengandung gagasan demi kemaslahatan manusia. Karena, koran ini telah menjadi gergasi baru di Sulsel.
(Tribun Timur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar