(Menyambut Perayaan Maulid Nabi Muhammad 31 Maret 2007)
Oleh Abdul Haris Booegies
Pada April tahun 571 Masehi, menjelang kelahiran Nabi Muhammad, suasana Kota Mekah al-Mukarramah hiruk-pikuk. Tidak jauh dari Kakbah, terlihat beberapa kafilah berbisnis di area sebuah pasar. Barang-barang dagangan mereka merupakan impor dari Syam, Yaman, Persia, Hira maupun beberapa negeri jiran.
Irama kehidupan Mekah yang gaduh-bergemuruh, sesungguhnya menyimpan wabah maut. Perilaku son of the desert (anak-anak gurun) itu, sarat kedurhakaan. Filosofi kehidupan mereka tidak lagi dilandasi spiritualitas warisan Nabi Ibrahim. Kakbah yang mulia, malahan menjadi kuil dengan 360 arca.
Aroma nabidh (minuman keras) tercium di antara tenda-tenda pasar. Orang yang teler menjadi pemandangan lumrah. Rumah-tangga beberapa pemuka Quraisy lebih bejat lagi. Mereka mengawini banyak wanita sebagai simbol status sosial. Istri-istri tersebut malahan bisa dinikahi sang anak bila ayahnya mati. Moral penduduk Mekah telah mencapai titik nadir dalam arus peradaban positif.
Pada esensinya, komunitas Mekah hampir punah sebulan sebelumnya. Ketika itu, Abrahah al-Asyram, Gubernur Negus di Arab selatan bersama pasukan komando khususnya mengusung special operations group demi menghacurkan Kakbah. Penduduk Mekah kontan kalang-kabut ketakutan. Apalagi, rumpun Quraisy tidak berpengalaman mengayun senjata di medan laga. Mereka cuma jago bernegosiasi dalam persoalan bisnis.
Di masa itu, situasi Mekah lengang. Orang tak berani keluar rumah. Beberapa petinggi Quraisy cuma sekilas mondar-mandir tergopoh-gopoh memohon perlindungan kepada Hubal, Lata, Manat, Uzza dan beberapa patung batu yang membisu tak paham perkara manusia.
Saat Abrahah makin mendekati Mekah, maka, penduduk metropolis kuno tersebut dibekap bayang-bayang maut. Kondisi mencekam itu mirip ketika Afghanistan serta Irak hendak digempur oleh serdadu George Walker Bush.
Tapak-tapak gajah prajurit Abrahah seolah seirama dengan suara gedebak-gedebuk jantung penduduk Mekah. Kaki gajah yang menghentak bumi, tidak berbeda dengan deru pesawat Amerika Serikat yang membom secara membabi-buta Afghanistan dan Irak.
Di kediamannya, Walikota Mekah Abdul Muthalib bin Hasyim menatap kosong ke depan. Kawat berita kemudian diterimanya dari Hunata, delegasi Abrahah. Seratus untanya disita oleh Abrahah.
Abdul Muthalib, sesepuh Mekah sekaligus penemu sumur zam-zam yang sempat tertimbun, akhirnya menuju ke markas Abrahah. Ia meminta seluruh untanya. Sekalipun cerdas bernegosiasi, tetapi, Abdul Muthalib tak berniat mempersoalkan Kakbah. Karena, Baitullah milik Tuhan, pengusasa langit serta bumi.
Begitu Walikota Mekah itu sampai di rumahnya, sontak pasukan Abrahah bergerak. Gerombolan agresor tersebut membawa pentungan, kapak maupun golok panjang buat meratakan Kakbah dengan tanah.
Di gerbang kota, langkah kaki tentara itu sekonyong-konyong terhenti. Di balik mega yang berarak dari jurusan jeladri, muncul kawanan burung. Abrahah menjelangak ke atas. Ia mencibir sembari tersenyum kecut. Belum sempat Abrahah mengeluarkan aba-aba, tiba-tiba udara terasa panas.
Panglima berkulit hitam-legam tersebut mendongak ke atas. Ia melihat burung-burung itu melontarkan ribuan meteor sebesar kerikil yang menghunjam serdadunya. Abrahah memacu gajahnya yang besar agar terhindar dari maut. Usahanya sia-sia. Gajahnya terpelanting disabet segumpal tanah liat membara yang dilepaskan seekor burung. Abrahah sendiri tewas mengenaskan dengan puluhan meteor mencabik jantung dan hatinya. Mayatnya terjelapak dengan mata membelalak. Rambut serta pakaiannya hangus. “Mereka laksana daun-daun yang habis digerogoti ulat” (al-Fil: 5).
Insan Inovator
Kini, dedaunan yang bagai dicabik-cabik ulat seolah menjadi simbol insan Indonesia. Saat ini, muncul fenomena yang sulit dibantah jika orang Indonesia merupakan manusia-manusia sakit. Contoh gampangnya yakni rangking Indonesia sebagai negara terkorup tetap berada di peringkat atas bersama negara-negara miskin dan terbelakang. Selain menjadi maling, bangsa Indonesia juga bermental punggawa. Pegawai yang menjadi abdi rakyat, misalnya, banyak yang minta dihormati serta dilayani laiknya raja. Mereka dibekap arrogantia potentatus (keangkuhan kekuasaan). Sedangkan birokrasi menjadi lingkaran setan. Sebab, berfungsi memeras.
Pribadi selanjutnya yang terlihat dalam masyarakat ialah raja jalanan. Dalam berlalu- lintas, bangsa Indonesia terkesan ugal-ugalan. Seenaknya singgah sampai menghalangi pengendara lain. Bahkan, mereka acap berhenti mendadak atau langsung menikung tanpa memberi tanda.
Di samping bengal, orang Indonesia tergolong pula bandel. Saling senggol kala berjalan atau suka membuang sampah di sembarang tempat, merupakan kebiasaan lumrah. Di ruang publik, masyarakat seolah tidak paham aturan. Pengumuman dilarang merokok sudah terpajang, namun, masih sempat-sempatnya bertanya: “Boleh merokok di sini?” Betul-betul edan!
Mutu orang Indonesia yang di bawah standar, tentu kian parah gara-gara kemiskinan. Syahdan, Menteri Koordinasi Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Widodo Adi Sutjipto mensinyalir bahwa kemiskinan memicu terorisme. Di depan Komisi I DPR di Gedung MPR/DPR pada 26 Februari 2007, mantan Panglima TNI tersebut menegaskan kalau penyelesaian masalah terorisme sangat berkaitan dengan pengentasan kemiskinan.
Wabah kemiskinan merupakan efek dari problem multisektor. Negara yang gagal mengatasi kemiskinan pasti akan menuai musibah berskala gigantik. Indonesia tentu bakal menghadapi persoalan masa depan lantaran generasi muda dililit gizi buruk. Karena, tingkat kecerdasan (IQ) anak-anak yang kekurangan gizi lebih rendah 11 poin ketimbang anak normal. Selain itu, gizi buruk membuat orang rentan menghadapi tingginya konsentrasi polutan udara.
Perkara gizi buruk jelas akan memicu lahirnya khaos yang mengusik ketenteraman. Di era mendatang, bukan hal muskil bila berdentum pola main serobot dengan ancaman kekerasan. Semua tinggal menunggu waktu. Apalagi, muncul virus no trust society. Kuman tersebut membuat orang kehilangan empati. Sebab, sikap saling percaya di antara masyarakat, telah sirna.
Pada dasarnya, orang-orang tanpa hati nurani yang bergentayangan, lahir oleh jebakan hidup. Mereka merasa tertipu oleh keluarga, tetangga atau pemerintah yang doyan mengobral janji, komitmen serta tebar pesona. Survival instinct mereka akhirnya merasa dilecehkan atau dikhianati. Arkian, kelompok itu langsung tampil dengan mengusung aturan main sendiri. Mereka malahan meneror dengan kalimat bernada emosi reaktif: “Please, don’t make me kill you…!”
Gejala ganjil yang berseliweran, menandaskan jika negeri ini sudah melupakan sikap hidup sejati. Menaati hukum susah ditegakkan akibat masyarakat kehilangan sopan-santun, etika dan moral. Di samping itu, tak ada upaya mengejar prestasi gemilang lantaran hilangnya personal success dalam jiwa. Semua terpasung dalam ranah salvation seeker (golongan yang hanya bekerja buat makan). Gemuruh dada mereka cuma direcoki dendam membara melihat masalah keseharian. Akibatnya, bukan insan inovator yang lahir, tetapi, predator buas yang mengharu-biru kehidupan.
Dalam menetralisir keadaan yang makin semrawut, maka, diperlukan model kepemimpinan yang tegas, lugas serta berani mengambil resiko. Pada 10 Februari 2007, Ahmad Syafii Ma’arif menerangkan kalau negara ini butuh pemimpin yang bisa berbuat konkret sekaligus melaksanakannya sepenuh jiwa. Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah tersebut menjabarkan bila Indonesia memerlukan pemimpin yang berani berjibaku menyelamatkan bangsa.
Karakter Ilahiah
Tabiat orang Indonesia di tengah ideologi liberal-kapitalistik, sebenarnya menjadi bahan bakar meruyaknya prahara. Dulu, Fir’aun menentang ayat-ayat yang disampaikan Nabi Musa. Ia akhirnya mati tenggelam bersama 1.600.000 prajuritnya. Sekarang, tak terkira manusia yang membangkang terhadap hukum Allah. Bahkan, menentang poligami yang menjadi aturan Tuhan. Akibatnya, negeri ini tak putus dirundung malapetaka maha dahsyat. Apalagi, terjadi disfungsi peran di tiap lini kehidupan di tengah ketiadaan apresiasi keragaman untuk merekat keindonesiaan.
Tanpa usaha maksimal ke arah positif, niscaya sia-sia cita-cita luhur bangsa ini. Pada 3 Maret 2007, Garin Nugroho menegaskan bila Indonesia butuh humaniora baru. Pembangunan karakter bangsa mesti dimulai dengan menciptakan masyarakat yang disiplin, kompetitif, kritis dan solider. Menurut Garin, aspek itu bisa digapai lewat pengembangan pendidikan humaniora multikultrural yang lebih terdesentralisasi.
Di maulid ini, bukan lagi waktunya menunggu Ratu Adil yang turun dari langit. Karena, segala problem dapat diselesaikan dengan merujuk pada sosok Nabi Muhammad. Figur yang lahir di gurun terik tersebut, diakui oleh Allah sebagai uswatun hasanah (teladan terbaik). Ia bukan sekedar insan kamil (manusia paripurna), namun, tuan segenap rasul! Selain itu, namanya sejajar dengan Allah. Tuhan malahan bersalawat untuk Rasulullah. “Sesungguhnya, Allah bersama para malaikat bersalawat atas Nabi Muhammad” (al-Ahzab: 56).
Di maulid ini, kuman perusak pikiran serta mental seperti tamak, buta aturan, sok kuasa, korupsi maupun cepat tersinggung oleh kritik, wajib selekasnya dibersihkan. Sebab, tantangan masa depan kian pelik. Apalagi, jumlah penduduk yang makin besar bakal membuat segalanya kian berat. Di tahun ini, populasi Indonesia diperkirakan 224,9 juta jiwa. Kepadatan penduduk di antara 400 suku tersebut, jelas repot diarahkan dalam peningkatan watak bangsa. Apalagi, minimnya penguasaan teknologi. Alhasil, sukar memacu produktivitas dan inovasi. Di samping itu, ketiadaan moral turut meronrong perjuangan dalam mencapai keseimbangan (equilibrium) di bidang kesejahteraan serta kemakmuran.
Tanpa konstruksi moral, berarti kehampaan hidup terus memerangkap. Apalagi, di negeri rawan bencana ini, nyawa enteng copot. Kawanan burung dari area misterius di ufuk nun di sana, memang mustahil beraksi kembali demi menghajar para pendosa. Kini, yang mengharu-biru tiada lain tragedi pilu. Semua gara-gara kualitas insaniah yang kehilangan karakter ilahiah.
Lempengan mulia sense of crisis dalam dada seolah dicabik-cabik oleh Abrahah. Padahal, manusia berperangai semacam gubernur Negus di Arabia selatan tersebut yang wajib dimusnahkan. Di zaman sekarang, sosoknya justru tidak mengenal jeda dalam menggerogoti kalbu anak-cucu Nabi Adam. Hatta, yang mondar-mandir di sekeliling tiada lain manusia dengan state of mind nan buruk. Apalagi, mereka sibuk dengan aturan masing-masing tanpa ada interaksi secara efektif.
Di periode persaingan pengetahuan (knowledge competition era) ini, sudah pasti state of mind ala Abrahah mutlak disingkirkan sebagai vanitas vanitatum mundi (kesia-sian dari dunia sia-sia). Fundamen moral orang Indonesia harus segera dibenahi supaya tidak dimuseumkan sebagai mumi dengan prototipe sungsang. Kehidupan modern seyogyanya selalu selaras dengan pribadi yang terus berproses menjadi manusia kelas dunia seperti Muhammad, Sang Maha-Nabi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar