Piala Dunia dan Ekonomi Indonesia
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Ekonomi
“FIFA World Cup Germany 2006” bergulir hari ini, 9 Juni 2006. 32 tim dari 204 anggota Federation International Football Association (FIFA), akan berlaga dalam 64 pertandingan. Semua berjuang sekuat tenaga demi merengkuh tropi Piala Dunia di Stadion Olimpiade Berlin kala tergelar penghujung acara pada 9 Juli 2006.
Gairah penggemar dan analis bola ikut menanjak dalam skala ekstravaganza. Nama-nama calon pemain terbaik terus diutak-atik. Hingga, tersembul sebelas pemain yang diprediksi masuk sebagai anggota tim Piala Dunia 2006.
Pemain yang akan mengisi line up Piala Dunia 2006 yakni Gianluigi Buffon (Italia) sebagai kiper. Kemudian barikade tembok diperkokoh Hossein Kaebi (Iran) bersama Philippe Senderos (Swiss). Sementara gelandang diisi Ronaldo de Assis Moreira alias Ronaldinho Gaucho (Brasil), Ricardo Izecson Santos Leite atau Kaka (Brasil), Frank Lampard (Inggris) dan Michael Ballack (Jerman). Kemudian tukang jagal dihias Freddy Adu (Amerika Serikat), Wayne Rooney (Ingrris), Samuel Eto’o (Kamerun) dan Lionel Andres Messi (Argentina).
Sebelas pemain itu jelas akan mempesona publik dengan formasi 2 4 4 yang super-ofensif. Mereka akan memperagakan sepak bola atraktif yang amazing, extraordinary dan inspiring. Tim itu punya penguasaan bola yang optimal. Hingga, mereka leluasa memainkan sistem yang bervariasi. Akibatnya, skuad dari planet lain akan kedodoran menghadapi permainan spektakuler yang mereka peragakan.
Indonesia yang belum pernah mengecap Piala dunia dipastikan ikut pula terlena. Walau sulit menembus Piala Dunia, tetapi, Indonesia selalu mampu melahirkan komentator-komentator handal yang gesit bersilat lidah. Mereka terampil ketika disorot kamera televisi. Mulut komentator kemudian berbusa-busa menjelaskan kelemahan tim pecundang.
Lokomotif Ekonomi
Selama Piala Dunia berlangsung, maka, yang terhampar adalah semangat hidup. Siswa banyak bergerombol sambil bercerita tentang tendangan spektakuler David Beckham. Kampus-kampus ramai oleh kelompok-kelompok mahasiswa yang mengagumi taktik dan strategi pelatih yang sukses memenangkan timnya. Di kantor, suasana juga riuh oleh obrolan bola.
Televisi sebagai media yang didewakan, tidak tinggal diam. Media itu terus-menerus menjejali penonton dengan aneka berita seputar Piala Dunia. Aneka merek makanan dan minuman ringan, ikut berpartisipasi dalam episode Piala Dunia dengan memberi hadiah. Hingga, pemandangan yang terlihat selama Piala Dunia adalah semangat hidup.
Vitalitas yang terlihat, ikut mengerek ekonomi. Penjualan pesawat televisi meningkat. Antena laris manis dicari. Internet tak henti dilongok untuk memperoleh informasi paling anyar. Makanan dan minuman laku terjual sebagai pendamping kala menonton pertandingan di rumah. Koran dan majalah diserbu untuk mencari berita dan analisis seputar sepak bola.
Semangat hidup yang distimulasi Piala Dunia merupakan fase positif bagi ekonomi. Selama sebulan ekonomi ikut menari rancak sebagaimana kelincahan seniman lapangan hijau dalam menggiring bola.
Piala Dunia yang menjadi lokomotif ekonomi selama sebulan, seyogyanya menjadi roket pendorong untuk menggali ragam sumber daya alam. Kegairahan bukan hanya ketika mata memelototi aksi-aksi brilian para penyerang dalam membobol gawang. Semangat hidup yang tinggi ketika terjadi gol, mutlak diwujudkan dengan merancang strategi ekonomi.
Selama ini, ekonomi Indonesia selalu menjadi bulan-bulanan. Ekonomi seolah tidak punya strategi. Di sepak bola ada catenaccio yang bertahan total kemudian berlari kencang melakukan serangan balik. Sementara ekonomi Indonesia ibarat menerapkan super-ultra catenaccio. Bertahan total dari gempuran tanpa paham konsep menyerang. Mereka membiarkan diri diserang dari segala penjuru tanpa mengerti bagaimana menghindar, menggertak atau menyerang. Hingga, yang diperoleh tiada lain hanya kekalahan telak.
Ketika krisis ekonomi menyerang pada 1998, maka, Thailand dan Malaysia segera menyusun strategi. Muangthai dan Malaysia kemudian berhasil lepas dari kemelut ekonomi. Sementara Indonesia tak jua mampu menghindari dampak sial krisis moneter sampai hari ini.
Kesulitan Ekonomi
Di “Germany 2006” ini, semua penikmat bola mengharap hadirnya total football. Sebab, formasi itu galak menyerang bak peleton jihad dari sisa-sisa laskar Osama bin Laden.
Totaal voetbal adalah formasi yang paling ulet menyerang. Di Piala Dunia 1974, patron itu dimotori Johann Hendrik Cruijff. Skuad paling harum di ensiklopedi sepak bola itu, bisa berlari dari pagi sampai petang.
Sukma total football yang lahir dari The Sphink Rinus Michel, layak diterapkan dalam ekonomi Indonesia. Apalagi, modal negeri ini tidak sedikit. Indonesia punya tenaga kerja raksasa. Barisan pekerja yang begitu banyak membuat mereka rela menjadi babu di negeri-negeri Arab.
Para pahlawan devisa itu banyak yang menderita. Selama 2003-2005, angka kasus yang menimpa mereka tidak sedikit. Data International Organization for Migration (IOM) menemukan fakta penderitaan para tenaga kerja Indonesia (TKI). Negara yang membuat TKI sengsara oleh tekanan batin antara lain Arab Saudi (47.386 kasus), Uni Emirat Arab (17.683), Kuwait (5052), Qatar (2508), Oman (2145), Bahrain (1778) dan Yordania (1222).
Selain angkatan kerja yang membludak, juga Indonesia punya kekayaan alam yang luar biasa.
Sumber kekayaan Indonesia selama ini, hanya dinikmati oleh perusahaan-perusahaan asing. ExxonMobil menimba minyak di perut Blok Cepu yang mengandung cadangan minyak 600 juta barel. Freeport dan Newmont tak mau kalah. Kedua perusahaan raksasa Amerika Serikat itu berleha-leha mengeruk emas dari rahim bumi pertiwi.
Selain itu, lebih 25 persen hutan alam di Papua telah dibagi-bagikan sebagai konsesi hak perusahaan hutan (HPH) kepada perusahaan-perusahaan penebangan. Pihak itu kemudian mengekspor produk kayu ke Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang maupun China.
Di samping itu,berjubel perusahaan asal Indonesia masuk daftar hitam (black list) Bank Dunia. Sebab, mereka terkait kasus dugaan korupsi. Hingga, perusahaan-perusahaan itu, tak bisa menerima atau mengerjakan proyek bantuan dari Bank Dunia, America Development Bank, Africa Development Bank dan Asia Development Bank.
Rakyat Indonesia cuma mendapat hadiah berupa bahan bakar minyak (BBM) yang terus disesuaikan alias naik membumbung tinggi tak terjangkau. Hingga, menjerat leher rakyat yang tak putus dirundung setumpuk kesialan.
Derita makin menghimpit dada gara-gara pejabat leluasa melakukan pemborosan sampai Rp 7 triliun per bulan. Pada 12 April 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono geram akibat pemborosan para pejabat di sejumlah wilayah. Menurutnya, hal itu melukai rakyat yang tengah kesulitan ekonomi.
Piala Dunia yang sedang berlangsung sembari menumbuhkan semangat di hati penonton Indonesia, layak menjadi roket pendorong ekonomi. Apalagi, bangsa ini telah lelah dijajah secara ekonomi. Rakyat selalu terkekang oleh kekuasaan yang tak tertandingi. Hingga, melahirkan politik macet.
Pemandangan yang terlihat hanya kritik pahit dibalas pemukulan. Nestapa nian nasib negeri nyiur melambai ini. Padahal, tiga juta pasang mata bebas tanpa beban menyaksikan langsung Welt Fussball di Deutcland 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar