Kala Koruptor Masuk Surga
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Sosial
Ada perasaan putus asa menatap Indonesia. Negara dengan wilayah yang sangat luas ini, rasanya tetap sama dengan masa di tahun 60-an. Kemiskinan merajalela tidak terbendung. Sementara bahan kebutuhan pokok membumbung tinggi tak terjangkau.
Kalau 40 tahun silam, republik ini sibuk mengganyang Partai Komunis Indonesia (PKI), sekarang Indonesia terhuyung-huyung melabrak koruptor. Holocoust (pembasmian) terhadap antek-antek PKI memakan jutaan jiwa nyawa. Pulau Buru malahan nyaris tenggelam gara-gara sisa-sisa kaum tanpa tuhan tersebut diasingkan ke sana.
Saat ini, Indonesia menabuh genderang perang terhadap populasi aktivitas korupsi. Sarang penyamun ini telah menjadi negeri kleptokratik yang mengerikan sekali. Sepak terjang koruptor tidak sekedar menggerogoti nadi perekonomian. Sebab, selain merusak bisnis global, korupsi juga menjadi lawan tangguh bagi demokrasi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika berada di Selandia Baru berkomentar: “Saya sudah punya datanya”. Sepekan kemudian, pada 13 April 2005, Presiden di Istana Negara mengemukakan bahwa: “Tahun 2005 ini merupakan tahun penataan birokrasi dan tahun pembersihan”.
“Dalam waktu dekat kita akan keluarkan instruksi baru. Inpres No. 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi itu masih generik. Instruksi yang akan datang lebih tajam”, tambahnya.
Presiden terkesan risau lantaran koruptor makin jadi-jadi. Ibarat pepatah, tua-tua keladi, kian tua makin bersantan. Presiden lantas mencontohkan bahwa orang yang terlibat dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), ternyata tengah membuka bisnis di negara tempatnya bersembunyi. Mereka berbisnis dengan modal uang rakyat Indonesia yang diselewengkan.
Kendati Presiden bertekad bulat melibas penyelewengan di departemen, termasuk di TNI serta Polri, tetapi, penyelesaiannya jelas masih sangat panjang. Apalagi, modus operandi koruptor kian canggih. Penggelapan duit yang dilakukan sangat halus. Karena, mereka memiliki teknik dan seni tinggi untuk menggasak uang rakyat sampai triliunan rupiah. Alhasil, di mana-mana orang mempraktikkan tata cara korupsi yang elegan di segala medan.
Di tiap sisi Indonesia, bergentayangan orang melakukan korupsi. Praktik pencurian telah melembaga di dalam pelbagai korps. Korupsi terdistribusi vertikal di antara jaringan sesama instansi.
Gubernur, wali kota, bupati bersama anggota DPRD beramai-ramai terlibat aksi korupsi. Sedangkan rumus korupsi tingkat tinggi adalah kolusi antara bisnis dengan lembaga pemerintah. Fenomena itu membuat swasta enteng membobol Bank BNI, Bank Global, BRI, BHS serta BDNI. Dalam mengurus SIM dan KTP pun, selalu tergiang bertalu-talu uang pelicin, uang lelah, uang rokok atau uang siluman.
Aksi Nihil
Lembaga-lembaga dunia yang menilai indeks korupsi suatu negara selalu menempatkan Indonesia di urutan teratas. Umpamanya, International Country Risk Guide (ICRG), Transparency International (TI), World Bank (WB), International Management Development (IMD) serta World Economic Forum (WEF).
Korupsi sangat susah diberantas di bumi Pertiwi. Apalagi, korupsi di kampung maling ini selalu diikuti aksi berikut. Koruptor yang diadili, misalnya, bakal mencoleng lagi dana negara untuk membayar jasa pengacara. Korupsi baru tersebut memperlihatkan adanya lingkaran setan yang tak kunjung usai. Hingga, virus maut itu cuma memelaratkan keadaan bangsa.
Selama ini, orang mafhum jika megakorupsi melibatkan sindikasi dari kawanan raksasa yang sudah kenyang menikmati kekayaan negara selama bertahun-tahun. Mereka merupakan koruptor licik yang didukung kekuasaan politik-ekonomi berlapis-lapis. Akibatnya, mereka tidak bisa dijangkau hukum (untouchable by law).
Pada hakikatnya, pemberantasan korupsi masih sekedar wacana. Ihwal tersebut mengingatkan pada Orde Baru sebagai biang segenap aksi korupsi. Kala itu, pejabat yang diberi laporan soal ketimpangan, selalu berkilah semanis madu: “akan ditampung”. Padahal, pejabat Orde Baru tidak menampung, namun, membuangnya ke keranjang sampah.
Di masa itu, keteladanan moral dalam praktik kekuasaan negara betul-betul hilang. Sebab, terjadi kebangkrutan akhlak para pejabat publik dalam mengelola negara. Korupsi tidak hanya dikerjakan secara personal, tetapi, dengan cara kolektif. Mereka berpartisipasi secara sukarela mengikis harta negara. Alhasil, korupsi menjadi sistematik. Karena, mewabah di tiap benak masyarakat.
Kini, perlawanan terhadap korupsi yang didengungkan terasa memekakkan telinga. Aksi nyata masih nihil. Gejala tersebut ibarat NATO (no action talk only) alias bicara terus tanpa ada aksi. Padahal, korupsi yang menggurita takkan hilang dengan retorika.
Penjara di Daerah Rawan
Dalam menggempur korupsi, maka, masyarakat bersama aparat maupun institusi terkait mutlak menyalakan nyali. Sebab, dibalik koruptor tersembunyi kekuatan (syaukah) mematikan. Mereka punya massa liar dengan tingkat kemarahan (al-ghodhab) tinggi yang siap menebar teror. Apalagi, perangkat hukum Indonesia masih lemah. Padahal, republik ini adalah negara hukum sebagaimana tercantum dalam konstitusi.
Orang bilang, tak ada keadilan di Indonesia kecuali pengadilan. Akibatnya, koruptor gampang melenggang lolos melarikan diri ke luar negeri setelah puas mencuri uang dari laci negara.
Di China, hidup koruptor tidak tenteram. Karena, mereka dikejar-kejar oleh pemerintah. Begitu tertangkap, gerombolan perampok elite itu langsung dihadapkan dengan hukuman fisik mematikan. Di negeri Tirai Bambu tersebut, sekitar sepuluh koruptor dieksekusi mati tiap hari. Di Vietnam pun koruptor dihukum mati sebagai bentuk keseriusan membasmi korupsi. Hingga, birokrasi di kedua negara itu lebih normal. Dampak positif yang dirasakan China bersama Vietnam adalah laju pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat.
Rumus mematikan yang diterapkan oleh China dan Vietnam layak diadopsi Indonesia. Pada 16 Maret 2005, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terhormat, sukses besar meniru adu premanisme parlemen Taiwan serta Jepang. Jadi, apa salahnya menengok China dan Vietnam sebagai referensi positif. Sebab, tanpa hukuman berat, berarti wabah korupsi bakal makin parah. Apalagi, sudah menjadi kewajaran dalam aktivitas sehari-hari. Efek negatif yang ditinggalkan para koruptor yakni timbulnya ekonomi biaya tinggi.
Di samping hukuman fisik seperti di China serta Vietnam, maka, koruptor sebaiknya dipertaruhkan pula di daerah rawan bencana. Koran Media Indonesia (10 April 2005) memuat sebuah e-mail yang menghendaki agar dibangun penjara khusus buat koruptor. Penjara tersebut mesti dibangun di daerah yang berpotensi dilanda gempa dan tsunami.
Bila terjadi gempa atau tsunami, otomatis para koruptor mati menggelepar tergencet reruntuhan bangunan penjara. Kalau ada koruptor selamat, berarti harus segera dicarikan daerah rawan bencana yang lain. Alhasil, koruptor itu bisa mati secepatnya tanpa sempat diselamatkan oleh setan!
Dari Buaya Jadi Buya
Menggarong duit negara di Indonesia dianggap elok. Karena, selain pengadilan bisa alot, juga hukuman cuma berbentuk kurungan jasmani di penjara. Para koruptor tidak pernah dieksekusi seperti ditembak mati atau digantung sampai lidahnya keluar menjulur menjijikkan.
Saat masa pengadilan tengah berlangsung, koruptor berkesempatan merenungkan hari-hari sesatnya. Lalu mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Ia akhirnya menapak jalan spiritual dengan memoles diri serta lingkungannya dengan balutan nilai-nilai agamis.
Uang hasil korupsinya telah ludes 50 persen. Sisanya dipakai untuk membayar jasa pengacara sebesar 40 persen. Honor pengacara yang tinggi pernah membuat William Shakespeare meletupkan kecemburuan dengan berseru: “let’s kill all the lawyers”.
Sementara 10 persen sisa duit koruptor dibelikan karpet dan jam dinding dari Mekah buat beberapa mesjid. Sedekah untuk yatim piatu, pengemis serta anak jalanan. Koruptor pun menyumbang ke badan sosial dan sanggar seni. Kemudian membayar massa guna menggelar demonstrasi bagi pembebasannya. Lantas membiayai sekelompok ustaz yang sudah membantunya dalam pertaubatan dengan menghibahkan ongkos naik haji.
Koruptor yang bersangkutan terlihat sadar. Akhlakul mazmumah (kelakuan tercela) sebagai koruptor telah ditanggalkan. Ia menyesali diri gara-gara selama ini terjebak dalam zalim binafsih (menganiaya diri sendiri). Sekarang, ia mengejar kebaikan (sabiq bil khairat) seraya mengharapkan berkah (lit-tabarruk) demi menggapai perilaku terpuji (akhlakul karimah).
Kehampaan jiwa (spiritual vacuum), banyak berbuat dosa (fasik) serta kesewenang-wewenangan (abus de droit) selama ini, membuatnya mengalami neurosis noogenic (penyakit hidup tak berguna). Kini, semuanya berubah berkat samhah (kelapangan) dan sahlah (kemudahan) yang menuntunnya meniti shirathal mustaqim (jalan yang lempang).
Di bumi Allah, ia berjalan penuh rasa rendah diri (murakkab naqs). Sebab, ia sudah memahami rumus muraqabatullah (Allah mengetahui semua perbuatan yang terang-terangan sekaligus tersembuyi). Tangannya tak lepas dari tasbih digital. Al-Quran seluler yang melantunkan suara merdu Imam Masjidil-Haram Syeikh Abdul Rahman as-Sudais serta Syeikh Asy-Syuraim, selalu ditentengnya. Tiap hari mulutnya mengumandangkan istighfar. Bibirnya komat-kamit melafalkan ayat suci: “Dialah Tuhanku. Tiada Tuhan selain Allah. Kepada-Nya saya berserah diri. Dan hanya kepada Allah saya bertaubat” (ar-Ra’d: 30).
Di malam-malam dingin yang mencucuk tulang, ia mendirikan shalat tahajjud. Dulu ia buaya, sekarang menjadi buya. Sang korup telah bermetamorfosis sebagai sufi. Dari tikus yang doyan mengutil hasil keringat rakyat, menjadi insan kamil (manusia sempurna) yang sarat husnul khuluq (akhlak yang baik). Dari burung nazar pemakan uang haram yang imannya tak pernah naik kelas, menjadi homo religius (mutadayyin), yang selalu sujud di hadapan Penguasa Semesta yang bertahta di Arasy.
Allah Menerima Taubat
Di China, peluang koruptor masuk Surga teramat sempit. Karena, belum sempat mereka bertaubat, tiba-tiba algojo maut sudah di depan mata.
China tidak pernah membiarkan koruptor hidup nyaman. Sejak pemerintahan Presiden Zhu Rong Ji, para koruptor diuber-uber persis pencuri ayam di Indonesia. Begitu dibekuk, mereka langsung diadili untuk dieksekusi.
Di Indonesia, koruptor diperlakukan bak gusti penguasa. Dengan perlakuan istimewa tersebut, koruptor akhirnya sanggup mengeluarkan seluruh jurus rayuan gombalnya supaya selamat. Apalagi, koruptor memang bukan orang biasa. Mereka adalah manusia pilihan yang memiliki intellectual quotient (IQ). Dangerous desires yang berleleran dalam otaknya dapat menghasilkan seni tingkat tinggi guna mencoleng duit negara.
Walau dibombardir serangan berat berupa demonstrasi serta hujatan nista dari media massa, namun, mereka tak surut sejengkal. Rintangan dibahas secara prima agar ada peluang lolos. Tanpa terasa, aksi koruptor itu justru terkesan menghibur, binal sekaligus logis. Apalagi, proses hukumnya berakhir kabur atau absurd.
Tidak heran jika banyak koruptor ongkang-ongkang kaki sembari berlenggak-lenggok mengitari arah angin bertiup. Bahkan, di Sumatera Selatan, tak sedikit tersangka korupsi tidak ditahan. “Sejak 2004 sampai awal 2005, LBH memantau banyak tersangka korupsi yang diperiksa aparat kejaksaan atau kepolisian tidak ditahan dengan berbagai alasan” (Republika, 18 April 2005).
Para koruptor punya prinsip pembelotan aturan dalam menggarong uang lewat modus operandi yang sangat halus dan nyaris tak terdeteksi sekaligus teridentifikasi. Sebab, insan korup tersebut memiliki kecermatan, perencanaan yang krusial, pijakan strategi jitu serta moralitas Macchiavelli. Mereka malahan punya doktrin, koneksi raksasa, standar pergaulan, etos tinggi, inovasi impresif dan daya cipta dalam memproduksi tindak penyelewengan. Mereka lihai bak belut dalam mengeruk keuntungan dari hak orang lain tanpa merasa berdosa.
Begitulah hikayat koruptor di Indonesia. Mereka tahu bila Allah itu Maha Pemaaf. Nabi Muhammad bersabda: “Siapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari arah barat, niscaya Allah mengampuninya”. Hingga, untuk membersihkan dosa-dosanya, koruptor langsung duduk bersimpuh dengan linangan air mata yang membasahi sajadah dalam taubatan-nashuha (sadar untuk tidak lagi melakukan perbuatan tercela).
“Maka, pencuri yang bertaubat setelah melakukan kejahatan. Lalu memperbaiki dirinya. Niscaya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (al-Maaidah: 39).
(Pedoman Rakyat, Jumat, 1 Juli 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar