Sabtu, 04 Juni 2011

Harapan Baru untuk Pedoman Rakyat



Harapan Baru untuk Pedoman Rakyat
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Media Massa

     Tiap pagi, manusia informasi dengan status apa saja, selalu menyempatkan diri membaca media massa cetak.  Ketika harian yang diharap tidak datang, niscaya perasaan kehilangan menyembul.  Sebab, media tiada lain sebuah pilar yang memproduksi komunitas intelektual lewat berita maupun opini.
     Selama tarikh 2007 ini, Pedoman Rakyat telah dua kali lenyap dari peredaran.  Pada
Februari 2007, saya menyempatkan diri “takziah” ke kantor Pedoman Rakyat.  Karena, mengira Pedoman Rakyat sudah tamat.  Syukurlah, Pedoman Rakyat bisa bangkit lagi.  Padahal, jajaran redaksi bersama wartawannya telah compang-camping.  Banyak yang hijrah mencari penghidupan baru.
     Bagi saya, awak yang sukses menerbitkan kembali Pedoman Rakyat adalah “Laskar Patriot”.  Komitmen serta dedikasinya sungguh mulia di tengah guncangan badai yang menerjang.
     Pada Ramadan 2007, Pedoman Rakyat ternyata ikut pula puasa dengan cara tidak terbit.  Betapa ironis, Pedoman Rakyat yang pada 1980-an merupakan koran terpandang, mendadak sakit-sakitan di usia sepuh.
     Dua kali tidak terbit dengan durasi lebih dua bulan, jelas sangat berbahaya.  Pembaca pasti kehilangan lantaran frekuensi yang tersendat-sendat.  Di sisi lain, mitra kerja Pedoman Rakyat, tentu merasa terusik.
     Melihat posisi Pedoman Rakyat yang teramat rawan, maka, ada baiknya harian ini berbenah diri secara radikal.  Nama Pedoman Rakyat seharusnya diubah.  Kata “rakyat” sudah tidak cocok dengan semangat abad ke-21.  Dulu, istilah “rakyat” seolah sugesti agar lebih dekat dengan masyarakat .  Sebab, rakyat merupakan mayoritas suatu negara.
     Situasi telah berubah.  Pengertian rakyat pun dipahami sebagai bagian terendah suatu negara.  Orang miskin saja tidak sudi lagi disebut rakyat.  Mereka lebih suka dinamakan kaum dhuafa daripada rakyat.  Sementara orang-orang berpendidikan cukup mentereng sebagai masyarakat madani.
     Asumsi bahwa kata “rakyat” tidak lagi sakti dapat ditelusuri lewat mi instan.  Sebuah perusahaan menamakan produknya dengan mencatumkan kata “rakyat”.  Mi instan itu justru sulit dijual.  “Patut diduga” (meminjam istilah rezim otoriter Orde Baru), mi instan tersebut tidak laku gara-gara memakai nama “rakyat”.  Sudah hidup di milenium ketiga, tetapi, masih tetap memilih nama “rakyat”.  Capee deh.
     Nabi Muhammad bersabda supaya memberi nama yang baik kepada anak.  Umar bin Khattab bertitah jika tanggung jawab orangtua yakni menamakan anaknya dengan nama yang baik.  Dewasa ini, media pun pantas punya nama yang menyentak, indah, dinamis sekaligus bernuansa futuristik.  Jangan terbuai dengan William Shakespeare yang bilang: “Apalah arti sebuah nama”.  Salah sekali itu!
     Selain soal nama, juga Pedoman Rakyat seyogyanya bersinergi dengan media lain.  Dulu, kerja sama antar-media dianggap tabu.  Pasalnya, orang terfokus buat berkompetisi di tengah lisensi monopolistik bisnisman.  Kini, zaman telah berubah.  Aliansi merupakan kompromi pasar agar dagangan lebih mujarab terjual.
     Dua harian besar di kota ini bisa mendulang sukses berkat ditopang media superjumbo.  Bahkan, sebuah harian yang terbit pada 2004, tiba-tiba menjadi raksasa yang menggeliat bak air bah.  Alhasil, membaptis diri sebagai pemimpin baru.  Karena, gerak prestasinya ditunjang manajemen mapan dengan wartawan muda nan cerdas.
     Di zaman ini, potensi pasar media di Sulawesi Selatan makin sarat warna-warni.  Surat kabar nasional dan daerah saling berjibaku menjadi bacaan kelas menengah ke atas.
     Pedoman Rakyat akan tertatih-tatih bila berniat meramaikan persaingan.  Hatta, sebaiknya Pedoman Rakyat kembali menghidupkan rubrik “Kampus Mahasiswa”.  Pada tahun 80-an, rubrik tersebut diminati mahasiswa.  Sebab, di sana mereka atraktif berkreasi lewat tulisan.
     Kalau “Kampus Mahasiswa” era 80-an terbit tiap Sabtu, maka, sekarang rubrik itu layak dimunculkan saban hari.  Kehadiran “Kampus Mahasiswa”, insya-Allah bakal membantu mahasiswa mengekspresikan kreativitasnya.  Karena, tidak sedikit gagasan magnetik lahir dari mahasiswa.  Arkian, Pedoman Rakyat bukan semata koran umum, namun, pers mahasiswa.
     Kini, saatnya “Laskar Patriot” melakukan revolusi di Pedoman Rakyat.  Mengganti nama serta merger mutlak dilakoni Pedoman Rakyat.  “Change or die”, begitu jampi-jampi global yang kerap terdengar.
     Jika Pedoman Rakyat tidak mampu mengikuti arus zaman, berarti para pembaca akan terus merasa kehilangan.  Hingga, tidak mustahil mereka tak lagi peduli akibat terhunjam rasa sangsi.  Bila Pedoman Rakyat sudah sirna dari memori, maka, sia-sia riwayat panjang harian ini.  Apalagi, sejarah Sulawesi Selatan banyak tercatat di media tercinta ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People