Minggu, 26 Juni 2011

Prokem, Okem dan Graffiti

Tulisan ini merupakan artikel saya yang pertama kali dimuat media.  Bahasa dalam opini ini tidak diperbarui, tetap sesuai sebagaimana tertera di Pedoman Rakyat, Ahad, 24 Januari 1988.
Prokem, Okem dan Graffiti 
Oleh Abdul Haris Booegies
     Prokem ialah bahasa khusus yang umumnya hanya diketahui oleh para remaja, terbatas dalam lingkup tertentu.  Bahasa prokem mulai digandrungi sekitar tahun 1977.  Prokem lahir dari  lingkungan kaum penjahat.  Penyusunan katanya terdiri atas beberapa jenis.  1) pembalikan suku-suku kata seperti “rebes” dari beres.  “jabu laming” dari baju maling.  2) Kata-kata baku atau non baku yang diperlakukan sebagai singkatan atau akronim seperti “pilot” artinya papi kolot, “getol” artinya gede tolol.  3) singkatan atau akronim baku diberi kepanjangan atau arti baru seperti “MPRS” artinya muak penuh rasa sebal.  “Bapenas” artinya badan perlu nasi.  4) kata akronim ciptaan remaja sendiri seperti “assoy” artinya asyik sekali, “melupem” mentang-mentang lu pemimpin.
     Namun sangat disayangkan, Prokem agak merusak citra dan gezag Bahasa Indonesia.  Hingga banyak kalangan tertentu yang mengecam bahasa ini.  Bahkan ada siswa SMA yang dikeluarkan hanya karena nyeletuk dalam bahasa Prokem.
     Perhatikan istilah Prokem berikut ini, di mana gemanya lucu, memberontak dan menggemaskan: botay…bau tahi/ bocay…anak ingusan/ fokis…wajah/ gali…gank anak liar/ sudomo…susu doi montok/ semampai…semeter pun tak sampai/ apik…agak pikun/ gajah…gatel jahil/ sabana…satu barang rame-rame/ serasi…seperti kera sinting.

Okem, Bahasa Jepang?
     Saat Breakdance lenyap setelah didewakan para remaja, tiba-tiba muncul bahasa Okem yang melanda kota-kota besar.  Sekilas bahasa Okem ini seperti bahasa Jepang, namun bila pendengaran cermat maka akan jelas bahwa, Okem adalah bahasa Indonesia yang ber-asosiasi ke bahasa Jepang.  Bahasa Okem berpijak pada permainan bahasa: menyusun dan menggabungkan, hingga keunikannya muncul, menggelikan.
     Bahasa Okem terbagi dua, Jepang dan Cina.  Namun Okem yang ber-asosiasi ke bahasa Jepang sangat populer di kalangan remaja. Di ibukota Jakarta, ada majalah non resmi yang memuat bahasa Okem, namanya “Pacul”, diasuh oleh siswa SMP dan SD.
     Dibanding Prokem dan Okem, rasanya Prokem lebih sempurna menampilkan das sein nya  Kenapa? karena Prokem memiliki “tata bahasa”, bukan sekedar aturan main saja.  Tak berlebihan jika Prokem dikatakan hampir mirip dengan Esperanto, bahasa universal yang diciptakan Ludwig Lazarus Zamenhof, tahun 1884 di WArsawa.
     Di bawah ini akan terlihat bahasa Okem yang ber-asosiasi ke bahasa Jepang: rogosaku…copet/ inikitakasimura…obral/ kokoronotomo…kukuruyuk/ tausaragu…penawar barang/  sudasore…maghrib/ mukasama…kembar/ dadarata…pria/ cukurata…gundul/ marimashu…bertemu/ takasitahu…rahasia/ samarata…adil.  Bandingkan dengan Okem yang ber-asosiasi ke bahasa Cina: than tje pin…menusuk/ lu liatin…kamu ngintip/ syang-syang…tengah hari/ she lu sin…dua belas buah/ bon chengan…nebeng/ kha cung ku…pembantu/ chom pang cham ping…baju sobek.

Graffiti, Warisan Corat-coret
     Kalau Okem berbau Jepang, maka Graffirti berbau Inggris.  Graffiti lahir dari kalangan cross boy.  Cipratannya menggema sekitar tahun 1965.  Wujud Graffiti adalah corat-coret di pelbagai tempat, tak memandang tempat itu layak dicoret dengan uneg-uneg atau tidak.
     Ciri khas dari Graffiti ialah coretan jorok yang tersebar pada dinding WC, pagar rumah, pintu garasi, kotak bis surat, bahkan rambu lalu lintas dan papan nama praktek dokter.  Keusilan anak gank ini sangat merisaukan masyarakat yang butuh ketenangan dan ketertiban.
     Ada sementara orang mengira, Grafiti merupakan seni rupa.  Jim Supangkat berpendapat secara garis besar, Grafiti terpisah dari seni rupa.  Menurutnya, memang ada kemiripan antara Graffiti dengan seni rupa.  Sama-sama memiliki garis sebagai elemen, terutama karya grafis.  Sama-sama memiliki tema warna, ekspresi dan sebagainya.  Tapi Graffiti bukan karya seni rupa.  Yang memisahkan menurutnya adalah, karya seni rupa secara teoritis dianggap punya tujuan postif.  Diakui masyarakat, sedangkan Graffiti tidak.
     Tulisan cross boy itu antara lain berbunyi: war peace…warung pisang/ pra one…perawan/  lasex…laki-laki dan sex/ pon car…pondok karya/ kilo bravo…KB/ wapendos…wanita penuh dosa/qlique-qlique…klik-klik suara pistol/ read one…ridwan/ brenksex…brengsek/ thank she…tangkis.

Kreatif
     “Remaja”, kata yang mengandung sejuta arti, baik positif maupun negatif.  Ada yang mengatakan, bahwa remaja itu adalah kelompok biasa, tak istimewa, sering menyusahkan orang tua.  Namun ada pula yang menganggap, bahwa remaja adalah potensi manusia yang perlu dimanfaatkan.  Bahkan ada kesan khusus, remaja adalah kelompok minoritas yang punya karisma tersendiri. Dunianya sukar dijamah oleh orang tua.
     Sejarah telah mencartat, betapa negara ini telah dibangun di atas jerih payah, bahkan pengorbanan jiwa beberapa remaja “tempo doeloe”.  Dalam kenyataan, sekarang remaja banyak berpartisipasi dalam derap roda pembangunan.  Tidak heranlah jika perencana dalam pembangunan Indonesia Pelita III, meletakkan pemuda (yang hampir seluruhnya adalah remaja) sebagai “kader penerus perjuangan Bangsa dan Pembangunan Nasional”, seperti tersebut dalam GBHN, Pola Umum Pelita Ketiga.
     Di era paling piawai ini, sejak manusia meninggalkan hidup di atas pohon (arborcall life) dan menemukan kebudayaan secara bertahap, ternyata belum mampu sepenuhnya membendung gelombang emosi remaja.  Mengapa demikian? Karena remaja memang eksentrik.
     Sulit ditebak kemana arah langkah dan  fikirannya.  Hantaman Modernisasi dan dentuman Westernisasi berurat akar pada alam bawah sadar remaja.  Bermacam ragam memoles hidupnya.  Tampaknya, remaja selalu menemukan ekspresi dan rekreasi sendiri, yang cenderung memberontak terhadap kemapanan orang tua.
     Saat disco melanda negeri ini, nama John Travolta harum melebihi bunga mawar.  Dan sebelum tarian dari “Bronx”, Breakdance melanda remaja, kumpul kebo sudah pula meninabobokkan remaja.
     Itu dalam soal musik dan tari, lain lagi dalam soal bahasa.  Disini, remaja pun tampil dengan uneg-unegnya.  Seperti terlihat diatas.  Ketiga bahasa yang mempunyai keunikan itu, yang istilah kerennya eufemisme, yaitu olok-olok untuk melembutkan segi ejekannya sendiri.  Suatu bukti bahwa daya kreativitas remaja tidaklah dangkal, walau harus diakui bahwa bahasa tersebut lahir dari lingkungan yang bobrok.

Dampak Negatif atau Postif
     Kutipan pendapat DR Boen Sri Oemaryati.  “Para orang tua dan guru tidak perlu kecil hati menghadapi gejala demikian, karena sikap demikian hanya menelanjangi kekerdilan cara berfikir kita ssendiri.  Akan jauh lebih bermanfaat jika kita bertanya pada anak didik, apa arti yang aneh-aneh (istilah Prokem) itu daripada terjerumus lebih dalam ke jurang yang semakin memisahkan mereka dari kita”.
     Terlepas dari kutipan tersebut, barangkali pemakaian bahasa Prokem dikalangan remaja antara lain karena terjadi kemacetan dialog dan komunikasi antara anak dengan orang tuanya.  Kemacetan ini menyebabkan ketidak harmonisan dalam keluarga.
     Mampukah Prokem dan Okem memperkaya bahasa Indonesia.  Jawabnya tidak, sebab Prokem dan Okem tidak mendukung bahasa Indonesia.  Lalu apa sebenarnya kandungan ketiga bahasa tersebut.  Akankah kita bertanya pada rumput yang bergoyang.  Jawabnya hanya “iseng” dalam arti yang luas dan menunjukkan keegoisan, inilah Aku.  Akhirnya harus diakui, ketiganya jelas setingkat dengan Jargon maupun Slang.

(Pedoman Rakyat, Ahad, 24 Januari 1988)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People