Anak-anak di Era Feminisme
(Resonansi di Hari Anak Nasional 23 Juli 2008)
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Sosial
“Berbuat baiklah kepada ibu bapakmu. Bila seorang atau keduanya mencapai usia lanjut, maka, jangan menyatakan kepada mereka “pfuih!” Jangan bentak mereka! Berkatalah dengan ucapan santun” (al-Isra’: 23).
Umar bin Khattab al-Faruq memaparkan bahwa orangtua punya tanggung jawab terhadap anaknya. Seorang ayah mesti memilih perempuan muslimah sebagai ibu anaknya. Kemudian mencari nama yang baik bagi anaknya. Tanggung jawab terakhir yakni mengajarkan al-Quran.
Tiga tanggung jawab bapak itu merupakan nasehat Khalifah Umar. Sementara tanggung jawab ibu jelas berat nian. Babad Siti Hajar menjadi ilustrasi mengenai perjuangan seorang bunda. Ia berlari-lari antara bukit Shafa dengan Marwa untuk mencari seteguk air bagi Nabi Ismail, putranya. Harapan ia panjatkan di tengah lembah Bakkah yang gersang dan terik. Hingga, percik air sekonyong-konyong menyemburat dari pasir-pasir gurun.
Dewasa ini, tanggung jawab orangtua makin kompleks. Bukan hanya pendidikan anak-anak yang wajib diprioritaskan. Pergaulan mereka pun mutlak diperhatikan. Apalagi, muncul fenomena bullying. Istilah tersebut erat dengan kekerasan. Hukum rimba berlaku di kalangan remaja. Siapa kuat ia berkuasa.
Di dalam rumah, televisi menjadi momok. Pasalnya, program-program televisi teramat vulgar. Acara televisi cuma berkisar vandalisme, gosip, erotisme atau horor. Sedangkan di luar rumah, aneka bujuk rayu bergentayangan. Pencabulan, narkoba serta tawuran adalah bentuk baru kehidupan kaum muda-mudi di era feminisme.
Di tengah aksentuasi metropolitan yang menjadi pola kehidupan remaja, terpampang jika anak-anak kian rumit dikontrol. Silih berganti perkara ditimbulkan. Apa sebetulnya yang mereka minun semasa bayi sampai susah diatur seperti kerbau. Siapa yang mendidiknya sampai doyan membantah. Bahkan, berani melawan orangtua.
Manfaat ASI
“Kami amanatkan kepada manusia supaya berlaku sopan kepada kedua orangtuanya. Sang ibu telah mengandungnya dalam kelemahan demi kelemahan. Lantas menyusukannya selama dua tahun” (Lukman: 14).
Anak-anak repot diarahkan gara-gara tak ada ikatan kasih sayang. Sebuah wujud kasih sayang yang selama ini hilang yaitu keengganan ibu menyusui anaknya. Padahal, air susu ibu (ASI) tiada lain minuman eksklusif. Kandungan gizinya kompleks dengan zat antibodi (daya tahan). ASI dilengkapi imunitas aktif dan pasif guna menangkal penyakit. Alhasil, pertumbuhan bayi bisa optimal.
Raga bayi kaya dengan lactase (B-galaktosidase). Enzim pengurai laktosa itu memudahkan bayi mencerna ASI. Maklum, komposisi ASI selaras dengan usus bayi. Enzim-enzim penyerapan semacam lipase dan amylase diperlukan bayi saat menyerap zat makanan. Sebab, usus bayi belum memadai dalam mengurai makanan.
Dr dr Subijanto Martosudarmo SpA(K) menjabarkan beberapa faedah ASI. Menurutnya, bayi yang diberi ASI lebih sehat dan kuat. Karena, tubuhnya mengandung bakteri probiotik. Bakteri tersebut sanggup memproduksi lactid acid (asam laktat). Bakteri probiotik mempengaruhi metabolisme bayi. Zat itu efektif mengurangi produksi toksin (racun) yang disemburkan oleh bakteri usus.
Dr Utami Roesli SpA, MBA, CIMI, IBCLC menjelaskan kalau ASI begitu penting. ASI yang langsung diberikan kepada bayi baru lahir mampu mencegah kematian anak akibat serangan penyakit menular. Utami Roesli yang Ketua Umum Sentra Laktasi tersebut berpendapat bila selama enam bulan, ASI bisa membentuk intelligence quotient (IQ), emotional quotient (EQ) maupun spiritual quotient (SQ). ASI menaikkan IQ anak sekitar 12,9 poin.
Dr Agus Harianto SpA(K) memaparkan jika bayi yang diberi ASI menunjukkan perkembangan jaringan otak yang lebih sempurna. Sebab, ASI mengandung DHA (docsohexaenoic acid).
Eileen Birch dari Retina Foundation of the the Southwest di Dallas menandaskan kalau bayi butuh lemak. Tanpa lemak DHA, berarti penglihatan bayi kurang sempurna. ASI mengandung lemak DHA guna menjaga selaput yang berubah-ubah serta permeable (tembus air).
Ruth Lawrence MD, juru bicara American Academy of Pediatrics berteori. Ia berpendirian bila ASI mengandung sekitar 100 macam zat yang tak ada dalam susu formula (sapi).
ASI menjadi hak asasi tiap bayi. Konvensi Hak-hak Anak tahun 1990 mengeluarkan fatwa bahwa pertumbuhan optimal merupakan sebuah hak anak.
ASI yang mengandung 88 persen air merupakan makanan alami, stertil sekaligus padat nutrisai. ASI dapat disimpan di suhu kamar selama 8-12 jam. Selama durasi itu, kualitasnya tidak berkurang. Jika dibekukan, maka, ASI bertahan enam bulan.
Konflik Anak
“Rendahkan dirimu di hadapan kedua orangtuamu dengan cinta-kasih. Lalu ucapkanlah: Wahai Tuhanku! Kasihanilah mereka sebagaimana keduanya mendidik saya di waktu kecil” (al-Isra: 24)
ASI terbukti minuman paling bermutu. Meski para ibu tahu keistimewaan ASI, namun, tidak semuanya rela menyusui anaknya. Wanita karier ogah menyodorkannya lantaran takut bentuk badannya tidak seimbang. Dadanya dikhawatirkan kempot. Padahal, payudara adalah properti elastis. Ketika anak tak lagi menetek, otomatis dada ibu kembali ke model aslinya. Sinus (gudang ASI) yang terletak di belakang puting akan mengendur. Arkian, dada sang ibu kembali kencang sekaligus sedap dipandang oleh suami. Dengan demikian, daya tarik seksualnya tetap tokcer.
Pada hakikatnya, menyusui sangat mujarab bagi kaum ibu. Karena, dengan menyusui, berarti mengurangi perdarahan sesudah melahirkan. Kemudian si ibu bisa terhindar dari kanker payudara berikut kanker indung telur.
Dalam jejak rutinitas, perempuan yang mengejar karier seolah tak memiliki kesempatan untuk menyusui. Pertemuan dengan kalangan VIP atau tugas yang bertumpuk di kantor menjadi alasan. Sebagai ganti, maka, ia mewakilkan pengasuhan anaknya ke babysitter. Sementara ASI diganti dengan susu formula. Susu sapi kurang baik akibat tidak mengandung enzim-enzim penyerapan yang diperlukan bayi. Enzim lenyap tatkala struktur susu diproses menjadi susu bubuk formula.
Keandalan babysitter dalam mengasuh, jelas terbatas. Ia tidak punya hubungan batin dengan sang anak sebagaimana seorang mama. Hatta, apa yang diinginkan anak tak langsung diketahui oleh ibunya. Kekurangan anak pun tidak gampang dimengerti orangtua. Hingga, hati anak diliputi kegalauan. Ia lantas menampilkan sikap agresif buat mencari perhatian orangtua. Masalah timbul kalau orangtua tak paham maksud anaknya. Frustasi sontak membekap si anak. Alhasil, ia melampiaskan di luar rumah. Aspek tersebut akhirnya menjadi awal petaka.
Persoalan-persoalan yang dilakukan oleh anak akhirnya mendorong ayah dengan ibu saling menyalahkan. Konflik akhirnya membesar. Apalagi, anak tak lagi memiliki tempat berlindung. Pasalnya, orangtua yang seyogyanya menjadi teladan berubah menjadi simbol kekacauan. Anak-anak sebagai generasi bangsa akhirnya menjadi gerombolan bangsat.
Dr Dan Olweus berargumentasi bila kenakalan di kalangan anak merupakan langkah awal menuju tindak kriminal. Psikolog Universitas Bergen di Norwegia itu menguraikan bahwa perkembangan kejiwaan yang tidak sehat menyimpan bibit kejahatan.
Aswad bin Sari’ meriwayatkan sabda Nabi Muhammad. “Tiap anak yang dilahirkan berada dalam kondisi suci sampai ia dapat berbicara. Sungguh, orangtualah yang menjadikan mereka sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi”.
(Tribun Timur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar