Merajut Iman di Era Metroseksual
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Sosial
“Harum bau minyakmu. Bagaikan minyak yang tercurah namamu. Oleh sebab itu gadis-gadis cinta kepadamu!” (Kidung Agung 1:3).
Ketika ayat di atas membahana, fenomena sosial masih konvensional. Wanita masih “tiga ur” alias sumur, dapur dan kasur. Sementara pria “3K” atau kuli, kasir serta kasur.
Sekitar 2000 tahun kemudian, fenomena sosial berubah drastis. Kelompok maskulin tiba-tiba bersolek. Mereka adalah pria urban dengan gaya hidup yang chic (elok). Lelaki dandy tersebut bukan homoseksual atau biseksual, namun, heteroseksual sejati alias straigh guy yang family men. Alhasil, ayat ketiga Kidung Agung seperti tertera di atas, sontak nyaring menggema merdu di jejak tahun keempat milenium ketiga.
Manusia di zama Yesus jelas tergolong insan istimewa. Selain bisa melihat Isa Almasih tiap waktu, juga mereka leluasa bertanya soal apa saja seputar kehidupan. Bahkan, berkesempatan menyaksikan mukjizat Sang Kristus menyembuhkan orang buta maupun menciptakan burung-burung dari tanah liat. Lazarus yang sudah meninggal selama empat hari, malahan dibangkitkan dari kematian.
Kehandalan Yesus yang sarat mujizat, seiring-sejalan dengan khotbah-khotbahnya yang bernas. Kini, tokoh kharismatik yang biasa dipanggil Guru oleh murid-muridnya itu, telah lama tiada. Saat ini, domba-dombanya tinggal mengkaji pelajaran iman yang sudah diwariskan.
Di zaman yang penuh nafsu perang ini, manusia kembali memerlukan struktur iman. Peradaban butuh iman agar anasir negatif bisa ditepis. Apalagi, aspek kehidupan makin kaya oleh budaya pop dan lifestyle sekaligus aliran yang membingungkan persepsi rutinitas. Metroseksual, contohnya, menjadi gaya yang berpeluang menabrak konfigurasi iman.
Pemburu Merek Mashur
Pada 1994, Mark Simpson memperkenalkan istilah metroseksual di Independent,koran berpengaruh di Inggris. Gay yang juga kolumnis fashion tersebut, menyelisik banyaknya golongan muda yang hidup di kota besar (metropolis), sangat memanjakan dirinya. Bahkan, mereka cenderung memuja diri sendiri (narsistis).
Definisi Simpson perihal metroseksual yakni a dandyish narcissist in love with not only himself, but this urban lifestyle (pria pesolek yang tidak hanya mencintai dirinya, tetapi, menyayangi pula gaya hidup kota besar yang sedang dijalani).
Istilah metroseksual lantas terpilih sebagai word of the year 2003 oleh American Dialect Society. Konferensi tahunan lembaga bahasa Amerika di Boston itu, diikuti 70 peserta pada pekan kedua Januari 2004.
Pria metroseksual adalah jemaat bergelimang duit yang senang berdandan, belanja sekaligus asyik bergaul atau bersosialisasi (social butterfly). Mereka pun menolak gagasan seks ala Don Juan (playboy), sebagai manifestasi atas komitmen terhadap pasangannya.
Kalangan metroseksual adalah fashion-oriented. Mereka tiada lelah mengikuti mode terbaru dari Paris, Milan maupun New York. Hingga, metroseksual akhirnya menjadi victim of the fashion (korban mode). Karena, mereka bergaya dengan adibusana bermerek superpremium semacam Ralph Lauren, Versace, Giorgio Armani, Dolce & Gabbana, Gianfranco Ferre, Calvin Klein serta Prada.
Metroseksual yang punya interpersonal skill prima, melengkapi dirinya dengan beragam beauty product for men dari aneka kosmetik yang berlabel top. Komunitas woman-oriented man tersebut, menggemari jenis perawatan tubuh semacam hair care, skin care, body care, hand and foot care, tooth care, menicure dan pedicure.
Kemudian di ruang riasnya, bertabur produk khusus pria. Rangkaian perawatan itu antara lain; aftershave, body lotion, moist & matte, face scrub, dry skin protection, hair gel, shaving foam serta cleanser.
Berkorban Demi Iman
Fenomena metroseksual menghamparkan bukti bila telah terjadi transformasi besar antara masa hidup Yesus dengan penduduk milenium ketiga. Kala Isa Almasih menghuni planet bumi, maka, nilai-nilai keimanan dijunjung tinggi. Sekarang, bentangan iman dalam dada mendapat pesaing baru berupa kultur pop dan lifestyle.
Memasuki tahun 2000, iman seakan cuma ada di gereja. Sementara gaya hidup terus dicari dengan tetes keringat di tiap jengkal tanah. Membangun tingkat kehidupan sosial, memerlukan pengorbanan. Sedangkan meraih iman dinilai minus sensasi.
Hidup butuh gejolak gairah. Dan gairah membahana luas pada budaya pop serta lifestyle yang menyeruak dari rahim peradaban modern. Mengais sebuah kesenangan di masa kini memerlukan lembaran uang. Sementara duit tidak dipungut di pinggir jalan bak daun-daun kering yang berguguran. Meraih uang butuh kreativitas dari nilai-nilai superioritas manusia.
Rutinitas dalam mencari duit itulah yang membuat manusia melupakan iman. Mereka berpikir bahwa iman hanya ada di gereja. Dan itu gampang direngkuh. Padahal, iman tidak semudah mendatangi gereja. Iman juga sulit digapai lantaran memerlukan pengorbanan.
Saat seseorang memperoleh kenikmatan, bisik bibirnya tak pernah menyenandungkan pujian kepada Allah. Sedangkan kalau ditimpa musibah, maka, mulutnya komat-kamit menyeru Tuhan.
Di sinilah pengorbanan itu diuji. Maukah tiap individu mengorbankan secuil kegembiraan sekaligus sedetik kesenangannya untuk kehadiran kasih Ilahi. Sudikah keturunan Adam menawarkan sepersepuluh dari dana gaya hidupnya buat disumbangkan ke rumah ibadah. Bersediakah waktunya bersolek dibatasi guna mengingat Allah. Berhasratkah pria metroseksual berjalan menuju ke gereja demi merasakan alunan khotbah.
Daftar pengorbanan yang terkesan mengusik sebagian konsep hidup kaum modern tersebut, pada hakikatnya akan membuahkan kemenangan dalam kehidupan. Sebab, bakal menggembala umat manusia merasakan kembali perjuangan Yesus ketika mengumandangkan hukum-hukum Allah.
Pengorbanan yang diminta cuma sedikit, namun, niscaya berdampak besar bagi jalan hidup kebenaran. Pengorbanan yang dikehendaki tidak seberapa, tetapi, membuat orang jauh dari kesalahan. Karena: “Orang benar akan hidup oleh iman” (Roma 1:17).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar