Kamis, 30 Juni 2011

Cetak Biru Ekonomi Funky Indonesia

Cetak Biru Ekonomi Funky Indonesia

Oleh Abdul Haris Booegies


     Pada 2006 yang sejenak lagi tiba dari dimensi waktu, Indonesia harus membayar utang sebesar Rp 91,6 triliun.  Ironisnya, kas keuangan negeri ini justru cekak total.
     Kekayaan bersih (ekuitas) pemerintah terpampang negatif sebesar Rp 497,2 triliun per 31 Desember 2004.  Ketiadaan duit kas negara itu gara-gara utang yang dibayar sangat besar.  Utang keseluruhan mencapai Rp 1.349 triliun.  Sementara aset cuma Rp 851,9 triliun.
     Banyak pihak lantas berteriak-teriak supaya pemerintah menghentikan penambahan utang.  Selain tidak efektif, juga kekayaan negeri ini sesungguhnya teramat besar.  Penambahan utang baru, malahan selalu salah sasaran.  Sebab, digerogoti banyak tikus berdasi yang lincah-gemulai berkelit menghindari hukum.
     Tanpa utang pun, negeri ini bisa lebih digdaya dibandingkan China, Jepang, Korea Selatan atau Taiwan.  Hal itu berkat kekayaan alam Nusantara yang besar.  Hingga, tak aneh jika gas alam Indonesia menyemarakkan kota-kota di Jepang, Korsel serta Amerika Utara.  Bahkan, di China, batu bara Nusantara menggerakkan pembangkit-pembangkit listrik.
     “Negeri ini dikaruniai berbagai jenis sumber energi fosil (minyak mentah, gas, dan batu bara) maupun nonfosil (panas bumi, tenaga air, tenaga surya).  Sumber daya minyak bumi 86,9 miliar barel, gas 384,7 triliun kaki kubik, batu bara 57 miliar ton” (Kompas, 14 Desember 2005).
     Kalau kekayaan alam tersebut dikekola baik, niscaya Indonesia sanggup berdiri tegak di antara negara-negara maju.  Negeri ini tak bakal dipandang sebelah mata lagi sebagai negara dunia ketiga yang terbelakang (less-developed countries).
     Dengan dukungan pemanfaatan sumber daya energi yang melimpah, otomatis Indonesia mampu mewujudkan diri sebagai ranah bertabur triliunan rupiah.  Walau dikaruniai kekayaan alam, tetapi, Indonesia tetap terkapar tanpa daya.  Dari hari ke hari, malahan kian  buntung dengan stamina yang loyo.
     Angka pertumbuhan produk domestik bruto per kapita yang dihitung berdasarkan purchase power parity, tak sanggup melampaui negara-negara Asia dari ras kuning.  Periode 1978-2004, China menorehkan angka sebesar 370 persen dengan rata-rata pertumbuhan per tahun 6,1 persen.  Jepang pada periode 1950-1973, membubuhkan pertumbuhan 460 persen dengan rata-rata tiap tahun 8,2 persen.  Taiwan pada periode 1958-1987, menggoreskan pertumbuhan 600 persen dengan rata-rata 7,1 persen.  Sedangkan Korsel mencatat pertumbuhan ekonomi yang impresif.  Pada periode 1962-1990, Negeri Ginseng itu tercatat mengantongi angka sebesar 680 persen dengan rata-rata 7,6 persen per tahun.

Iklim yang Payah

     Macetnya perekonomian Indonesia lantaran birokrasi yang tidak business friendly.  Akibatnya, investor tak sudi menengok pasar Indonesia.  Di samping itu, korupsi merajalela dari Sabang sampai Merauke.
     Menjelang tahun 2006, tantangan ekonomi Indonesia makin seronok.  Dari sisi eksternal, rintangan datang berupa lemahnya pertumbuhan ekonomi global.  Lalu terjadi peningkatan suku bunga internasional.  Kemudian fluktuasi harga minyak mentah dunia.
     Sementara tantangan internal berupa kurangnya pembenahan sektor riil semacam usaha kecil menengah (UKM).  Lantas inflasi serta suku bunga yang tidak kondusif.  Fase tersebut terjadi lantaran terpicu oleh peningkatan suku bunga pasar uang di Amerika Serikat. 
     Hambatan lainnya ialah kemiskinan yang tiada henti meningkat.  Lalu pengangguran yang terus-menerus membengkak parah.  Kemudian daya beli masyarakat yang lemah.  Lantas investasi yang masih menanti ke mana arah angin bertiup alias wait and see.  Selain itu, Indonesia pun tetap lembek tanpa daya saing di pasar global.
     Ketidakmampuan dalam berkompetisi tersebut, diperkuat laporan “Doing Business in 2006: Creating Jobs” yang dilansir World Bank dan International Finance Corporation.  Risalah yang dikeluarkan pada September 2005 itu, mengukuhkan Indonesia berada pada rangking 115 dari 155 negara yang diteliti.  Survei tersebut membuktikan bila iklim berbisnis di Indonesia payah total.
     Kendati ekonomi semrawut, namun, rasa optimistis tetap digaungkan dalam menyambut tahun depan.  “Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2006 akan tumbuh dalam kisaran 5-5,7 persen.  Inflasi tahunan masih 18 persen pada kuartal pertama 2006.  Sementara kredit perbankan akan tumbuh 15-20 persen atau lebih rendah dibandingkan dengan 2005” (Republika, 16 Desember 2005). 
     Pelaku industri asing tak berinvestasi di Indonesia akibat minimnya kepastian hukum.  Lalu beban pajak yang berat.  Kemudian soal kepabeanan yang tidak transparan.  Lantas problem perburuhan yang acap muncul.  Di samping itu, kualitas sumber daya manusia (SDM) yang tidak kompetitif.
     Tanpa investor mancanegara, berarti mesin industri tak menderu-deru secara bertalu-talu di Tanah Air.  Padahal, industri menjadi roh bagi roda pertumbuhan ekonomi.
     Jika sebuah industri berdiri di suatu kawasan, maka, warga di sekitarnya bakal ikut menikmati hasil mesin proyek yang berderak kencang.  Karena, industri menyerap tenaga kerja.  Fenomena tersebut bermakna mengurangi armada pengangguran.  Tingkat kemiskinan pun terkikis.  Sebab, industri memberi banyak pilihan kerja selama produksi berlangsung.

Cepat Sekaligus Meriah

     Ekonomi Indonesia mesti bergerak cepat menangkap peluang.  Apalagi, dewasa ini penduduk dunia terjangkit virus remote control.  Pola itu tergambar ketika orang sedang menonton acara televisi.  Kalau program yang disiarkan tidak menarik, otomatis dalam hitungan detik tontonan sudah berganti.  Karena, pemirsa leluasa memencet remote control untuk mencari siaran yang memukau, merangsang dan memberi secuil gairah hidup.
     Bila ekonomi tak tampil menarik dengan kebijakan yang business friendly, niscaya investor mengalihkan dananya ke negara lain.  Ihwal tersebut mirip dengan cerita sekilas remote control yang sanggup mengabaikan acara-acara tertentu.
     Sekarang, yang harus disiapkan sebagai cetak biru (blue print) ekonomi Indonesia pada 2006, yakni penampilan funky (riang-ceria).  Di akhir tarikh ini, roda perekonomian seyogyanya berdandan ala Cable News Network (CNN) dan Music Television (MTV).  CNN mewakili kecepatan.  Sedangkan MTV mengusung kemeriahan.
     Cetak biru ekonomi funky ala CNN dan MTV yakni mendikte pasar dengan keunggulan nyata.  Skema itu tentu secara realita akan memuaskan pribadi, imperium bisnis serta negara.  Sebab, ekonomi funky merumuskan pengembangan infrastruktur sebagai magnet bagi modal asing.  Komposisi tersebut bakal melahirkan agenda yang menstimulasi pertumbuhan ekonomi secara besar-besaran.  Apalagi, jika diisi visi yang berorientasi ekspor (export-led industrialization strategy).
     Tanpa mendandani diri dengan ekonomi funky, berarti kinerja ekonomi terus-menerus buruk pada 2006.  Karena, momok seperti meningkatnya secara drastis harga minyak dunia, kenaikan suku bunga dan batalnya modal asing masuk, tetap bergentayangan sebagai resiko yang bagai bom jihad kelompok radikal.
     Kalau ekonomi tahun depan macet, maka, ke mana negeri ini mencari fulus guna membayar utang?  Bagaimana melunasi beban utang sebesar Rp 91,6 trilun?
     Tanpa merealisasikan ekonomi funky di era neo-liberalisme global, niscaya Indonesia tetap berkubang dalam inflasi yang kronis sekaligus neraca transaksi berjalan yang terus-menerus defisit.  Sebab, mekanisme yang dominan adalah sistem primitif.  Bukan ekonomi funky!


(Pedoman Rakyat, Kamis, 29 Desember 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People