Senin, 06 Juni 2011

Menanti Rupiah Ereksi Total

Menanti Rupiah Ereksi Total
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Keuangan
SUDAH dua setengah bulan tarikh 2006 dilewati. Selama itu pula masyarakat Indonesia berharap penuh cemas. Penyelenggara negara, kapitalis sejati, usahawan nasional, orang awam berpenghasilan di bawah Rp 10 ribu maupun para penganggur, mengidamkan masa serba susah segera berlalu. Mereka menghendaki agar tahun ini ekonomi selekasnya bergairah. Hingga, semua ikhtiar positif bisa secepatnya menghasilkan lembaran-lembaran duit.
Resep ekonomi kemudian dikedepankan guna mencapai kemakmuran. Misalnya, jurus jitu yang harus diinjeksikan ialah harmonisasi ekonomi dengan politik. Sebab, iklim politik yang mendukung bakal merangsang kinerja ekonomi. Selama ini, orang mafhum jika demokrasi yang bergerak maju akan mendongkrak prestasi ekonomi.
Fenomena tersebut menunjukkan kalau faktor negatif politik bisa membuat rupiah jatuh ke jurang nista kehancuran. Akibatnya, bangsa ini bakal menanggung ongkos besar sekaligus sangat menyakitkan.
Selain sinergi politik dengan ekonomi, juga rupiah tergantung pada kebijakan pemerintah. Bila pemerintah mengeluarkan kebijakan fiskal yang kredibel, otomatis rupiah segera menguat.
Rupiah mesti kokoh lantaran derajat perekonomian suatu negara ditentukan oleh nilai mata uangnya. Mata uang diklaim kuat (hard currency) jika dapat ditukar secara lebih dari mata uang negara lain. Makin banyak unit duit yang diperoleh, berarti kian sakti nilai mata uang itu. Sebaliknya, mata uang lemah (soft currency) adalah kalau nilai tukar (exchange rate) mata uang tersebut rendah terhadap mata uang negara lain.
Sebuah ilustrasi menggambarkan tentang pelayanan money changer di luar negeri. Bila rupiah ditukarkan, maka, timbul kesan jika pelayanan yang diberikan berbeda. Ihwal itu terjadi lantaran lembaran rupiah terlalu banyak. Alhasil, butuh waktu lama dalam menghitungnya. Berbeda dengan mata uang top dari negara lain yang stabil serta apik. Akibatnya, penukaran rupiah biasanya tidak ditanggapi. Penolakan tersebut sungguh memprihatinkan, menyedihkan sekaligus memalukan.
Rupiah melemah gara-gara defisit neraca perdagangan. Umpamanya, defisit neraca berjalan non-minyak yang pernah mencapai 1,8 miliar dollar AS. Hingga, menjadi sumber ekspektasi melemahnya rupiah.
Fluktuasi nilai tukar beberapa mata uang kuat terhadap mata uang lain, mempengaruhi pula perilaku nilai tukar rupiah.
Di awal pemerintahan Presiden Gus Dur, rupiah pernah terjerembab loyo. Karena, dipicu aneka faktor yang terjadi secara simultan dan beruntun. Contohnya, pergerakan mata uang serta bursa regional. Lantas antisipasi yang dilakukan para fund manager atas isu seputar rencana kenaikan suku bunga dollar.
Kalau rupiah melemah, niscaya menimbulkan aneka problem. Sebab, memunculkan suku bunga tinggi. Konfigurasi itu akhirnya memicu terjadinya kredit macet di kalangan perbankan.

Panasnya Uang Panas
Nilai rupiah selalu ditentukan dollar AS. Bila Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve) tidak menaikkan suku bunga, niscaya, rupiah berpeluang menguat. Rupiah yang kokoh membuat Bank Indonesia (BI) tidak perlu menaikkan bunga. Bahkan, kebijakan uang ketat akan melonggar. Skema tersebut menjadi gejala positif yang sanggup menyokong sektor riil dan perbankan.
Jika sektor riil macet, otomatis tidak terjadi penciptaan lapangan kerja. Akibatnya, terjadi efek kontraksi pasar kerja serta peningkatan kemiskinan.
Di pekan kedua pada Maret ini, rupiah mencapai level Rp 9.400 per dollar AS setelah terpukul profit taking di pasar saham dan obligasi. Sebelumnya, sepanjang Januari-Februari 2006, nilai tukar rupiah mengalami penguatan secara gradual. Gubernur BI Burhanuddin Abdullah memandang perkembangan tersebut berkat perbaikan di lalu lintas modal swasta. Lalu membaiknya premi resiko. Di samping itu, berakhirnya siklus pengetatan moneter global.
Motif dominan yang mempengaruhi penguatan rupiah yakni hedge fund dari luar negeri. Dana tersebut masuk lewat celah ketidakharmonisan pasar di Indonesia dibandingkan pasar luar negeri. Dana itu masuk ke pasar saham, obligasi serta pasar valuta asing. Akibatnya, indeks saham melesat kencang. Alhasil, diperkirakan menurunkan volatilitas nilai tukar rupiah dibandingkan tahun 2005. Fenomena positif tersebut, jelas mengurangi tekanan terhadap inflasi indeks harga konsumen (IHK). Di akhir 2006, inflasi IHK diprediksi mencapai 7-9 persen pada skala year on year.
Struktur itu memperlihatkan kalau dana yang mengalir deras dari modal asing berhasil menguatkan nilai tukar rupiah. Maraknya investor asing yang masuk pasar modal, mengisyaratkan adanya ekspektasi investor terhadap perekonomian Indonesia.
Penguatan nilai tukar rupiah, juga dipicu oleh isu global dan domestik. Misalnya, ketika dollar dilanda sentimen negatif lantaran the Fed bakal mengakhiri kenaikan suku bunga. Hingga, yen, euro sekaligus rupiah ikut menguat terhadap dollar. Sedangkan variabel domestik yaitu adanya langkah BI mempertahankan suku bunga pada posisi 12,75 persen.
Pada esensinya, apresiasi rupiah teramat riskan. Karena, penguatannya didorong oleh arus aliran dana (capital inflow) jangka pendek. Penguatan rupiah bergoyang dalam irama rancak akibat pasar valuta asing Indonesia sangat tipis. Angkanya hanya berkisar 200 sampai 300 juta dollar AS per hari. Alhasil, uang panas (hot money) sekitar Rp 160 triliun yang masuk, langsung membuat rupiah mencorong. Total jenderal uang panas yang bergerilya di Indonesia mencapai 47,8 persen dari cadangan devisa.
Duit panas tersebut ditanamkan di portofolio pasar modal serta pasar uang. Sikap waspada akhirnya harus disiapkan. Sebab, di balik uang panas itu, mengintip pula bahaya garang. Dana yang cuma singgah sejenak tersebut, rawan lenyap. Bila ada gesekan pada kondisi ekonomi dan politik domestik, maka, dana itu segera kabur every time tanpa sempat permisi. Padahal, para investor sudah mencicipi lezatnya bunga 12,75 persen per tahun.
Mengharap Uang Dingin
Semerbak wangi perekonomian yang mengalami peningkatan, mesti tetap diawasi. Karena, faktor resiko selalu menghantui. Umpamanya, ketidakpastian harga minyak dunia. Segmen tersebut terjadi lantaran potensi konflik politik serta militer di wilayah Timur Tengah.
Jika BI tetap mempertahankan tingkat inflasi (inflation rate), niscaya, sektor riil mampu bergerak. Hingga, pertumbuhan ekonomi segera bergulir. Skema yang selama ini dijalankan kalau rupiah tergelincir ialah menaikkan suku bunga. Padahal, langkah itu bukan obat penyembuh. Formula tersebut hanya analgetik yang menghilangkan rasa sakit sekejap. Selain itu, pemerintah diharap tidak membuat kebijakan keliru yang bisa memicu inflasi. Contohnya, menaikkan tarif dasar listrik (TDL) antara 15-20 persen. Padahal, defisit PLN bukan Rp 23 triliun, tetapi, Rp 10,2 triliun.
Di samping itu, kebijakan ekonomi mutlak konsisten menatap visi jangka panjang. Alhasil, otoritas tidak kehilangan kredibilitas. Teori hasil renungan peraih Nobel Ekonomi 2004, Finn E Kydland bersama Edward C Prescott, layak direnungkan. Kedua tokoh tersebut mendengungkan konsistensi waktu. Teorinya menghendaki supaya kebijakan stabilisasi di masa sekarang harus dipertahankan untuk era mendatang. Sebab, bencana ekonomi berupa tingginya inflasi cuma faktor sementara. Selain itu, juga ragam elemen energi di balik siklus bisnis mesti ditelusuri.
Penguatan rupiah merupakan sinyal positif. Apalagi, bila negeri ini diserbu uang-uang dingin berupa investasi langsung luar negeri atau foreign direct investment (FDI). Uang dingin sanggup memacu ekonomi pada taraf yang stabil berkat investasi di sektor riil.
Rupiah yang kokoh wajib digaungkan lantaran ekonomi dunia telah mengarah ke Asia. Gejala tersebut bergemuruh sesudah energi AS wassalam pada tahun 2005. Kini, arah baru ekonomi dipimpin oleh Jepang dan China.
Pembenahan terhadap rupiah harus dilakukan selekasnya agar nilai tukar uang domestik itu bisa ereksi total. Hingga, menawan bagi banyak hasrat pelaku ekonomi. Inovasi impresif mutlak didengungkan supaya rupiah tidak seperti pria impoten di hadapan nona-nona manis. Pemerintah mesti punya fighting spirit besar sekaligus kemauan politik tinggi guna membangun rupiah agar elok berkilau bagai batangan emas. Upaya elegan wajib digaungkan supaya rupiah selalu kompetitif dengan daya beli (purchasing power) mantap. Sebab, rupiah adalah simbol negara.

(Pedoman Rakyat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People