Sabtu, 04 Juni 2011

Gemuruh Riuh Islam Liberal


Gemuruh Riuh Islam Liberal
Oleh Abdul Haris Booegies

     Mendiang Nurcholish Madjid pernah menggegerkan umat Islam Indonesia kala mengartikan la ilaha illallah dengan “tiada tuhan selain Tuhan”.  Alasannya, morfem ilah tersebut bermakna tuhan yang lazim dipakai sejak zaman prasejarah oleh rumpun Semit.
     Asumsi Cak Nur jelas keliru.  Karena, Tuhan sendiri yang memilih istilah Allah buat diri-Nya.  Di samping itu, ungkapan Allah dikategorikan ghairu musytaq (tidak ada asal katanya sekaligus bukan pecahan dari kata lain).  Louis Ma’luf al-Yasu’i, seorang Arab Lebanon beragama Kristen Maronite menegaskan jika istilah Allah tergolong ismun zati (nama yang tidak tergantikan oleh apa saja).
     Kegemparan oleh ulah Cak Nur yang putrinya dikawini Yahudi AS, tidak seberapa.  Sebab, kini berderak tafsir sembrono ala komunitas Jaringan Islam Liberal (JIL) alias Islib.
     Komplotan Islib sering membuat orang terkaget-kaget.  Struktur yang dipandang mapan oleh Islam mainstream, ternyata dirombak sesuai asas kebebasan (hurriyyah).  Islib seolah melihat Islam sebagai ajaran pembelah kemanusiaan.  Karena, dalam Islam, kebenaran maupun kebatilan tidak memiliki jalan tengah.  Sesuatu yang haram tetap haram.  Hingga, Islib hadir dengan niat sebagai jembatan.
     Eksistensi Islib lantas menggelegak hendak menggasak Islam militan.  Pasalnya, kelompok keagamaan berciri fundamentalis dan radikalisme diniliai merusak demokratisasi di Indonesia.
     Islib berlabuh di Indonesia pada Maret 2001.  Kehadirannya hendak memperbarui kondisi Islam yang dibekap keterbelakangan.  Islib muncul mengusung hasrat berciri kebebasan yang berbasis subyektif manusia.
     Ulil Abshar Abdalla, dedengkot Islib mengutip sebuah hadis guna menguatkan ordo liberalnya.  “Ad-diinu huwa-l- ‘aql.  Wa man la diina lahu la ‘aqla lahu” (Agama merupakan akal.  Siapa tidak beragama berarti ia tak berakal).
     Berdasar hadis tersebut, Islib akhirnya mendahulukan brain power ketimbang dalil syar’i.  Padahal, hadis yang dikutip Ulil, sebenarnya bukan sunah Rasulullah.  Sinyalemen itu seratus persen hadis palsu (maudhu). 
     Al-Quran memang menjunjung kreativitas akal.  Biarpun menghargai nalar, namun, Islam tidak menyuruh berpijak pada pikiran liberal berasas nafsu.
     Di sisi lain, Islib mengutak-atik pula tafsir para ulama salaf dengan analisis hermeneutika.  Padahal, hermeneutika merupakan alat interpretasi sarjana Barat dalam meneropong Alkitab.  Arkian, metode filsafat tersebut tidak tepat digunakan buat meneliti al-Quran.  Sebab, Bibel berbeda dengan al-Quran.  Alkitab tersusun setelah Yesus Kristus meninggalkan bumi.  Sedangkan al-Quran sudah malang-melintang di masa hidup Nabi Muhammad.   

Kapasitas Insaniah
     Tokoh-tokoh yang mengagungkan paham pluralisme teologis sering memuji setinggi langit Nabi Ibrahim al-Khalil.  Alibinya, Ibrahim Alaihissalam membawa pencerahan model hanif (setia pada kebenaran) yang humanis.  Sementara ajaran Rasulullah teramat ketat.  Bahkan, umat di luar Islam dianggap kafir.
     Pada hakikatnya, inti agama samawi yaitu menyembah Allah yang tidak beranak.
Semua agama sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, memerintahkan sujud kepada Allah.  Walau saripatinya sama, tetapi, sering merebak modifikasi.  Beberapa perbedaan fundamental terlihat, namun, esensi tauhid senantiasa serupa bahwa tiada tuhan kecuali Allah. 
     Dalam sejarah ternukil kalau perintah bagi pengikut Nabi Ibrahim masih sederhana.  Sedangkan ajaran untuk umat Nabi Musa mulai semarak.
     Pola tauhid itu bisa dilihat dari sabda Nabi Isa.  “Masih banyak hal yang harus kukatakan kepadamu, tetapi, sekarang kamu belum dapat menanggungnya.  Bila Roh Kebenaran datang, niscaya ia bakal memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran”.
     Estafet monoteisme kian mutakhir saat tiba pada Rasulullah yang menjadi Roh Kebenaran.  Karena, persoalan serta peradaban makin modern.  Apalagi, ideologi langit berkembang seiring akal manusia yang mengalami evolusi.  Hatta, mencapai klimaks di pundak Nabi Muhammad.
     Tamsilnya bisa diserupakan aneka barang yang terus-menerus bersalin rupa.  Performa dan kecepatan mobil tahun 90-an, jelas berbeda dengan produksi di tarikh 2000.  Awalnya, memori penyimpanan data terbatas nian keandalannya.  Kini, kemajuan teknologi komunikasi informasi melahirkan penyimpanan multimedia dengan kapasitas seribu gigabyte.
     Sekali waktu, Umar bin Khattab menemui Nabi Muhammad.  “Ya Rasulullah, saya menemukan secarik gulungan ajaran Nabi Musa”.  Wajah Nabi Muhammad kontan berubah.  “Jika kamu mengikutinya, pasti hidupmu tersesat”, jawab sang Maha-Rasul.
     Mekanisme perintah Nabi Musa memang mengesakan Tuhan dengan seperangkat hukum Ilahi.  Masalahnya, pola hidup kaum Yahudi masih tergolong sederhana.  Perkara yang terhampar jumlahnya tidak seberapa.  Proses kehidupan belum mengemuka secara tuntas.
     Wahyu yang diterima Nabi Musa tidak memuat segenap problem manusia.  Sementara the seekers of the truth (pencari kebenaran) menangkap teologi hakiki sesuai kapasitas insaniahnya.  Diperlukan beberapa Nabi serta Rasul guna menuntun manusia menjadi hamba sejati.

Agenda Imperealisme
     Proses agama dari bentuk sederhana menjadi wujud sempurna selalu diabaikan.  Alhasil, banyak kalangan mau bernostalgia dengan kerangka hukum Nabi Ibrahim.  Padahal, ritual Nabi Ibrahim muskil dihidupkan lantaran shuhuf (lembaran wahyu) telah kedaluarsa.
     Sekarang, bergemuruh sekelompok kaum Muslim yang sinis terhadap Islam.  Mereka dongkol terhadap sederet pejuang militan yang mendeklarasikan perang suci atas nama Allah.  Bagi mereka yang jijik, jihad sudah khatam.  Menurutnya, tantangan yang membentang tiada lain menyusun doktrin pluralistik nan sejuk.
     Mereka pun memaklumatkan kalau agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad merupakan musuh feminisme, pluralitas dan demokrasi.  Islam memang agama hukum yang berlandaskan kewajiban.  Di dunia ini, cuma ajaran buatan manusia yang berisi perintah berkadar elastis.
     Islib sebagai gerombolan ingkar sunah agaknya disenangi kawula muda sebagaimana paham sesat tasawuf maupun al-Qiyadah al-Islamiyah.  Antek-antek Islib semata mendambakan ajaran humanis yang sejuk tanpa momok neraka.  Padahal, tidak ada nangka yang tidak bergetah.  JIL yang diplesetkan sebagai Jaringan Iblis Laknatullah, kental diliputi konstruksi liberal-revolusioner.  Hingga, JIL, sufisme atau al-Qiyadah al-Islamiyah sebagai virus tauhid, tidak pernah gentar mengobok-obok formula ideal Islam.
     Pada intinya, Islib lupa bila inovasi teologi pluralis adalah agenda imperealisme global demi mengkafirkan umat Islam.
     “Tidak akan senang kaum Yahudi serta orang Nasrani sebelum kamu mengikuti agama mereka” (al-Baqarah: 120).

(Tribun Timur


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People