Planet Bumi Gawat Darurat
(Refleksi Setelah Hari Bumi 22 April 2007)
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Lingkungan
Pada 26 April 1986, terjadi ledakan reaktor nuklir Chernobyl. Kawasan di seputarnya sontak menjadi horor lingkungan paling mengerikan. Jejak kerusakannya berantai. Sebab, orang-orang yang terkena radiasinya melahirkan keturunan yang cacat.
Pada 29 Mei 2006, sebuah sumur Lapindo Brantas menyemburkan lumpur panas. Material dari perut bumi tersebut sekonyong-konyong merajam Sidoarjo. Efeknya melahirkan kerugian yang susul-menyusul. Ekonomi lumpuh tanpa rona gairah. Rakyat yang terkena dampak lumpur, akhirnya hidup terkatung-katung dalam derita pahit yang mengenaskan. Apalagi, ganti rugi tak kunjung kelar. Karena, pembayarannya berbelit-belit.
Reaktor nuklir Chernobyl maupun lumpur panas Lapindo merupakan teror bagi kemanusiaan. Selain memorak-porandakan tataran sosial-ekonomi dan nilai kemanusiaan, juga tragedi itu melukai bumi.
Selama memasuki abad ke-21, terjadi perubahan iklim secara ekstrem. Di Kota Makassar saja, muncul gejala yang repot dibantah. Pada tahun 90-an, pengendara motor leluasa lalu-lalang tanpa perlu jaket buat menahan sengatan mentari. Di milenium ketiga ini, rata-rata orang memakai jaket. Sebab, terik matahari sudah memanggang. Tanpa baju tebal, niscaya kulit terlihat legam.
Bill McKibben berargumentasi kalau atmosfir bumi makin panas lantaran kegiatan manusia. Kini, warga dunia harus bersiap oleh suatu kondisi darurat berskala global yang akan menghancurkan segenap sendi peradaban.
Pada 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change melaporkan bila manusia membuat dunia kian panas satu derajat lebih. Selepas abad ke-20, diperkirakan panas bumi bakal melonjak tiga sampai 10 derajat.
Bumi yang makin panas tentu menghadirkan badai. Nyawa angin ribut berasal dari panas yang berada di atas permukaan laut. Bibit tornado menyerap panas samudera. Tidak mengherankan jika selama 2007 ini, Indonesia dibekuk puting beliung. Karena, air laut kian hangat. Hingga, menjadi lahan subur timbulnya badai.
Tidak lama lagi, penduduk dunia akan menghadapi guncangan lebih dahsyat. Syahdan, lapisan kutub es telah menyusut. Kutub Utara mencair sebesar dua kali luasnya Texas. Gundukan-gundukan es yang meleleh di Greenland serta Antartika mendorong temperatur bumi memuncak. Sekarang, air laut naik mencapai enam meter. Aspek tersebut merupakan alamat buruk. Sebab, fungsi es di kutub ibarat cermin. Kala sang surya bersinar, maka, es di kutub memantulkan kembali sinar itu ke angkasa luar. Kalau es di kutub makin mengecil, berarti pantulan berkurang. Alhasil, sebagian besar panas solar langsung diserap laut. Air kemudian menghangat. Akibatnya gampang diduga, serangan badai bergejolak di mana-mana.
Batasi Menyetir
Sebagian orang menghujat Tuhan ketika terjadi bencana alam. Mereka menilai Tuhan berlaku semena-mena. Dianggapnya Tuhan tidak becus mengatur semesta raya. Padahal, manusia sendiri yang menghancurkan alam. Tsunami, badai Katrina, banjir, gempa, kabut asap, lumpur panas atau seabrek petaka dahsyat yang timbul, sebenarnya adalah ulah manusia.
Hanya manusia yang berpotensi merusak keteraturan alam. Perbuatan tangan mereka yang destruktif, mutlak diredam. Kosmos yang tak terbatas mesti dilindungi. Selama ini, baru sekali terjadi globalisasi di bidang ekosistem. Peristiwa tersebut terjadi pada Jumat, 10 Rajab tarikh 3393 sebelum Masehi. Saat itu, Nabi Nuh menyelamatkan tumbuhan serta satwa dengan cara mengangkutnya ke dalam bahtera. Kini, spirit Nabi Nuh harus kembali digaungkan.
Rimba yang menjadi paru-paru bumi mesti diselamatkan. Reboisasi hutan yang gundul selayaknya menjadi kewajiban. Karena, menebang sebatang pohon tidak ubahnya mencederai bumi. Tamsil pohon ialah bulu hidung. Bila sehelai bulu hidung dicabut, tentu membuat orang bersin dan berkaca-kaca matanya. Pohon yang dicerabut jelas menyakitkan Ibu Pertiwi. Bersinnya laksana material vulkanik yang keluar menerjang apa saja. Sementara mata yang berkaca-kaca bagai bah yang meluber ke mana-mana.
Hutan gundul pasti membuat daerah di sekitarnya enteng dilanda banjir. Ketiadaan rimba raya merangsang pula nyamuk berhijrah-ria. Jika selama ini hidupnya tenteram tidak terusik, maka, sekarang mereka seenaknya menyerbu pemukiman. Penyakit malaria pun merajalela.
Dunia yang terasa hangat serta basah merupakan hunian impian bagi nyamuk. The Centers for Disease Control and Prevention meramalkan kalau demam berdarah bakal menjadi penyakit terkemuka. Diprediksi bahwa 2,5 miliar orang di seluruh belahan dunia beresiko terkena demam berdarah.
Di samping nyamuk, juga binatang lain ikut eksodus bila hutan digunduli atau dibakar. Kera atau gajah, contohnya, tiba-tiba masuk ke perkampungan. Hewan tersebut mengganggu sembari mengobrak-abrik kebun, sawah dan rumah penduduk. Gagal panen sudah pasti terpampang di depan mata. Semua gara-gara perubahan iklim yang menyebabkan 150 ribu orang mati tiap tahun.
Billy Parish, mantan mahasiswa dari New York yang pernah kuliah di Universitas Yale, menyuarakan skema mengurangi pemanasan global. Ia menyarankan agar membatasi menyetir kendaraan seraya menggunakan bohlam yang lebih efisien. Kini, ia berhasil membujuk lebih 120 perguruan tinggi untuk menandatangani Campus Climate Challege supaya universitas ikut mengurangi emisi gas rumah kaca.
Langkah Parish merupakan terobosan demi menyelamatkan bumi. Apalagi, ozon kian menipis lantaran bahan-bahan kimia buatan manusia. Ozon sebagai lapisan gas yang menyerap sekaligus menahan sebagian besar sinar ultra-violet dari matahari, sekarang makin menganga bocor.
Komunitas Bisnis
Bumi cuma satu. Kehidupan yang kini dijalani sesungguhnya diiringi pula tanggung jawab tentang masa depan. Sebab, pewaris bumi bukan alien dari suatu planet di galaksi lain. Darah daging kita sendiri yang kelak hidup di planet biru ini.
Keturunan kita yang menjadi pewaris sepatutnya mendorong semangat dalam dada untuk menjaga bumi ini. Segala yang mencemari habitat mutlak disingkirkan. Fenomena di sekitar yang rumit diatur yakni ekosistem rusak oleh kehadiran bermacam pabrik. Selama ini, industri yang sangat rakus melahap batu bara serta minyak bumi, telah merusak lingkungan. Karbon dioksida yang dilepaskan membuat suhu bumi kian mencemaskan.
Albert Arnold Gore, mantan wapres Amerika Serikat di zaman Presiden Bill Clinton, memaparkan jika hubungan peradaban manusia dengan bumi, terus berubah. Al Gore yang sempat diledek Bush senior sebagai Ozone Man, menjabarkan perubahan itu akibat faktor ledakan populasi, revolusi teknologi maupun rasa tidak peduli terhadap masa depan.
Tidak dapat dipungkiri kalau manusia yang sebenarnya merusak bumi. Arkian, bila terjadi bencana, bukan Tuhan yang harus dicaci-maki. Tidak masuk akal jika Tuhan disuruh bertanggung jawab atas seluruh huru-hara. Sedangkan pelakunya tiada lain manusia. Di masa sekarang, sifat tamak manusia lebih menonjol daripada sikap ramah. Para pemilik modal semaunya menggali tanah demi mencari sumber energi di perut bumi. Mereka menghidupkan aneka industri guna meraup duit yang menjadi tujuan hidupnya.
Ketika tragedi tragis meruyak, mereka justru lari dari tanggung jawab. Horor lingkungan yang ditebar dipandangnya sebagai perkara sepele. Komplotan insan tanpa nurani yang melukai bumi dan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan tersebut, sesungguhnya adalah teroris. Sejak awal, orang semacam itu wajib ditangkap. Penguasa ternyata tidak berdaya dalam membendung sepak-terjang komunitas bisnis.
Pemerintah yang tidak bernyali, tentu teramat merisaukan. Apalagi, KTT ASEAN di Cebu, Filipina, pada pertengahan Januari 2007, sepakat menandatangani perjanjian perihal ketahanan energi serta pengurangan emisi gas rumah kaca.
Tiada lagi alasan untuk tidak segera menyelamatkan planet bumi yang gawat darurat. Mengurangi bepergian dengan kendaraan atau menanam sebatang pohon merupakan sebuah konstruksi guna merawat bumi.
Kesadaran buat mencintai planet ini merupakan tanggung jawab bersama. Bumi tidak selayaknya digadaikan demi kepuasan segelintir investor. Karena, bumi yang satu ini pada akhirnya akan diwariskan kepada anak cucu kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar