Sabtu, 04 Juni 2011

Bumi Makin Panas


Bumi Makin Panas
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Sosial

     TAJUK berjudul “Lapisan Ozon Semakin Tipis” (Tribun, 28 April 2007), sungguh menggugah.  Kendati singkat, namun, untaian kalimatnya teramat padat.  Alhasil, siapa saja yang punya kepedulian terhadap global warming (pemanasan global), pasti tersentak.
     Pada intinya, bukan hanya Tribun yang penuh perhatian terhadap iklim global.  Sebab, pada 6-8 Juni 2007, jemaah G-8 ikut mendiskusikan pemanasan global.  Kanselir Jerman Angela Merkel sebagai kepala suku G-8, mengagendakan perubahan cuaca sebagai prioritas.  Ia mengimbau untuk membatasi kenaikan suhu global maksimal 3,6 derajat Fahrenheit.
     Selama beberapa bulan ini, memang terasa adanya anomali iklim.  Syahdan, banyak agenda keseharian tiba-tiba kacau.  Sebab, perubahan suhu datang tak terduga.  Durasi musim kemarau dan musim hujan repot ditebak.
     Sistem cuaca yang mati rasa, membuat masa kekeringan meningkat.  Persediaan air berkurang.  Karena, pola curah hujan terganggu.  Sedangkan keganasan angin topan kian edan mengusik penduduk.
     Alam seolah membalas perlakuan semena-mena manusia terhadap bumi.  Ulah beberapa individu sangat seronok serta tidak senonoh.  Mereka menebang pohon di rimba raya, menghidupkan pabrik-pabrik yang mengeluarkan gas beracun atau mengebor tanah demi menimba minyak.  Beberapa orang leluasa mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memperhitungkan secara detail upaya pelestarian.
     Perbuatan mereka akhirnya menghancurkan keseimbangan ekosistem.   Dimulai dengan meningkatnya karbon dioksida (CO2) di atmosfir gara-gara pembakaran bahan bakar fosil semacam gas alam, batu bara dan minyak bumi.  Akibatnya, lapisan ozon bocor.  Hatta, sinar ultra violet-B leluasa menggerayangi bumi.  Ozon yang menganga membuat sinar matahari langsung diserap laut.  Permukaan samudera yang hangat akhirnya menjadi embrio badai.  Sebab, laut memang mengendalikan iklim.  Alkisah, puting beliung lalu meliuk-liuk menghancurkan apa saja yang dilewati. 
     Hujan lebat lantas menghadirkan banjir.  Tanggul pun jebol lantaran luapan air.  Bah belum surut, sekonyong-konyong gempa membelah tanah sebagaimana kilat yang terpercik di  cakrawala. 
     Tragedi yang susul-menyusul merupakan balasan alam atas perilaku manusia yang tidak punya sense of environment.  Akibatnya, manusia sendiri yang celaka lantaran seluruh sektor menampakkan kerugian. 

Film Kampanye
     Di masa sekarang, perkara serius yang menerjang dunia yakni adanya kenaikan permukaan air laut.  Di beberapa wilayah terjadi abrasi pantai.  Pada pertengahan Mei 2007, beberapa pesisir di Sumatera serta Jawa dilanda gelombang pasang.  Ketinggian gelombang di Laut Jawa, Laut Arafuru bagian selatan dan Nusa Tenggara, diprediksi mencapai dua sampai tiga meter.
     Saat ini, di sebagian daerah, cuaca terasa menyengat.  Suhu permukaan bumi naik akibat peningkatan emisi karbon dioksida seperti sulfur serta nitrogen.  Polusi yang dikenal sebagai gas rumah kaca tersebut, kemudian menyelimuti bumi.  Arkian, memerangkap energi panas.
     Peristiwa yang bakal mengancam manusia jelas tidak sedikit.  Infrastruktur akan rusak dan industri perikanan macet.  Kebun serta sawah susah dipanen.  Sementara penambangan lepas pantai bakal porak-poranda.  Selain itu, anatomi manusia dikhawatirkan terjangkit kasus malnutrisi, katarak, kanker kulit, infeksi, penuaan dini, turunnya kekebalan tubuh, gangguan pernafasan dan jantung.  Bahkan, angka kematian diperkirakan naik drastis.
     Selama beberapa hari ke depan sampai Oktober 2007, anomali cuaca La Nina berlangsung di Indonesia.  Gejalanya berupa kemarau basah atau suhu yang tidak panas.  La Nina datang tanpa diundang ke Nusantara lantaran iklim permukaan Samudera Pasifik turun satu derajat Celcius dari rata-rata 22,5 derajat Celcius.
     Pada 2007, Intergovernmental Panel on Climate Change melaporkan efek pemanasan global terhadap keanekaragaman hayati.  Badan PBB tersebut menandaskan jika negara miskin yang justru paling banyak menanggung derita.  Karena, negara-negara fakir di kawasan tropis tidak memiliki kehandalan dalam memproteksi diri.  Sedangkan 30 persen spesies dunia menapak jalan raya menuju kepunahan.  Alhasil, mengacaukan keseimbangan daur hidup.
     Rintihan bumi sebenarnya telah lama disuarakan oleh Al Gore, mantan wakil presiden Amerika Serikat.  Sebuah film dikemasnya dengan tajuk An Inconvenient Truth.  Film dokumentasi itu menggelorakan penolakan terhadap pemanasan global.  Al Gore membeberkan data sekaligus fakta agar manusia bertindak guna menyelamatkan bumi.
     Krisis lingkungan membuat pula Leonardo DiCaprio ikut berkampanye mengenai bumi yang terancam pemanasan global.  Di akhir tahun ini, DiCaprio akan merilis film dokumenter berjudul The 11th Hour.  Film tersebut hendak menggugah bahwa politikus serta industrialis selalu mengabaikan semua peringatan tentang kerusakan alam yang berdasar bukti-bukti ilmiah.

Menghargai Alam
     Alam yang makin panas menunjukkan bila bumi sedang sakit demam.  Kini, dibutuhkan uluran tangan untuk saling menjaga kelestarian alam.  Apalagi, manusia merupakan bagian integral dari kosmos.  Bumi bukan sekedar wahana dalam menjelajahi waktu dan semesta.  Apalagi, manusia bukan penguasa jagat, tetapi, penumpang sementara yang bertugas sebagai pelestari.
     Sebelum manusia mengenal Revolusi Industri yang mengubah dunia, maka, para filsuf Yunani kuno sudah menghormati alam.  Mereka berpendapat kalau semesta raya merupakan sumber kebajikan.
     Pada 27 April 2007, beberapa ahli cuaca PBB di Bangkok mencetuskan gagasan untuk menanggulangi pemanasan global.  Mereka berpendapat jika biaya buat menstabilkan polusi karbon sampai 75 persen, memerlukan dana 0,2 persen gross domestic product (GDP) dunia pada 2030.
     Viveka Bohn, pakar kimia asal Swedia menerangkan bila pemanasan global meruyak akibat pencemaran bahan-bahan kimia di sektor industri serta pertanian.  Penerima Champion of the Earth 2007 itu melihat kalau sekarang banyak orang mengkonsumsi air yang tercemar limbah kimia.  Air sebagai sumber kehidupan seolah menjadi racun bagi masyarakat.
     Kini, bumi yang kian panas mutlak mendapat perhatian serius.  Gerakan penghijauan mesti segera dilakukan demi penyelamatan lingkungan.  Usaha-usaha tersebut mendesak lewat pendekatan politik, ekonomi dan teknologi.  Jika pemanasan global tidak segera ditangani, niscaya daratan bakal lenyap. 
     Dalam mengantisipasi prahara pemanasan global, maka, seyogyanya kawasan hutan dilindungi.  Sebab, menjadi biomassa yang mengikat CO2.  Ekosistem nan hijau merupakan zona penyanggah bagi kesuburan tanah, air serta marga satwa.  Hingga, para cukong yang seenaknya menebang kayu, harus digantung.
     Tekad membaja dalam melindungi bumi merupakan kewajiban.  Kegiatan penghijauan yang diiringi pengurangan pemakaian alat yang menyemburkan unsur klorin, merupakan langkah positif.  Tanpa kesadaran untuk secepatnya merawat bumi, berarti kiamat skala menengah segera tiba.  Huru-hara itu datang bagai angkara murka guna memusnahkan peradaban tempat kehidupan bersemi indah.

(Tribun Timur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People