Senin, 20 Juni 2011

Simposium Mahasiswa Yogya

Simposium Mahasiswa Yogya:
Tak Perlu Dipusingkan


     Ada yang menyentil perasaan saya sesudah membaca "Simposium Mahasiswa Yogya: Tanpa Dilandasi Sikap Ilmiah" (TEMPO, 2 November 1991, Komentar).
     Sebagai orang yang "sok benar", saya turut mengecam rekan dari institut kesenian yang membacakan puisi vulgar itu. Tapi, nurani saya tak mampu berbohong. Soalnya, saya merasa bangga karena mahasiswa itu telah mengusik emosi mahasiswa di Indonesia.  
     Membicarakan mahasiswa, itu berarti menyingkap visi rasional dan sikap ilmiah. Bila mahasiswa terpengaruh oleh emosi, maka ia terjebak dalam logika bengkok. Sebab, citra mahasiswa yang baik adalah menjauhkan gerakan-gerakan perusakan.
     Saya pernah mendengar bahwa ketika Amerika Serikat dan Vietnam sedang berperang, berbagai aksi terjadi di depan Gedung Putih. Mahasiswa dari beberapa negara juga ikut berdemonstrasi secara tertib. Namun, di sebuah universitas terkemuka, seorang mahasiswa melemparkan bahan peledak ke satu sudut laboratorium. Berkat kesigapan pihak keamanan, mahasiswa tersebut diringkus.   
     Sesudah diusut, laboratorium itu ternyata tempat membuat "pemusnah manusia", yang akan dikirim ke rimba Vietnam. Saya tak tahu apakah mahasiswa itu dianggap rasional atau termasuk mahasiswa terkutuk, yang terbius oleh emosinya. Nah, jika dia tak menggugat secara emosional, bangsa Vietnam mungkin bakal menjadi masyarakat primitif. Sebab, peradabannya akan punah oleh keangkuhan irama militer Paman Sam.
     Pembacaan puisi dan pengeboman laboratorium jelas berbeda akar kondisinya. Tapi, ada sehelai benang yang menghubungkan dua peristiwa tersebut, yaitu ketidakpuasan. Jadi, pembacaan puisi dalam Simposium Nasional Mahasiswa Indonesia 1991 di Yogyakarta tak perlu dipusingkan secara berlebihan. Apalagi, jiwa besar dan wawasan luas Menteri Moerdiono telah memberikan maaf.
     Tudingan dan makian terhadap si pembaca puisi mestinya dihentikan. Sebab, siapa tahu, dia membenci bulan karena dalam teropongnya tampak penuh gundukan. Atau, bisa jadi teropongnya yang berwujud puisi itu adalah hakim yang mendakwa keadaan. Maka, betapa janggalnya bila suara sumbang seperti tidak manusiawai, tidak rasional, dan tidak ilmiah itu tetap didengungkan.



ABDUL HARIS BOOEGIES
Jalan Veteran Selatan Nomor 292 A Ujung Pandang 90133


(Tempo, 30 November 1991)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People