Manohara Odelia Pinot
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Sosial
Nama Manohara Odelia Pinot sontak menjadi fokus tatapan perhatian pada 31 Mei 2009. “Putri Kelantan” itu lolos dari sangkar emas. Seperti adegan sinetron, Manohara bisa bebas berkat aneka pertolongan.
Kebebasan Mahohara tak lepas dari kecekatan polisi Singapura, Kedutaan Amerika di Singapura berikut seorang agen FBI. Manohara lantas berkomentar jika Kedutaan Indonesia di Malaysia tidak membantunya dalam menuntaskan kasusnya dengan pihak Kesultanan Kelantan.
Babad Manohara mencuat sesudah Daisy Fajarina berkeluh-kesah ke media massa. Ia mengaku kalau anaknya diculik dan disiksa. Psikopat yang menganiaya Manohara tiada lain Pangeran Tengku Temenggong Muhammad Fakhry, suaminya sendiri.
Fakhry tak sekedar mencederai Manohara secara fisik serta mental. Ia melukainya pula secara seksual. Umar Khayyam bersajak: Janji dan sumpah kami ubahkan/ Adab serta biadab kami samakan/ Jangan salahkan pemabuk karena gilanya.
Fakhry mencintai istrinya, tetapi, ia tidak segan menjejalkan noda mesum, anytime, anyway. Semua dilakukan seolah ia terbius Vengaboys yang melantunkan “Boom Boom Boom Boom”. I want you in my room. Let’s spend the night together. From now until forever. Boom…Boom…Boom…Boom. I wanna double boom.
Media cetak dan elektronik pun mengisi halaman serta tayangannya dengan warta seputar Manohara. Khalayak tersentak. Iba dan geram mengiringi pemberitaan Manohara.
Publik iba lantaran Manohara berparas cantik, namun, bernasib sumpek. Masyarakat geram gara-gara Malaysia dianggap suka mengusik Nusantara. Di negeri jiran, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) acap menjadi sasaran empuk superioritas Malaysia. Mereka bonyok kena jotos.
Kedutaan Malaysia di Jakarta akhirnya didemo sekelompok simpatisan Manohara. Walt Whitman berpuisi dengan topik “Persembahan”. Seribu lelaki serta perempuan perkasa bangkit/ Berdiri melingkar menjalin tangan/ Menggairahkan anak-anak dan pemuda dengan acara ini.
Foto Fakhry dipertontonkan dengan cemooh. Muka si putra mahkota dibuat seram, juga keji. Mulutnya dicoret spidol hitam menyerupai gigi taring Drakula. Di tempat sama, poster sang putri dengan kalimat “Save Manohara” ikut dijunjung. Lirik-lirik pendek Li Po bertitel “Lagu Kebahagiaan Sejati” bak mampu mendeskripsikan paras ayu Manohara. Gaunnya ialah sepotong awan/ Wajahnya setangkai kembang.
Saudara Serumpun
“Inilah kisahku semalam di Malaysia. Diri rasa sunyi di Malaysia. Aduhai nasib. Apalah daya. Aku hanya seorang pengembara yang hina. Kekasih hatiku pun telah pula hilang. Hilang entah berkesan. Aduhai sayang”.
Begitulah syair “Semalam di Malaysia” karya Syaiful Bahcri. Senandung ini tentu tak cuma mengiris kalbu Manohara. Pasalnya, banyak TKI bernasib sial di Malaysia. Mereka berniat mendulang ringgit, tetapi, yang dituai sederet prahara.
Fakhry dengan kuasa tanpa batas di kerajaannya hendak menaklukkan Manohara. Ia keliru. Sebab, model blasteran Perancis tersebut meronta. Tubuhnya yang ranum boleh remuk, namun, tidak hatinya. Terbayang percakapan Diana (Demi Moore) dalam film Indecent Proposal. “It’s just my body. It’s not my mind. It’s not my heart”.
Kata-kata Diana menyiratkan ambisi untuk terus hidup. Selalu ada kesempatan buat berbenah. Bumi berputar sementara manusia bergerak. Rupa-rupa problem hinggap, tetapi, solusi tak pernah aus. Harapan merupakan bahtera tatkala mengarungi waktu yang silih berganti. Semangat tak boleh padam. Apalagi, pepatah Perancis berbunyi: Demain est une autre jour (esok adalah hari yang lain)
Manohara diamini manis, namun, foto-fotonya yang dirilis Kerajaan Kelantan bagai menyimpan kelam. “Seandainya aku punya sayap. Terbang, terbanglah aku. Kucari dunia yang lain. Untuk apa ku di sini. Seandainya dapat kau rasakan. Kejam, kejamnya dunia”. Dendang ciptaan Rinto Harahap bertajuk Seandainya Aku Punya Sayap itu jelas melukiskan kesenduan Manohara di sisi Fakhry.
Catherine Marshall berujar dalam “Pagi”. Bintang-gemintang lenyap berlalu/ Rembulan perak menyingkir dari mentari/ Seekor burung/ Riang memanggilku/ “Bangunlah, hari telah bangkit!”
Manohara tentu laksana burung terkungkung. Sedangkan Fakhry tiada lain burung liar nan leluasa. Rabindranath Tagore mencetuskan: Burung bebas mengimbau/ Dikau cahaya mataku/ Hibur daku tembang rimba-raya/ Burung di sangkar menyahut/ Duduk tuan di sisiku/ Biar kutuntun bahasa budiman.
Malaysia merupakan kawan bergandeng tangan. Ia bukan musuh, melainkan saudara serumpun. “Kami Ingin Damai, Bukan Perang” begitu setanggi Daud Haidar dari Bangladesh. Mari bersahabat/ Ayo menyeberangi onggokan dendam kesumat/ Jangan berlaga/ Berdamailah antara kedua bangsa ini/ Hingga selamanya kami hidup bersahabat dalam persaudaraan.
Sarah Connor
Haru-biru seputar Manohara erat-terkait dengan Daisy Fajarina. Figur tersebut tidak kenal lelah mengampanyekan anaknya berada dalam mala tiada jeda. Daisy yang berpenampilan supel serta cerdas tak sanggup menyembunyikan kemasygulan seorang bunda. Buah hatinya menderita di negara tetangga. Sementara di negeri sendiri, ia dituding menjual anak. Berat nian mahaduka yang menghimpit Daisy.
Di keremangan asa, hati makin tercabik mendengar lagu “Pilu” ciptaan Husein Aidit. “Pilu rasa hatiku. Karena kau pergi jauh. Rindu aku setiap hari. Ke mana aku mencari. Oh…duhai kesuma”.
Simpati kemudian mengalir ke hadapan Daisy. Ia sosok tegar yang seyogyanya memperoleh dukungan maksimal dari saudara sebangsanya. Siapa saja yang mengikuti sepak-terjang Daisy, pasti tersentuh. Ia pantang menyerah. Pribadinya mirip Sarah Connor, ibunda John Connor dalam hikayat Terminator.
Daisy maupun Sarah sama-sama berjuang melindungi anaknya. Daisy menggebrak buat membebaskan Manohara dari Fakhry. Sedangkan Sarah berjibaku merintis jalan bagi John sebagai pemimpin Worldwide Resistance sekaligus harapan terakhir umat manusia.
Tidak bisa dipungkiri bila kedua tokoh itu berperangai garang demi keselamatan anaknya. Mereka mirip induk macan yang menjaga anak-anaknya dari beragam sergapan.
Pada akhirnya, Daisy mempertontonkan kepada kita tentang naluri keibuan. Ia menerjang ke mana-mana demi keselamatan Manohara. Hikmah yang pantas dipetik dari kegigihan Daisy yakni “jangan pernah menyerah sebelum menggapai harapan”.
Penyair Kuba Nicolas Guillen bersabda dalam “Dongeng Bagi Bocah Antillas”. Pulau demi pulau terlampaui/ Tiada putus-terputus/ Layar berlayar biduk kecil/ Tanpa henti.
Beruntunglah Manohara memiliki bunda yang sekokoh karang. Beruntung juga kaum wanita dianugerahi figur bernama Daisy Fajarina.
Bernyanyi Sulis dengan judul Ummi (Ibu) dalam “Cinta Rasul II”. Ismuki manquusyun fi qalbi. Hubbuki yahdin fi darbi. (Namamu wahai ibu, terpahat di hatiku. Cintaku padamu membawa saya ke jalan benar).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar