Sumanto di Tengah Pahitnya Ekonomi
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Ekonomi
NAMA Sumanto kembali mencuat di media massa sesudah menghirup udara bebas pada 24 Oktober 2006 yang bertepatan Idul Fitri 1 Syawal 1427 Hijriah. Pemuda yang menjalani sekitar empat tahun hukuman di LP Purwokerto tersebut, tertera sebagai kanibal Indonesia. Ia berasal dari Desa Plumutan, Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.
Suman (sapaan mesra Sumanto), tak jijik mencecah mayat Mpok Rinah. Kemudian mencecap daging jenazah nenek berusia 80 tahun itu. Rasa dan aromanya, pasti cuma Suman yang bisa mengekspresikan dengan aksara bermakna.
Di planet biru ini, kanibalisme sukar ditemukan. Kalau manusia pelahap orang jarang terdengar, maka, yang doyan mencicipi serangga, jamak terjadi. Ada manusia makan ikan, kepiting, kodok, cecak, kecoa atau cacing yang belum diberi bumbu serta tanpa direbus. Ada juga orang yang makan beling maupun serbuk besi.
Aspek pokok yang memaksa manusia memakan orang atau serangga antara lain problem ekonomi. Suman adalah efek lain dari kemiskinan. Sejak kecil, perjaka bertampang lugu tersebut, hidup dalam kekurangan. Di masa kanak-kanak, gejala aneh muncul dalam dirinya berupa suka menelan jangkrik yang masih hidup.
Kedua orangtua bersama empat adik Suman, menggantungkan nasib sebagai buruh tani. Mereka tinggal di rumah berdinding gedek berukuran 4x5 meter yang terletak di tengah kebun. Alhasil, untuk mengganjal perutnya yang kosong, maka, Suman mencari jalan keluar.
Ia lantas terlibat permainan mistik. Ki Sirad, guru ilmu hitamnya lalu menghasut supaya Suman melahap daging manusia. Hingga, Suman yang lahir pada 3 Maret 1972, berpeluang memiliki daya supernatural yang manjur.
Gelombang energi mistis yang dikehendaki Suman yaitu agar kebal oleh ilmu hitam. Hatta, ia tidak gagap menghadapi nestapa tak berujung dalam hidupnya. Apalagi, masyarakat Indonesia memang sejak dulu mengenal dunia klenik dalam mencari harmoni kehidupan. Beberapa orang yang menghamba pada kekuatan gaib, rajin bertandang ke dukun yang bisa menyelisik nasib lewat air di mangkuk. Sedangkan syarat menjadi kaya raya antara lain bermesum dengan perawan di malam Jumat kliwon tanggal 13. Ada pula ke kubur keramat mengais-ngais dasar pusara mencari serpihan-serpihan harta-karun. Sementara Suman lebih gila lagi. Sebab, mencuri mayat untuk dimakan. Ia kemudian mencabiknya seiris demi seiris laiknya orang menikmati ayam panggang. Amboi, sedapnya.
Karakter Ekonomi
Saat ini, Indonesia mengalami cobaan berat yang bertumpuk-tumpuk. Di satu sisi, peninggalan rezim Orde Baru masih perkasa. Di sudut lain, bergerak riak yang menginginkan reformasi.
Tahun 70-an, birokrasi terhampar teramat ketat. Kini, keadaan telah berubah. Kebijakan yang diterapkan 30 tahun lampau, jelas tidak relevan di tarikh 2000-an.
Bila kebijakan tahun 70-an dipaksakan, niscaya Indonesia mengalami koma. Karena, investor mancanegara tidak akan menengok negeri ini sebagai tujuan penanaman modal.
Indonesia bakal terkucil sebagai bangsa kerdil. Apalagi, tak punya strategi komprehensif dalam persaingan global. China, India dan Indonesia pada tahun 80-an dinilai sejajar. Sekarang, Indonesia tak kuasa mengejar pertumbuhan ekonomi China serta India.
Amerika Serikat saja pusing tujuh keliling menghadapi sepak terjang ekonomi China yang surplus mendulang rekor. Kini, defisit neraca berjalan AS mencapai 6,5 persen dari output. Defisit perdagangan Paman Sam menjadi 717 miliar dolar AS.
Di zaman ini, Tiongkok yang sukses menangguk laba gigantik, terus mereformasi kebijakan nilai tukar mata uangnya. Alhasil, tercipta perkembangan bagi mitra dagang dan ekonomi global. Pada Agustus 2006, surplus China mencapai 18,8 miliar dolar AS atau 7,2 persen dari produksi domestik bruto.
Survei berdasarkan indikator utama ekonomi (composite leading indicator), juga mencuatkan India sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan yang kuat. Hingga, di negeri Taj Mahal itu, gampang ditemukan eksekutif muda bergaya Amerika. Mereka pun berbicara dengan dialek American English.
Indonesia terhempas dari kompetisi perekonomian dunia akibat tak memiliki karakter dalam mengoptimalkan potensi. Tanpa kebijakan yang mencerminkan karakter, berarti kedaulatan ekonomi akan terpelanting. Alhasil, tak punya energi dalam menghadapi persaingan global. Jepang memiliki struktur ekonomi kokoh berkat kebijakannya mirip Jerman. Perusahaan Jepang serta Jerman serupa dalam ketergantungan pada pendanaan dari sektor perbankan.
Indonesia makin keteteran lantaran serudukan IMF. Dana Moneter Internasional tersebut doyan mengintervensi dengan panduan yang tidak cocok dengan corak Nusantara. Akibatnya, Indonesia tak bisa mandiri sesudah 61 tahun merdeka dari penjajahan fisik Belanda.
Pada dasarnya, resep IMF yang ikut menjerumuskan perekonomian Indonesia ke liang sakaratul-maut. Arkian, negara terjerat dalam utang raksasa yang kronis. Indonesia akhirnya menjadi negara peminjam tua (mature debitur country). Sebab, modal yang keluar melebihi jumlah modal yang masuk. Apalagi, pinjaman IMF banyak dipakai untuk administrasi birokrasi.
Negara-negara yang tidak sudi berhubungan dengan IMF, justru mampu menangani krisis ekonominya. Malaysia dan Thailand, umpamanya, sejak awal tidak menempatkan pinjaman multilateral dan bilateral sebagai bagian krusial dalam anggaran negara. Kedua negara akhirnya selamat mengarungi krisis moneter yang melanda Asia Tenggara pada akhir abad ke-20.
Indonesia lantas berdarah-darah dalam krisis multidimensi. Bencana ekonomi serta kelaparan skala masif bergemuruh. Busung lapar gara-gara gizi buruk (kelaparan) yang menimpa anak-anak menjadi berita biasa. Sementara pengangguran yang bergentayangan sekedar pemandangan wajar.
Di Indonesia, kemelaratan adalah fenomena lumrah. Presiden SBY memaparkan bahwa orang miskin berjumlah 16 persen pada tahun 2005. Penegasan dalam pidato kenegaraan di hadapan DPR pada 16 Agustus 2006 itu, jelas masih mentah. Karena, banyak faktor belum diperhitungkan.
Manusia Abnormal
Kemiskinan selalu berujung pada kepahitan hidup. Tanpa harta dan nalar, maka, hanya bilur-bilur penyesalan yang terus bergelayut. Hari ini, tak berbeda dengan besok, sepekan, sebulan atau setahun.
Orang kadang-kadang menunggu waktu supaya nasib berubah. Masalahnya, sampai kapan penantian tersebut? Seberkas harapan acap berdentang buat menunggu datangnya rezeki. Persoalannya, dari siapa anugerah itu? Aspek tersebut terus berputar dari hari ke hari selama setahun lalu kembali lagi ke awal guna menghitung hari demi hari.
Tekad untuk berikhtiar selalu tersembul, tetapi, apa yang harus diusahakan. Mencari kerja berarti mesti ada ongkos. Melirik lowongan jelas butuh keahlian.
Fenomena pahit yang teramat menyesakkan dada itu, merupakan konstruksi lazim di Indonesia. Apalagi, musibah datang tanpa peringatan. Gempa, kabut asap, banjir bandang, lumpur panas, flu burung serta wabah malaria, seolah tak punya rasa iba terhadap jerit tangis penduduk yang terpuruk nista.
Indonesia yang berkalang sumber daya alam, sekarang tak ubahnya negeri sejuta petaka. Di persada sarat kesialan inilah, Sumanto hidup. Jika tempat berpijak ini terus diamuk marabahaya, niscaya Suman bakal memiliki banyak duplikat.
Kini, problem kemiskinan patut mendapat porsi dominan dalam pembangunan. Selama ini, timbul kesan kalau aneka masalah hendak dicari solusinya secara bersamaan. Tidak ada fokus persoalan yang dikedepankan. Hingga, tak pernah ada problem yang tuntas diselesaikan sampai menyentuh akar. Akibatnya, perkara terus berkembang seiring meruyaknya masalah lain yang lebih runyam.
Bila seluruh persoalan berhasrat diselesaikan dalam satu hitungan tempo, berarti membuat problem bergerak liar tanpa bisa diatasi. Akibatnya, negeri gemah ripah loh jinawi ini akan dihuni manusia-manusia abnormal. Walhasil, lahir koruptor atau muncul kanibal.
Ketika mereka bergentayangan, maka, bangsa ini kian kolaps. Padahal, koruptor dan kanibal lahir dari manajemen amburadul dalam mengelola negara. Saat Suman berjalan, maka, orang buru-buru menutup pintu serta jendela rumahnya. Padahal, Suman merupakan produk dari kemiskinan.
Pada hakikatnya, banyak pemimpin yang lebih kanibal daripada Suman. Sebab, mereka mengidap virus homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Di samping itu, mereka asyik berteori membangun jargon riuh yang seronok guna memelihara optimisme. Hingga, rakyat makin menderita oleh kebijakan ceroboh di tengah perekonomian yang mati rasa. Selain itu, rakyat terus pula diguncang oleh alam yang murka gara-gara ketiadaan rasa cinta terhadap ekosistem.
Banjir dan kekeringan kemudian datang silih berganti menelan korban di beberapa wilayah. Komposisi tersebut mengindikasikan rentannya lingkungan lantaran kerusakan hutan. Akhirul-kalam, badan sudah bonyok bernanah-nanah, tak ada pula tempat bernaung walau gubuk reyot yang compang-camping.
Kapllan Resuli, pujangga Eropa Timur bertutur: “Wahai tuan-tuan nan baik hati, kepadamu aku bertanya. Gigiku ini, siapa yang membuatnya tanggal? Rambutku ini, siapa yan g membuatnya rontok? Mataku ini, siapa yang membuatnya buta?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar