Ekonomi Syariah di Tengah Virus Rasisme World Cup
(Menyongsong Piala Dunia Hari Ini 9 Juni 2006)
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Ekonomi
DEWASA ini, ekonomi syariah mendapat tempat khusus dalam ekonomi global. Embrio ekonomi berbasis Islam itu bermula ketika Nabi Muhammad meminjam seekor unta berumur tiga tahun.
Saat mengembalikannya, maka, Rasulullah menggantinya dengan unta berusia enam tahun. Unta yang berumur enam tahun jelas lebih baik serta cukup mahal daripada usia tiga tahun.
Ketika Nabi Muhammad meminjam unta, ternyata si peminjam tak membuat syarat. Keduanya sama-sama tidak terikat transaksi bahwa barang yang dikembalikan mesti lebih bagus. Andai keduanya sepakat mengikat janji sebelum terjadi peminjaman, niscaya kelebihan yang diberikan tergolong riba.
Hadis tentang perilaku peminjaman unta, sekarang menjadi karakteristik ekonomi syariah. Dalam ekonomi syariah, tidak ada tempat bagi bunga uang yang bersifat riba. Sebab, riba mematahkan kemakmuran manusia. Riba mengisap sekaligus membunuh potensi perekonomian seseorang. Di jagat ini, riba menjadi racun ganas yang membuat orang stres, bangkrut dan melarat tanpa materi.
Riba yang menjadi sokoguru bank konvensional, kini hendak ditepis dengan ekonomi syariah. Karena, ekonomi syariah mengedepankan masalah kesejahteraan. Apalagi, paradigma ekonomi syariah terfokus pada pencarian berlabel halal serta moralitas. Sebab, esensi ekonomi syariah yakni sektor riil.
Dalam ekonomi syariah, pencarian rezeki tidak boleh diarahkan ke bisnis perjudian atau pornografi. Penekanan yang mencolok dalam ekonomi syariah ialah sistem bagi hasil (mudharabah) sekaligus berbagi resiko. Laba dan kerugian ditanggung oleh pemilik modal (sahibul maal) bersama pengelola dana (mudharib).
Tanggung jawab kedua belah pihak tersebut akhirnya memacu munculnya good corporate governance. Selain itu, dalam ekonomi syariah yang berlandaskan prinsip Islam, tak ada pengekangan kecuali maghrib. Akronim maghrib meliputi maysir (judi atau spekulasi), gharar (ketidakpastian atau tipu muslihat) serta riba (bunga duit).
Ekstravaganza
Riba merupakan momok dalam perekonomian mondial. Sementara dalam sepak bola termaktub jika rasisme sebagai bakteri sepak bola.
Pada Piala Dunia (Welt Meister) di Jerman kali ini, isu rasisme kencang berdesir. Kanselir Jerman Angela Dorothea Merkel lalu menegaskan akan menindak tegas pelaku kekerasan rasial. Selama World Cup, kejaksaan bakal bekerja 24 jam sehari tanpa jeda. Bahkan, panitia menempatkan seorang jaksa demi mengawasi tiap pertandingan.
Polisi pun mengingatkan agar jangan berperilaku provokatif. Karena, mereka bisa ditahan tanpa dakwaan atau dibui minus jalur pengadilan.
Kesuksesan Piala Dunia sebagai eskapisme global merupakan niat luhur Jerman. Alhasil, negara tersebut rela mendatangkan 500 polisi asing guna mengantisipasi tindakan brutal suporter. 300 polisi didatangkan dari Uni Eropa. 200 lainnya dari 32 negara peserta “Germany 2006”. Di samping polisi, juga Jerman mengerahkan 2000 tentara. Sedangkan 5000 tentara siap diterjunkan kalau diperlukan.
Keamanan di Jerman akan dipayungi pula pesawat peringatan dini Airborno Warning and Control System (AWACS). Pesawat itu bakal berpatroli di atas udara Jerman selama Piala Dunia.
Pengamanan yang berlapis-lapis tersebut, merupakan upaya Jerman supaya World Cup menjadi ajang hiburan berskala super ekstravaganza. Mereka berusaha sekuat tenaga agar kuman sepak bola semacam rasisme tidak mengganggu peserta dan penonton. FIFA bersama panitia Piala Dunia 2006, malahan bekerja sama dengan Football Against Racism in Europe (FARE) untuk menangkal perilaku rasialis.
Rasisme merupakan bagian tak terpisahkan dari sepak bola. Bintang-bintang yang pernah merasakan penghinaan berbau rasis antara lain Samuel Eto’o, Roberto Carlos, Cafu, Aldair, Jonathan Zebina, Emile Heskey serta Thierry Henry. Mereka diejek dengan suara kera atau gaya monyet.
Di Italia, trend rasis dan fasis mulai menggerayangi Serie A pada awal 1990. Di zaman sekarang, gerakan sayap kanan serta ultra nasionalis Italia (Ultras) makin menampakkan wajah radikal.
Pada awal Januari 1995, Ruud Gullit, gelandang elegan Belanda berdarah Suriname, menuduh bila sepak bola Italia dan Eropa telah menjurus ke rasialisme.
Perusuh yang mengusung isu rasial sesungguhnya juga manusia. Perbedaannya dengan komunitas beradab terletak pada keangkuhan, rasa kebencian terhadap orang asing (xenophobia), seks bebas, agresif serta suka nongkrong di jalan.
Di Jerman, kaum rasis diwakili oleh neo-Nazi. Kini, kadar kerusakan yang ditimbulkan gerombolan itu kian mencorong. Sebab, mereka tidak sekedar menghina, tetapi, sudah leluasa menganiaya. Orang-orang kulit hitam akan digebuk sampai babak belur, pingsan atau mati.
Juru bicara pemerintah Jerman yang juga anggota organisasi antirasisme Gesicht Zeigen, Uwe Karsten Heye mengingatkan supaya kulit berwarna tidak ke Brandenburg. Karena, di wilayah sekitar kota Berlin itu, bercokol anggota neo-Nazi alias skin-head.
Megalomania
Ekonomi dan sepak bola merupakan hasil kreativitas manusia. Keduanya terbuka bagi aneka teori baru. Walau terus-menerus direnovasi, namun, ekonomi serta sepak bola tetap menyimpan wabah. Ekonomi rusak oleh riba. Sementara sepak bola menjerit gara-gara sifat rasis.
Pada intinya, riba dan rasialis lahir dari tabiat megalomania. Perilaku merasa hebat di antara orang lain membuat riba serta rasis muncul bergemuruh. Mereka melihat orang lain sebagai obyek pelampiasan hasrat destruktif.
Yahudi sebagai peletak dasar bank, kemudian menyengsarakan orang lewat riba. Sedangkan Jerman era Perang Dunia II membuat ritus keunggulan ras. Di masa tersebut, Adolf Hitler memandang jika bangsa di luar Jerman cuma berada di nomor urut terbawah. “Deutschland Uber Alles” (Jerman di atas segalanya), pekik sang diktator. Sementara orang Yahudi yang licik, membanggakan diri sebagai bangsa pilihan Tuhan.
Jargon bombastis “Yahudi bangsa pilihan Tuhan”, akhirnya membuat Hitler murka. Mereka lantas disiksa, bukan dibakar (holocoust) seperti tuduhan Yahudi. “Holocoust selama Perang Dunia II hanya isapan jempol”, tutur Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad yang diamini penuh takzim oleh neo-Nazi.
Riba dan rasis merupakan musuh utama dunia modern. Di masa ini, praktek riba terus mewarnai nilai investasi dunia yang mencapai angka 650 miliar dollar AS. Rasisme pun terus meruyak-marak menciutkan nyali. Teror gerombolan rasis tak pernah istirahat dalam menghantui kulit berwarna. Padahal, tidak ada hukum positif yang membolehkan manusia melukai nyawa atau merusak hak milik orang lain.
Semua insan dunia sederajat serta mutlak diperlakukan sewajarnya. Apalagi, kemuliaan seseorang ditentukan oleh pribadinya yang tidak melakukan praktek penghisapan kapital dan diskriminasi ras. Aspek itu yang membuat panitia “Germany 2006” berambisi mengikis sifat anarki penduduk planet bumi. Hingga, Piala Dunia Jerman mengumandangkan semboyan “Die Welt zu Gast bei Freunden” (Waktunya Membangun Persahabatan).
Riba serta rasis merupakan musuh bersama bagi manusia berhati cemerlang sebagaimana kilau tropi Piala Dunia yang tengah diperebutkan. Kini, saatnya merancang peradaban berbasis slogan elok pesta sepak bola terakbar sejagat di Jerman: “A Time to Make Friends”.
(FAjar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar