Sabtu, 04 Juni 2011

Tasawuf Ajaran Non-Islam

Tasawuf Ajaran Non-Islam


Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Sosial

     Sesudah menyimak opini Ishak bertajuk “Betapa Indahnya Dunia Tasawuf” (Tribun Timur, 1 Mei 2007), maka, meruyak asumsi kalau artikel tersebut berpedoman pada hadis palsu.  Kalimatnya bertutur: “Di wilayah itu, manusia mensucikan hatinya demi pendekatan dan pengenalan terhadap Allah SWT”.
     “Bagaimana mungkin seseorang menyembah tanpa mengenal dan memahami Tuhan yang mereka sembah?”, jelasnya.
     Di ranah tasawuf, jamak terdengar “man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu” (siapa mengetahui jatidirinya, niscaya ia mengenal Tuhannya).
     Diktum tersebut sering digembar-gemborkan sebagai sunnah Rasulullah.  Padahal, frase itu hasil manipulasi gerombolan sufi.  Pada abad ke-9 Masehi, Islam berbaur dengan filsafat Yunani.  Salikin (komplotan asketisisme) lalu mendistorsi titah Socrates yang tercantum di gnoti theauton delphi. 
     Di atas bentangan tembok terpahat kalimat “kenali dirimu”.  Dari sana akhirnya bergema “man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu”.  Alasan mereka yakni ada dulcis hospes animae (titik temu antara manusia dengan Tuhan).
     Ahmad bin Abdul Azis al-Hushain bersama Dr Abdullah Mustafa Numsuk menyodorkan bukti bila sufisme dipengaruhi filsafat emanasi Yunani, kepercayaan Majusi, Yahudi, Hindu, Budha serta Nasrani.
     Alfred von Kramer berargumentasi jika anasir Kristen maupun Hindu-Budha (nilai-nilai Vedanta), terdapat dalam tarikat Islam.  Darwis al-Biruni berteori kalau ada persamaan antara ritual tasawuf dengan Hindu.  Sementara Reynold A Nicholson yakin bila Nasrani punya saham dalam kebatinan Islam.  Selain itu, sinergi alam pikiran Yunani, konsep Mesir kuno dan ibadat Hinduisme yang melahirkan Neo-Platonisme, juga dinilai sebagai unsur awal sufisme.
     Ragam sumber tersebut lantas melahirkan ritual cacat.  Akibatnya, tasawuf dituding merusak ajaran orisinal Islam.

Mujahadah
     Ishak menjabarkan dalam tulisannya jika Nabi Muhammad berkhalwat ke gua Hira kalau menghadapi persoalan besar.  Referensi dari planet mana gerangan yang menukilkan Rasulullah ke Jabal Nur bila ditimpa problem gigantik?
     Sebelum ditetapkan sebagai rahmatan lil alamin pada 10 Agustus 610, Nabi Muhammad memang ke gua Hira.  Setelah dilantik, ia menerima wahyu di beberapa mandala tanpa perlu lagi mengisolasi diri ke gua Hira.  Rasulullah, misalnya, menerima Kalam Ilahi di Mina, Thaif, Jaffah, gua Tsur, kediaman Siti Aisyah, dalam Ka’bah atau pada night journey episode Isra’ Mi’raj.
     Selanjutnya Ishak menerangkan jika mistik Islam itu berada pada posisi Ihsan.  Sufisme memang memberikan kedudukan Ihsan kepada mursyid (guru sufi).  Alhasil, ada cecunguk tasawuf disuruh membayangkan syekhnya saat berzikir atau shalat.  Sebuah mazhab malahan memerintahkan antek-anteknya memasang potret diri sang wali di depannya kalau sedang sembahyang.
     Nabi Muhammad bersabda: “al-Ihsan yaitu kamu beribadah kepada Allah seolah engkau memandang-Nya.  Walau kamu tidak menatap Tuhan, sesungguhnya Allah melihatmu”.
     Dalam opini berjudul “Tasawuf Bukan Virus” (Tribun Timur, 4 Mei 2007), Supa mempertanyakan definisi sufisme ala Haris Booegies.  Selama ini, terbentang kekeliruan dalam memahami tarikat Islam.  Banyak yang berceloteh bahwa tasawuf itu rumusnya bekerja sambil berdoa.  Padahal, hakikat sufisme ialah anti-dunia.  Dalam tasawuf, orang wajib mengikuti doktrin mujahadah (latih rohani sekaligus pembiasaan derita jasmani).  Tidak sah kesufian bila tak menjalani mujahadah.
     Kalau ada individu mengaku salik, namun, tidak menjauhi aroma wangi materi, berarti ia salah besar.  Kebatinan Islam itu adalah mujahadah yang bermakna anti-dunia.  Fase tersebut sesuai embrio sufisme yang dilakoni para pengemis berbusana shuf (wol) dengan shuffah (pelana) sebagai bantal kala tidur di masjid.  Di Medinah, cuma kaum fakir yang memakai pakaian wol nan kasar.
     Mujahadah dekat dengan ajaran Budha.  Sebab, para biksu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara mengemis.  Aspek itu ditunjang agama Budha bahwa bersedekah kepada biksu termasuk amalan paling utama.

Human Capital
     Tasawuf luar biasa kemungkarannya gara-gara self concept alias citra dirinya bertentangan dengan Islam.  Apalagi, dalam asketisisme ada syathahat (ungkapan sungsang).  Al-Hallaj, umpamanya, berseru: “Ana al-Haqq” (saya Tuhan).
     Asy-Sya’rany mengisahkan tentang Ali al-Wahisyi, walinya.  Alkisah, sang mursyid kerap menyuruh orang turun dari keledainya.  “Turunlah dari keledaimu, kemudian pegang kepalanya agar saya nyaman menyetubuhinya”.
     Ibnu Araby mendesis: “Allah memujiku.  Saya pun memuji-Nya.  Dia beribadah kepadaku.  Saya beribadah pula kepada-Nya”.  Sedangkan Abu Yazid al-Busthani mendengus:  “Subhani (maha suci saya).  Alangkah agung kedudukanku.  Surga hanyalah mainan bocah-bocah”.
     Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin merekam sebuah fakta: “Celakalah kamu!  Apakah engkau terperdaya memandang Allah.  Andai kamu melihat Abu Yazid al-Busthani sekali saja, niscaya itu lebih bermanfaat ketimbang menatap Allah sebanyak 70 kali”.
     Karakter sufisme yang berlumur kedurhakaan, jelas bukan risalah par-excellence bagi insan beriman yang berakal sehat.  Apalagi, tasawuf menggerogoti fitrah (innate nature) manusia sebagai khalifatun fil ardhy (master of the universe). 
     Pada prinsipnya, bumi harus ditata dengan sintesis iman serta teknologi.  Bukan disemarakkan dengan sekte anti-dunia.  Syahdan, tak ada sahabat dari generasi awal Islam yang pernah mempraktikkan sufisme.
     Komunitas Muslim mesti memiliki change management skills berasas spiritual maupun sains dalam mengeksplorasi jagat raya.  Hatta, lahir human capital atau sumber daya insani yang mahir menyelaraskan antara duniawi dengan ukhrawi.
     Dalam al-Quran, tidak ada istilah tasawuf.  Karena, mistik Islam merupakan al-auhal (limbah) dalam khazanah ibadah.  Sufisme bukan wacana buat merindu-bersapa dengan al-Khaliq.  Elemen berbasis ajaran non-Islam tersebut tiada lain polusi rohani.
     Dari aneka mudarat tarikat Islam, maka, dalil apa lagi yang hendak digaungkan jika tasawuf itu indah.  Di masa hidup Rasulullah, tidak ada sufisme!  Islam seribu persen tak mengenal tasawuf!  Hingga, pelaku asketisisme bukan sekedar anak TK ber-IQ tiarap dengan virus split personality, tetapi, najis!
     Nabi Muhammad bersabda: “Jauhilah perkara-perkara baru dalam agama.  Sebab, tiap masalah baru merupakan bid’ah.  Dan bid’ah selamanya sesat” (Hadis hasan shahih).

(Tribun Timur, Jumat, 18 Mei 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People