(Menyambut Nuzulul-Quran 10 Oktober 2006)
Oleh Abdul Haris Booegies
Rutinitas keseharian yang membelenggu kehidupan membuat interaksi manusia dengan al-Quran agak tersendat. Teks Kalam Ilahi dipandang berat dicerna. Apalagi, bahasa Arab terkesan rumit.
Al-Quran yang terdiri atas 340.740 huruf, merupakan keajaiban bagi siapa saja. Pesonanya bisa dirasakan sesuai tingkat kecerdasan atau kalangan khusus yang dianugerahi hikmah. Orang-orang awam, umpamanya, leluasa melihat keajaiban al-Quran pada surah an-Nas. Tiap ayat yang tertoreh di surat penghabisan tersebut, selalu diakhiri dengan kata “an-nas”.
Surah al-Kahfi yang terdiri 110 ayat, juga mengandung keunikan. Sebab, semua ayat berakhir dengan tanwin (baris dua).
Keajaiban al-Quran yang dapat pula dinikmati secara kasatmata yakni kullun fi falak (al-Anbiya: 33). Ayat yang berarti: “Masing-masing dari matahari dan bulan” itu, terdiri atas abjad kaf, lam, fa’, fa’, lam, kaf. Kalau fonem tersebut dibaca dari depan atau belakang, maka, makna serta lafaznya tetap sama.
Skema serupa pun terjadi pada rabbaka fakabbir yang artinya: “Tuhanmu, agungkanlah” (al-Mudatsir: 3). Epigraf itu terdiri atas aksara ra’, ba’,kaf, fa’, kaf, ba’, ra’. Bila dibaca dari awal atau akhir, niscaya pembacaan dan pengertiannya tidak mengalami perbedaan.
Pada tarikh 1884, Scotland Yard menggunakan untuk pertama kalinya sidik jari dalam pengungkapan kasus kriminal. Sebenarnya, jauh sebelum polisi Inggris menyidik perkara lewat sidik jari, maka, al-Quran telah menjelaskan garis-garis di jari manusia yang berhias 60-70 titik.
Pola permukaan kulit pada jempol di antara penduduk dunia saat ini, tidak ada yang sama. Fenomena tersebut analog dengan bulu zebra yang tiada mirip di tengah komunitasnya. The Creator of All Things yang bertahta di Arasy Rahman berfirman: “Kami kuasa menyusun kembali jari-jemarinya dengan sempurna” (al-Qiyamah: 4).
Al-Quran yang bertabur rahasia, teramat menggugah disimak berkat susunan bahasanya yang indah. Ke-114 surah di dalamnya mengalir dengan lantunan lafaz yang elok dengan irama serta ritme yang unik. Padahal, al-Quran yang diturunkan dengan dialek Arab puak Quraisy, sering dinilai tidak konsisten. Apalagi, kandungan kisahnya memakai ayat-ayat mutasyabih (interpretable). Di samping itu, menyalahi linguistik dan kaidah bahasa Arab. Bahkan, terdapat kata-kata tersirat dengan makna denotatif. Kemudian bahasanya kadang tidak sejalan dengan nalar rasional.
Kecerdasan Iman
Metropolis kuno Mekkah al-Mukarramah menjelang kenabian Muhammad, berada dalam konsiderasi Abu Sofyan bin Harb bin Umayyah. Partai tunggal Abu Sofyan menguasai Daarun-Nadwah, sebuah forum pejabat tinggi di tengah masyarakat jahiliah. Sekretariat Daarun-Nadwah menempati ruang di bagian utama Ka’bah. Di forum tersebut, para pemuka Quraisy merancang keputusan-keputusan penting.
Daarun-Nadwah adalah paduan Kremlin periode Josef Brezhnev dengan Pentagon rezim George Walker Bush. Kremlin serta Pentagon menyiratkan kesuraman, kepekatan maupun bayang-bayang maut yang sangat mematikan nilai-nilai kemanusiaan.
Di era Daarun-Nadwah yang dikuasai tokoh-tokoh politik Mekkah, Muhammad kerap mengunjungi Gua Hira di Jabal Nur. Selama tiga tahun berturut-turut di bulan Ramadan, ia menjadi the seeker of the truth (pencari kebenaran).
Jabal Nur merupakan tempat yang acap didatangai beberapa begawan. Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul-Uzza, anak paman Siti Khadijah, termasuk yang pernah ke sana. Di Jabal Nur, juga banyak berkeliaran gepeng (gelandangan dan pengemis) yang mengharap sepotong roti seteguk air. Muhammad yang bergelar al-Amin (terpercaya), selalu menyantuni sekaligus memberi mereka bekal.
Jabal Nur berjarak sekitar enam kilometer dari Mekkah. Gunung Cahaya itu terdiri atas batu hitam tajam. Tingginya dua ratus meter dengan puncak berbentuk cembung. Gua Hira terletak sekitar 40 meter di bawah pucuk Jabal Nur. Gua dangkal tersebut tingginya tidak sampai semeter. Lebarnya berkisar satu hasta (50 centimeter). Sementara panjangnya kira-kira dua meter.
Di tempat sempit yang terletak di sebelah utara Mekkah itu, Muhammad mengasingkan diri. Ia memikirkan sukunya yang sudah melupakan ajaran Nabi Ibrahim al-Khalil. Di Gua Hira, Muhammad menghabiskan waktunya dengan beribadah (tahannuf).
Budaya khalwat (mengasingkan diri demi mendekatkan pribadi kepada hal-hal gaib), merupakan kebiasaan orang-orang Arab yang memiliki kecerdasan iman. Mereka bertapa serta berdiam di gunung-gunung yang jauh dari keramaian. Tradisi yang dilakukan tiap tahun di bulan Ramadan tersebut, bertujuan agar mereka diberi harta atau ilmu.
Pelantikan Muhammad
Di suatu malam yang sejuk pada Senin, 21 Ramadan tahun 41 Fiel (10 Agustus 610 Masehi), terjadi Lailatul Qadr (malam yang berhias pelangi kemuliaan). Kala itu, Jibril meninggalkan Lauhul Mahfuz.
Dengan sayapnya yang terbentang antara timur dengan barat, ia menembus susunan langit. Kepak sayap Ruhul-Amin tersebut, membuat ruang dan waktu laksana tiada bermakna.
Jibril tiba di Gua Hira ketika Muhammad tengah lelap. Saat terjaga, cucu Abdul Muthalib itu, terkejut. Ia bingung serta takut ketika sosok perkasa nan rupawan tersebut menyodorkan untaian alfabet pada lempengan kristal yang memancarkan cahaya hijau memukau.
Jibril lantas berujar: “Iqra’”. Muhammad yang salah duga lalu menjawab: “ma ana biqirain” (saya tak bisa membaca). Ia menyangka Jibril menyuruhnya membaca. Padahal, yang dimaksud yaitu supaya Muhammad mengikuti bacaannya.
“Iqra’”, tandas Jibril. Hati Muhammad makin kencang berdegup. Karena, ia tak kuasa menelisik kitab yang dibawa Jibril dari Sidratul Muntaha. Dengan tubuh gemetar dan jantung yang gedebak-gedebuk, ia kemudian menjawab: “ma ana biqirain”. Jibril kembali mendesaknya: “Iqra’”. Muhammad kian ketakutan, tetapi, ia tetap menjawab: “ma ana biqirain”.
Jibril menatap figur ummi (tak mengerti baca-tulis) yang salah sangka itu. Muhammad tertegun. Sekelebat, ia sekonyong-konyong mafhum jika yang dimaksud oleh makhluk tersebut bukan menyuruh membaca, namun, bersama-sama melantunkan ayat yang dibawanya. Dengan suara merdu serta berwibawa, Jibril dengan Muhammad lantas membahanakan firman Allah di lekuk-liku cadas Jabal Nur: “Iqra’ bismirabbik”.
Rasulullah lari terbirit-birit saat Jibril balik ke langit. Nabi Muhammad pontang-panting menuju ke rumahnya di tengah malam yang teramat benderang oleh kilau bintang dan rembulan.
Putra Abdullah itu tak menyadari kalau ia baru saja dilantik sebagai tuan segala umat. Ia telah ditahbiskan sebagai master komunitas Nabi. Di malam bertabur kemuliaan tersebut, ia dibaiat sebagai the great para Rasul. Di Gua Hira, ia dikukuhkan sebagai imam jemaah global sejak Nabi Adam sampai kiamat datang memusnahkan. Sedangkan lima ayat pertama surah al-‘Alaq yang diwahyukan kepadanya, merupakan akses utama dalam mereformasi dunia dari belenggu jahiliah.
Menyangkal Luxenberg
Al-Quran sudah berada di tengah manusia selama 1396 tahun. Dalam kurun itu, tertoreh lebih 1001 macam tumbukan yang mengusik al-Quran. Segenap gangguan berbiaya super mahal tersebut, tak pernah berhasil menghancurkan satu titik pun teks al-Quran.
Tiap huruf al-Quran, sesungguhnya punya konstruksi yang indah, akurat serta bening. Di zaman Rasulullah, misalnya, tidak ada sahabat yang pernah mempersoalkan kombinasi misterius nash qath’i (abjad pembuka suatu surah yang terpotong-potong). Kini, secarik dari lembaran maha luas rahasia firman Tuhan itu, mulai terkuak.
Dr. Rasyad Khalifa menemukan bahwa surah al-Baqarah yang dimulai alif, lam, mim, menunjukkan jumlah fonem yang dominan. Alif tercantum 4592, lam sebanyak 3204 dan mim jumlahnya 2195. Konfigurasi serupa ditemukan pada 29 surah lainnya yang dimulai nash qath’i, kecuali surah Yaa Sin yang terbalik jumlahnya. Aksara sin lebih banyak dibandingkan ya’.
Prof Cristhop Luxenberg (nama samaran) dalam buku Die Syro-Aramaeische Lesart des Koran, berteori bila al-Quran asli pada esensinya berbahasa Aramaik. Jerih-payah Luxenberg yang warga Jerman tersebut, justru dicurigai oleh Newsweek. Majalah bertiras besar itu, menduga jika analisis filologi Luxenberg yang menyangkal keaslian Kitabullah, sebenarnya berujung pada pernyataan bahwa al-Quran cuma jiplakan Alkitab.
Sembilan Nyawa
Al-Quran diturunkan “dengan menggunakan bahasa Arab” (Yusuf: 2). Aksentuasi tersebut menunjukkan kalau bahasa Arab merupakan alat komunikasi istimewa. Romeo and Juliet, karya monumental William Shakespeare yang terbit di puncak masa renaissance pada abad ke-16, bakal sulit disimak sekarang bila cetakan awalnya yang dibaca.
Sejarah negeri Franka yang tertera dalam alfabet di awal milenium kedua, akan susah dicerna di abad ke-21 ini. Sebab, bahasa Perancis pada Dinasti Capet (987-1322), Dinasti Valois-Angouleme (1515-1574) atau Dinasti Boudons (1589-1774), telah mengalami perubahan oleh jejak zaman.
Bahasa tergerus nilai-nilai keasliannya gara-gara putaran tempo yang bergasing tiada henti. Di Indonesia pada masa kini, tak ada bocah yang tahu “kereta angin”. Padahal, istilah itu merujuk pada sepeda. Kata “biduan” sekarang mulai ditinggalkan. Karena, orang lebih senang memakai ungkapan penyanyi.
Andai Nabi Muhammad masih hidup, niscaya seluruh umat Islam yang paham bahasa Arab bakal mengerti apa yang dituturkannya. Sebab, bahasa Arab selamat dari perubahan zaman.
Bahasa Sansekerta, Yunani, Latin serta Arab merupakan empat alat komunikasi yang sempat menghegemoni peradaban dunia. Kini, sesudah abad berganti milineium, maka, tiga bahasa besar telah mohon permisi dari kehidupan. Bahasa Sansekerta sudah lama wassalam dari peradaban. Bahasa Yunani hanya digunakan di Negeri Seribu Dewa oleh orang Yunani. Beberapa abad lampau, para pengelana ilmu di tiap persada mutlak belajar bahasa Yunani agar mengerti titah para filsuf. Lalu bahasa Latin yang dulu berkibar gagah, sekarang telah sekarat tak keruan. Sementara bahasa Arab justru punya sembilan nyawa. Alhasil, tak pernah sengsara di tengah amuk komunikasi canggih.
Ada fenomena yang jarang diketahui publik perihal bahasa Arab, termasuk Luxenberg. Karena, tiap huruf Hijayyah pada hakikatnya melambangkan makna tertentu. Contohnya, abjad ta’ menunjukkan “satu”, “feminin”, atau “sumpah”. Kemudian fonem kha’ konotasinya cenderung pada motif negatif. Umpamanya, khinzir (babi), khiyanah (pengkhianatan), khizyu (kehinaan), khilafiyyah (kontroversial) atau khauf (ketakutan).
Surah al-Fatihah dianggap Ummul Kitab (induk al-Quran). Selain mengandung penghambaan total kepada Allah, juga al-Fatihah tidak punya aksara kha’. Sebab, alfabet itu identik dengan ihwal yang dihindari atau memuat unsur negatif.
Superioritas tersebut yang membuat al-Quran memilih bahasa Arab sebagai media bagi kaum Muslim. Di samping itu, semua komponen serta formula yang termuat dalam Kitabullah, dijamin oleh Sang Khaliq. Karena: “Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Quran. Dan Kami benar-benar menjaganya” (al-Hijr: 9).
(Fajar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar