Sabtu, 04 Juni 2011

Hijrah Melahirkan Insan Indonesia Baru


Hijrah Melahirkan Insan Indonesia Baru

(Refleksi Historis Hijrah Nabi Muhammad SAW 10 Januari 2008)

Oleh Abdul Haris Booegies

     Sekitar tahun 4300 sebelum Masehi, berderak hijrah pertama yang dipimpin Nabi Idris AS.  Pada periode itu, deru peradaban awal sedang bergemuruh.  Nabi Idris sebagai intelektual jenius merupakan tokoh di balik pembangunan 188 kota.  Selain pakar tata kota, ia juga tertoreh sebagai ahli sosiologi pertama.
     Di suatu hari, Nabi Idris menakhodai seribu orang meninggalkan Babilonia menuju ke sebuah kawasan bernama Mesir.  Wilayah tersebut subur nian berkat adanya sungai Nil.  Dengan change management skills, Nabi Idris andal mengelola perubahan di Mesir antik.
     Pada tahun 1447 sebelum Masehi, Nabi Musa AS meninggalkan Mesir.  Ia hijrah bersama bani Israil untuk mencari tanah yang dijanjikan.  Nabi Musa sangat kewalahan memimpin orang Yahudi.  Sebab, keturunan Yehuza bin Nabi Yaqub AS itu teramat bebal, keras kepala dan penakut.
     Saat Nabi Musa hendak membawanya masuk ke negeri Bait al-Maqdis (Jerusalem), maka, mereka merinding.  Karena, penduduk Jabbariyin (individu kuat sekaligus kejam) yang penyembah berhala terlihat berpostur ala Goliath.  Mereka merupakan sisa etnis Hithith.
     “Hai Musa, sebetulnya Fir’aun lebih ringan bagi kami ketimbang Jabbariyin”, bentak kaum Yahudi.  Nabi Musa akhirnya masuk ke Bait al-Maqdis hanya diiringi beberapa insan beriman.  Mereka lalu berhasil mengusir Jabbariyin.  Segelintir umat Nabi Musa yang tabah tersebut kemudian hidup makmur.  Sementara mayoritas yang menolak mengikuti Nabi Musa justru tersesat.
     “Sungguh, negeri itu diharamkan atas mereka selama 40 tahun.  Dengan demikian, mereka bakal berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tih).  Jangan kamu bersedih hati memikirkan nasib komunitas durhaka tersebut” (al-Maidah: 26).
     Pada Senin, 16 September 622 Masehi (1 Rabiul-Awal tarikh ke-14 nubuwwah), hijrah paling fantastis, agung serta terakhir dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.  Andai eksodus itu gagal, maka, penyembahan terhadap Allah akan stagnan.  Ruwetnya hijrah tersebut lantaran suku Quraisy menginginkan kematian Rasulullah.  Apalagi, musuh utama Nabi Muhammad tiada lain Abu Lahab, pamannya sendiri.  Lawan tangguh lainnya yaitu Abu Jahal.  Pribadi gangster Mecca itu ditengarai berwatak kasar.  Ia memiliki pula mata setajam elang dengan mulut yang cerewet mencaci-maki.
     Sejarah akhirnya mencatat jika hijrah yang dilakoni Rasulullah mendulang sukses spektakuler.  Pasca-hijrah, publik Arabia yang dibekap era Jahiliah kontan bersepuh kejayaan.  Semangat mandiri menggelegak guna merestrukturisasi kondisi hampa menjadi bernas.  Identitas klan bersalin rupa sebagai umat.  Tiada lagi hukum kafilah yang tidak menghargai modal sosial (social capital) berupa visi dan praktik bermasyarakat.  Semua tunduk di bawah naungan sinar Ilahi.

Kondom Ilegal
     Hijrah melahirkan masyarakat baru di Medinah.  Aturan Tuhan pun turun-beruntun dari langit.  Di sisi lain, komunitas Muhajirin bersama Anshar bertekad menyongsong masa depan gemilang.  Tekad umat Islam yakni hidup damai sejahtera.
     Kini, sukma suci hijrah seyogianya dihembuskan di bumi Pertiwi ini.  Sebab, Indonesia didiami oleh manusia yang sangat memprihatinkan.  Figur mereka teramat kritis di tengah lilitan keterbelakangan, kemiskinan serta kebodohan.  Emosi mudah tersulut.  Tangan gampang menggampar.  Kaki seenaknya menendang.  Mulut enteng mengolok-olok.  Sedangkan hati senantiasa berdusta.
     Pada 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki, budayawan-jurnalis Mochtar Lubis memaparkan enam identitas manusia Indonesia.  Ciri orang Indonesia ialah munafik.  Lain di mulut lain di hati.  Lantas enggan bertanggung jawab atas perbuatannya.  Lalu berwatak feodal.  Sosok selanjutnya adalah doyan takhyul, mistik atau klenik.  Alhasil, ajaran kebatinan laku keras di era cyberspace ini.
     Potret buram manusia Indonesia yang lain yaitu artistik.  Bangsa Indonesia hidup berasas perasaan.  Sementara jati diri terakhir tiada lain berwatak lemah.  Semangat kompetitif mereka di pasar bebas terlihat melempem.  Begitu rapuhnya posisi Indonesia, sampai tak berkutik kala dikirimi kondom bekas satu kontainer dari Jerman pada pertengahan Desember 2007.  Di pengujung 2007, kembali zamrud khatulistiwa ini mendapat kiriman kondom ilegal seberat 26 ton yang mengandung limbah beracun B-3. 
     Sebelum kondom, Indonesia kewalahan menghadapi Malaysia.  Pasalnya, mereka mengklaim kalau lagu Rasa Sayange, reog, sate, jamu, layang-layang dan batik sebagai warisan asli Malaysia.  Bahkan, astronot pertama Malaysia berpetualang di angkasa dengan tema: “Batik in Space”.
     Carut-marut identitas orang Indonesia kemudian ditambah oleh Budiarto Shambazy.  Alkisah, pada 2 dan 5 Juli 2005, wartawan senior sebuah koran nasional tersebut menegaskan sifat tercela manusia Indonesia.  Pertama, senang bernostalgia.  Orang suka membandingkan sebuah zaman dengan era yang lain.  Kedua, cepat marah.  Gampang meledak oleh hal yang remeh.  Hati insan Indonesia seolah berpijak pada premis: “Please don’t make me kill you!”  Ketiga, tukang lego alias doyan menjual barang.  Hatta, jangan heran bila arca peninggalan Mataram kuno abad ke-7, bisa raib dari Museum Radya Pustaka di Surakarta.  Pulau malahan dijual juga ke warga negara asing.
     Di bidang politik, perilaku manusia Indonesia lebih bopeng lagi.  Pada 10 Februari 2007, Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Ahmad Syafii Ma’arif bertutur jika politisi Indonesia berwajah buruk.  Di samping melakukan politik uang, perilakunya berbeda pula dengan yang dikatakan.  Moral etika politik nasional masih rendah.  Mereka cuma pintar beretorika.

Fundamen Moral
     Stigma masyarakat Indonesia makin parah lantaran mereka kehilangan nasionalisme.  Perasaan kebangsaan telah lenyap seiring maraknya petaka yang melaknat.  Max Lang, Indonesianis dari Universitas Sydney Australia menyayangkan nasionalisme Indonesia yang lemah.  Akibatnya, aset Indonesia banyak dikuasai pihak asing.  Rakyat tak punya apa-apa lantaran segelintir pihak yang memiliki jabatan penting leluasa menjual rupa-rupa aset Indonesia.
     Tak ada beleid yang diparaf nurani untuk hidup rukun sebagai sebuah bangsa majemuk terbesar di dunia.  Negara bangsa yang menghimpun sekitar 400 puak ini, tak punya cita-cita serta dorongan buat maju guna menjaga keseimbangan homogenitas sekaligus pluralistik.  Apalagi, fundamen moral sudah terkikis.
     Indoktrinasi yang pernah dipaksakan oleh Orde Baru seperti penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) maupun upacara bendera tiap Senin, rupanya gagal total.  Warisan Orde Baru hanya sejarah kelam.  Sekarang, beban kian berat.  Karena, bayang-bayang maut di ranah gemah ripah loh jinawi ini, begitu menciutkan nyali.  Ibarat kata, tak ada lagi mandala aman.  Apalagi, rakyat selalu menjadi korban dari kekuasaan.  Pembangunan memaksa warga terpental dari arena kesejahteraan.  Mereka cuma menjadi sasaran empuk yang tak berdaya diinjak-injak oleh birokrasi pemerintah.
     Negara tak mampu melindungi serta menghidupi rakyat.  Dewasa ini, tercantum 2,8 juta anak usia sekolah terpaksa putus sekolah.  Ironisnya, mereka menjadi pekerja anak.  Bahkan, Bank Dunia mencatat bahwa 49,5 persen penduduk Indonesia hidup dalam kondisi miskin.  Akibatnya, tidak sedikit yang kabur ke negeri jiran mencari peruntungan.  Sebagai tenaga kerja, mereka terpaksa memendam perasaan minderwaardig (rendah diri) sembari rela dipukuli di Malaysia.  Wajah boleh lebam dan bonyok, yang penting ringgit bisa dikirim ke sanak saudara di Indonesia.

Figur Visioner
     Insan Indonesia yang terhempas dalam ragam kesialan, sebetulnya butuh sosok kuat.  Kehadiran tokoh berkharisma itu yang bakal mendorong bangsa ini untuk hijrah.  Rakyat Indonesia wajib bereksodus meninggalkan segenap tabiat negatif.  Sebab, telah lama perilaku tidak terpuji menghambat Indonesia dalam berkompetisi di era neokapitalisme global.  Bangsa ini terbelenggu kepicikan sampai tak sanggup menjadi gergasi Asia semacam Tiongkok maupun India.  Simpul-simpul perekat keindonesiaan seolah hanya mitos yang muskil dirajut.
     Dalam Islam, individu bersangkutan yang mutlak mereformasi diri.  Tidak patut menanti uluran tangan orang lain untuk memberdayakan potensi.  Amerika Serikat tak mungkin mengubah Indonesia menjadi negara mandiri.  Paman Sam justru menghisap kekayaan negeri ini.  Adidaya tersebut malahan menjadikan Indonesia pasar bagi produk-produknya.
     Demonstran, misalnya, memekik mengutuk George Walker Bush.  Saat haus, para pendemo ternyata menenggak coca-cola.  Lantas makan di gerai Kentucky Fried Chicken.  Sampai di rumah, mereka menonton MTV sambil mengepit majalah Playboy. Sorenya, kelompok itu ke bioskop menikmati film Hollywood.  Di malam hari, mereka mengakses situs XXX-action yang menawarkan gadis muda Amerika yang seliar kuda-kuda binal.
     Selama ini, Indonesia masih terjajah oleh hegemoni penguasa ekonomi, budaya serta informasi.  Di sisi lain. Indonesia pun dihuni manusia yang kehilangan prinsip spiritual.  Apalagi di negeri ini, penyelesaian masalah senantiasa berlarut-larut.  Empati akhirnya sirna.  Sebagai contoh yakni korban lumpur panas.  Warta perihal lumpur Lapindo sudah tidak menyentak.  Nurani tak lagi merintih mendengar derita berkepanjangan saudara-saudara di Sidoarjo yang hak-haknya ditindas. 
     Informasi tentang lumpur panas menjemukan gara-gara tidak ada ketegasan dari pemerintah terhadap Lapindo Brantas Inc.  Ke mana figur yang telah diberi mandat lewat pemilu oleh rakyat?  Mungkinkah ia sibuk berlatih vokal sesudah merilis album?
     Kita telah lelah menderita oleh buruknya kondisi sosial ekonomi.  Janji-janji tak lagi bermakna di tengah social breakdown yang terjadi.  Orang tidak bisa hidup cuma dengan bualan omong kosong dari toxic leader yang memancarkan aura negatif sampai menimbulkan bencana di mana-mana.  Kini, pemimpin yang kuat mutlak selekasnya ditemukan.  Dengan kehadiran agent of change brilian, berarti negeri ini dapat segera hijrah menggapai masa depan gemilang.
     Hijrah hanya efektif terlaksana oleh sosok visioner sebagaimana Nabi Idris, Nabi Musa atau Nabi Muhammad.  Tanpa pemimpin yang piawai mengantisipasi perubahan, niscaya negeri ini makin berantakan oleh aneka karakteristik heterodoks.
     “Sungguh, Kami sudah meluluhlantakkan kota-kota di sekitarmu.  Dan Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran Kami secara berulang-ulang supaya mereka bertaubat” (al-Ahqaf: 27)

(Fajar) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People