Jumat, 03 Juni 2011

Wajah Rasulullah dan Kebebasan Pers

Wajah Rasulullah dan Kebebasan Pers
Oleh Abdul Haris Booegies

     Angin puyuh serta tsunami tiba-tiba melanda benua Eropa.  Terjangannya tidak merobohkan rumah atau gedung bertingkat.  Kerusakan yang ditimbulkan justru rasa ketakutan mendalam.  Sebab, badai serta tsunami tersebut bukan produk alam.  Rasa kengerian yang mencekam di Eropa lahir gara-gara kemarahan dan kejengkelan umat Islam.  Segalanya berawal dari koran kecil Denmark yang beroplah 150 ribu .  Media bernama Jyllands-Posten itu memprovokasi kalangan Islam dengan memuat kartun Nabi Muhammad pada 30 September 2005.
     Kini, implikasi yang menyeruak dari kasus tersebut yakni kebebasan pers.  Selama ini, kebebasan pers selalu didengung-dengungkan Barat.  Dengan kebebasan pers, misalnya, sontak segerombolan anak muda berhasrat menerbitkan majalah Playboy di Indonesia.  Mereka seolah lupa bahwa tidak semua yang dimuat cocok dengan budaya Nusantara.  Hingga, fenomena itu menjadi aspek yang tidak lazim.  Akibatnya, yang terjadi tiada lain kezaliman.  Karena, memaksakan suatu kehendak yang tidak memiliki pijakan di suatu tempat.  Ihwal tersebut mereka perbuat atas nama kebebasan pers.
     Pada akhir 2001, Amerika Serikat (AS) membombardir Irak.  Cable News Network (CNN) bersama al-Jazeera lalu berlomba mewartakan perang itu.  CNN mengabarkan kesuksesan prajurit AS dalam mematahkan perjuangan tentara Irak.  Sementara al-Jazeera melaporkan korban warga sipil yang mati sia-sia oleh mesin perang Paman Sam.
     Simpati terhadap grafik penampilan al-Jazeera akhirnya menggema.  Sebuah stasiun televisi Indonesia, ikut pula menayangkan secara khusus liputan al-Jazeera.  Selang beberapa hari, siaran al-Jazeera lenyap di negeri nyiur melambai ini.  Ketika diusut, ternyata Presiden George Bush gusar.  Alhasil, ia segera menelepon Presiden Megawati.  Akibatnya, al-Jazeera sirna tanpa bekas.  Padahal, AS sendiri yang mempropagandakan kebebasan pers.

Asal-Muasal Berhala

     Dalam benak kaum Muslim tertanam kalau raut muka Rasulullah teramat lembut.  Bahkan, di malam hari, paras Nabi Muhammad gampang dikenali berkat cahaya yang berpendar dari wajahnya.
     Rasulullah punya rambut hitam.  Dagunya ditumbuhi jenggot lebat.  Alisnya indah.  Giginya putih berkilau.  Sebagaimana orang Arab lainnya, maka, hidung Nabi Muhammad juga mancung.
     “Siapa yang lebih tampan, ya Rasulullah.  Engkau atau Nabi Yusuf”, tanya seorang sahabat.
     “Saya tak mau menyaingi paras Nabi Yusuf, saudaraku”, jawab Nabi Muhammad sambil tersenyum.
     Banyak yang tahu raut muka Rasulullah lewat mimpi, tetapi, tak berani melukisnya di atas kanvas.  Sebab, dipotret dengan kamera canggih pun, wajah Nabi Muhammad tak akan seindah sosok aslinya.  Apalagi, foto sesungguhnya sangat mudah dijadikan ajang pengkultusan diri.
     Gambar Rasulullah enteng diselewengkan sebagai jimat.  Potret dirinya malahan tidak mustahil disembah.  Hingga, haram hukumnya menvisualkan paras Nabi Muhammad.
     Sebelum kelahiran Islam, maka, penduduk di jazirah Arab doyan menyembah patung.  Padahal, Nabi Ibrahim tidak pernah menyuruh umatnya menyembah berhala.  Sekitar 4000 tahun yang silam, Abu al-Anbiya’ (Bapak Para Nabi) tersebut justru mengamuk seraya menghancurkan seluruh arca sesembahan di balairung Raja Namrud.
     Pada hakikatnya, menyembah patung pasca Nabi Ibrahim memiliki niat baik.  Di zaman itu, orang-orang bertawaf di sekeliling Kabah sebagai ajaran Nabi Ibrahim.  Mereka punya waktu-waktu tertentu mengelilingi Kabah.
     Jiwa bisnis bangsa Arab yang tinggi akhirnya menghalangi mereka tawaf.  Karena, mereka harus meninggalkan Kota Mekkah menuju pusat-pusat bisnis lainnya.  Alhasil, kala berangkat berniaga ke negeri jiran, maka, mereka mengambil secuil batu bangunan Kabah.
     Di hari-hari ibadah, batu tersebut diletakkan lantas dikelilingi.  Ritual itu dianggap sebagai pengganti tawaf di Kabah.
     Dari pola ibadah tersebut, akhirnya masyarakat Arab menyembah berhala.  Mereka tidak lagi mengelilingi seonggok batu bangunan Kabah, namun, sudah membuat arca tandingan.  Patung itu tidak lagi dikelilingi, tetapi, langsung disembah.
     Peristiwa tersebut tidak mustahil terulang dalam kasus gambar-gambar Rasulullah.  Hari ini fotonya dikagumi.  Besok boleh jadi potret dirinya telah disembah.  Hingga, masyarakat ultra-modern yang super sibuk tak lagi merasa perlu menghadap ke Kabah jika shalat lima waktu.  Mereka cukup merogoh saku sambil mengeluarkan selembar foto Nabi Muhammad.  Kemudian sembahyang di depan lukisan, walau arah kiblat berada di belakangnya.

Jenggot Itu Baik 

     Di dunia ini, tak ada kebebasan yang seratus persen bisa dipraktekkan.  Apalagi, bila berhubungan dengan urusan agama. Di masa kini, gejala dominan yang terasa ialah naluri primitif Barat yang semaunya mengacaukan etika kehidupan di dunia Islam.  Mereka menghimpun kekuatan guna mencela Islam yang merajam wanita pezinah.  Saat AS memimpin Eropa menyerang Afghanistan serta Irak, maka, tidak terhitung nyawa tak berdosa yang melayang.

     Ketika serbuan tersebut dicuarkan, Bush justru kesal setengah mati.  Alhasil, berniat membom markas al-Jazeera di Dubai.  AS leluasa menutup akses informasi hakiki.  Padahal, mereka sendiri yang mengampanyekan kebebasan pers. 
     AS pasti tak sudi kalau kaum Muslim mengekspor syariat Islam ke wilayah Barat.  Umpamanya, semua laki-laki diwajibkan bersunat.  Sesudah masuk WC, mesti cebok pakai air, bukan tissu!
     Ada sebuah ironi yang selama ini terpampang.  Para aktivis Islam selalu terlihat berjenggot.  Bahkan, wajah pejuang al-Qaeda berhias jenggot tebal yang tampak kusam-masai.  Di Guantanamo, Kuba, kelompok al-Qaeda dicukur paksa jenggotnya.  Sebab, AS mengkhawatirkan jenggot itu mengandung virus.
     Tampang dengan jenggot tanpa kumis sebenarnya identitas fisik kaum Muslim.  Apalagi, Rasulullah sendiri memiliki jenggot lebat.  Sekarang, di milenium ketiga ini, rahasia jenggot akhirnya terkuak.  Penelitian di AS membuktikan bahwa orang berjenggot lebih panjang usianya.  Pemilik jenggot, malahan sulit kena penyakit kanker.
     Dalam suasana Hari Pers Nasional dan Hari Ulang Tahun Ketiga Tribun Timur, layak direnungkan bahwa tak ada yang namanya kebebasan pers dengan kadar seratus persen.  Karena, seperti tertulis di tajuk harian ini pada 8 Februari 2006 bahwa: “Kebebasan pers harus selalu diimbangi oleh tanggung jawab, batasnya yaitu sepanjang tidak melanggar hak dan kebebasan orang lain”.
     Pada intinya, wacana yang ada dalam kehidupan cuma keterbatasan demi keagungan.  Keterbatasan yang dimiliki merupakan kemuliaan bagi orang lain.  Menghargai keterbatasan masing-masing adalah jalan meraih keagungan. 
     Kebebasan pers sesungguhnya tak pernah ada!  Sebab, kebebasan pers pada esensinya justru melanggar hak asasi bermasyarakat.  Kebebasan pers hanya provokasi Barat dalam meneror akhlak kaum Muslim.  Mereka tak henti merusak peradaban atas nama kebebasan berekspresi.  Barat sengaja mengetes Islam dengan karikatur karya 12 kartunis Denmark.  Akibatnya, di tiap pelosok, orang-orang berjenggot yang dahinya hitam oleh sujud, langsung memuntahkan angin puyuh serta tsunami kemurkaan.
     Golongan berjenggot lalu melantunkan kidung perang: “Maut lebih manis dari madu.  Inilah peleton syahid.  Penjagal kaum kafir.  Allahu Akbar…Serbu!”

(Tribun Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People