Dinar-Dirham Sebagai Sistem Moneter Global di Masa Depan
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Keuangan
“TIADA orang yang tak suka. Pada yang bernama rupiah”, lantun Rhoma Irama, si Raja Dangdut. Biduanita Happy Pretty kemudian berdendang riang: “Uang, lagi-lagi uang! Uang bisa bikin kita mabuk kepayang”.
Di dunia ini, pencarian manusia selalu bertumpu pada uang. Sufi ultra-modern pun memanjatkan doa keharibaan Allah dengan kalimat: “Tuhan kami, limpahkanlah kami rezeki. Dan ampunilah dosa-dosa kami”.
Pencarian terhadap uang dilakukan sekuat tenaga. Sebab, uang akan mengangkat harkat. Bahkan, semua impian bisa direalisasikan berkat uang.
Dalam mencari uang, terpampang kalau banyak onak dan duri menghadang. Tidak semua tanah di bawah langit bisa diberi pupuk. Tidak semua lowongan bisa ditembus. Tidak semua keterampilan dihargai sebagai pekerjaan. Akibatnya, ketimpangan menganga. Kesenjangan antara yang fakir dengan pemilik materi berlimpah, terlihat bagai dinosaurus dengan cecak.
Sistem kemudian diciptakan untuk menanggulangi masalah keuangan. Hingga, lahir beragam strategi. Masalah kemudian menimpa gara-gara struktur jitu itu, justru hanya ideal di atas kertas. Ketika diaplikasikan di lapangan, yang bergemuruh ternyata ketidakadilan. Problem itulah yang kini makin marak berjangkit setelah manusia melewati lima tahun milenium ketiga.
Di awal 2006 ini, misalnya, Indonesia dipastikan tertatih-tatih meniti perekonomian, khususnya pada semester pertama. Sebab, dampak kenaikan bahan bakar minyak (BBM) pada 1 Oktober 2005, masih tergiang di berbagai sektor. Inflasi tinggi itu akhirnya memaksa Bank Indonesia (BI) menaikkan BI Rate sampai 12,75 persen. Kenaikan itu kemudian mengerek bunga bank, termasuk bunga kredit.
Ketika bunga naik, berarti daya beli masyarakat berkurang. Akibatnya, omzet industri menurun. Hal itu memperlihatkan kalau sektor riil kembali terpukul. Efek berikutnya yakni terjadi pengangguran besar-besaran. Secara otomatis, jumlah orang miskin akhirnya meroket tak terbendung.
Di awal tahun ini, perekonomian nasional dihadang kombinasi rumit. Sebab, pemerintah diharapkan menstabilkan inflasi, nilai tukar rupiah sekaligus menyegarkan kembali pertumbuhan ekonomi.
Mata Uang Global
Di masa kini, sehari-hari terpampang pemandangan aneka penyakit ekonomi. Misalnya, inflasi, suku bunga tinggi, kredir macet, pengangguran dan kemiskinan.
Petaka ekonomi itu susul-menyusul datang tanpa sempat dipantau. Krisis multidimensi yang melabrak perekonomian global sesungguhnya bersumber pada masalah moneter. Selama ini, negara lewat bank sentral tak kuasa mengendalikan pasar uang internasional.
Pada kurun ini, sistem moneter tak pernah pisah ranjang dengan bunga. Makin tinggi tingkat bunga, maka, makin jadi penentu pula pasar barang di sektor riil dan pasar uang. Faktor itu menunjukkan kalau laba menjadi kata wasiat dalam ensiklopedi ekonomi modern.
“Dalam industri keuangan ekspektasi untung dalam berinvestasi, khususnya di perbankan, tetap menjadi faktor utama. Banyak nasabah rasional cenderung memilih jasa perbankan yang menawarkan keuntungan lebih” (Kontan, 5 Desember 2005).
Dewasa ini, dollar tertera sebagai mata uang dunia. Di mana-mana dollar menjadi alat tukar sah. Posisinya menjadi vehicle currency atau paspor mondial. Apalagi, neraca perdagangan luar negeri selalu berpatokan pada dollar. Hingga, greenback (nama lain dollar), berperan sebagai safe-haven currency. Kalau dollar mantap, niscaya bursa-bursa utama merasa lega, lugas dan luwes. Dunia finansial pun tidak dibekap krisis berat.
Pada hakikatnya, dollar yang menjadi mata uang dunia, mengandung virus semacam fluktuasi kurs dan suku bunga tinggi. Bencana akan meruyak-marak kalau dollar anjlok. Sebab, mata uang negara lain pasti ikut terguncang lantaran mengaitkan mata uangnya dengan dollar. Akibatnya, menggumpal kerugian yang menimbulkan derita duka-lara. Sementara Amerika Serikat (AS) justru menarik keuntungan kalau dollar terseok-seok di pasar finansial global. The Fed hanya mengambil kebijakan lepas tangan (hands-off policy) sebagai solusi.
AS yang melihat derajat tinggi dollar, akhirnya memanfaatkannya sebagai senjata mematikan. Paman Sam terus-menerus mencetak dollar demi membiayai defisit neraca perdagangannya.
Aspek itu menegaskan kalau barang impor di bayar AS dengan dollar yang notabene kertas. Keringat tumpah bercucuran dalam merakit barang, tetapi, akhirnya hasil karya itu hanya dihargai segepok kertas bernama dollar. Hal itu menunjukkan adanya ketidakadilan sistem moneter global. Sebab, merugikan banyak negara.
Risalah World Economic Outlook pada Oktober 1997, menegaskan bahwa dolarisasi terjadi di negara-negara berkembang yang mengalami masalah dengan nilai tukar. Dolarisasi merupakan pemilikan aset berdenominasi valutas asing. Tujuan dolarisasi yakni mencegah kerugian nilai aset. Negara yang dilanda dolarisasi antara lain Meksiko, Rusia, Polandia, Turki dan Peru.
Judy Shelton, dalam buku Money Meldown Restoring Order to the Global Currency System, menuangkan gagasan kalau perlu segera digagas mata uang global sebagai revisi terhadap sistem moneter Bretton Wood. Sebab, buah dari Bretton Wood sudah tidak sejalan dengan sifat kemanusiaan masa kini. Fluktuasi kurs dan suku bunga di pasar uang tiada lain merupakan pencapaian negatif Bretton Wood.
Mata Uang Mandiri
Dollar dengan sederet dosa besarnya, akhirnya memaksa orang mencari strategi baru sistem moneter global. Dampak negatif dollar mutlak segera dibasmi. Apalagi, dollar hanya uang hampa (fiat money) yang punya banyak keterbatasan dan kelemahan.
Dollar memang sakti lantaran erat-terkait dengan politik AS. Walau hebat, tetapi, dollar akan terbungkuk-bungkuk penuh takzim kalau berhadapan dengan dinar-dirham. Sebab, mata uang yang direstui Nabi Muhammad itu terbuat dari emas dan perak murni. Dengan sistem standar emas dunia (global gold standard), berarti sistem bunga mengambang (floating rate) akan terjungkal ke jurang nista.
Dinar-dirham steril dari aspek spekulasi. Bahkan, mata uang itu sangat mandiri sekaligus nihil ketidakpastian. R.W. Rhan, pengarang kitab The End of Money and Struggle for Financial Privacy, menegaskan kalau sistem pembayaran digital berbasis emas akan melenyapkan inflasi.
Sisi positif logam mulia ialah harganya yang bisa mendatangkan keuntungan berlipat-lipat. Pada Desember 2005, misalnya, harga emas menyentuh 540 dollar AS per troy ounce. Harga itu setara dengan 17,4 dollar AS per gram. Selain harganya yang bisa berlari kencang, juga emas dianggap instrumen investasi yang aman.
Dinar-dirham yang kini kembali diedarkan tetap mengikuti standar era Khulafaur-Rasyidin. Pembakuannya di milenium ketiga dilakukan World Islamic Trading Organization (WITO).
Sesuai ketetapan Nabi Muhammad, maka, wujud dinar adalah emas 22 karat dengan kemurnian 91.7 persen. Beratnya 4.25 gram dengan diameter 23 milimeter. Sedangkan dirham adalah perak dengan kemurnian 95 persen. Beratnya tiga gram dengan diameter 25 milimeter.
Dinar-dirham layak menjadi mata uang tunggal dunia agar tercipta pilar perekonomian dunia yang gesit. Apalagi, kalau dirnar-dirham sudah dipayungi sistem moneter tunggal. Formula itu dengan sendirinya akan membuat tiap negara seirama dalam kebijakan fiskal dan moneter. Hingga, mampu mengembangkan industri nasional masing-masing.
Kalau dinar-dirham menjadi solusi kebijakan moneter global, niscaya semua orang menanti Rhoma Irama berdendang dangdut. Satria Bergitar itu mungkin akan melantunkan syair: “Tiada orang yang tak suka. Pada yang bernama dinar-dirham”.
(Pedoman Rakyat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar