Alumnus Arafah
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Keagamaan
Hari ini, 8 Dzulhijjah 1425 Hijriah (19 Januari 2005), jemaah haji dari lima benua serta dua samudera membanjiri tiap jengkal Arafah guna menunaikan al-wukuf (berdiam, berhenti atau menunggu). Kawasan tandus, sunyi dan kering itu, merupakan maqam ma’rifabillah (zona pencapaian spiritual Ilahi).
Di malam hari, wilayah tersebut teramat menggetarkan sekaligus mendebarkan. Angin menebar tiada lelah. Hembusan bayu menembus deras kulit. Rasa dingin yang dihembuskan menerpa sampai tulang yang membuat badan menggigil. Langit yang gulita turut mendegupkan jantung.
Di siang hari, angin liar tak jua surut. Sinar surya yang tiba dari peraduannya tak kuasa mengusir bayu. Dalam suasana semacam itulah, Nabi Adam bersua kembali dengan istrinya (nama Siti Hawa berasal dari dongeng Israiliyat yang sarat kedustaan).
Monumen pertemuan manusia pertama tersebut, tetap kokoh di Jabal Rahmah (Bukit Kasih Sayang). Di pagi hari sebelum wukuf, banyak jemaah berbondong-bondong mendaki Jabal Rahmah yang terletak di tengah Padang Arafah. Mereka berniat melihat lempengan cadas tempat Nabi Adam melampiaskan rindu-dendamnya kepada wanita yang dinikahi di Negeri Surga.
Dari pertemuan dua insan awal itu, nama Arafah bermula. Arafah berarti “mengenal” atau “memahami”. Puluhan tahun Nabi Adam serta istrinya mengembara untuk saling mencari satu sama lain. Di Jabal Rahmah, keduanya akhirnya kembali saling mengenal setelah terpisah. Di Arafah, manusia pun diharap lebih mengenal Allah. Bahkan, Arafah merupakan ranah pertemuan terbesar secara mondial tiap tahun guna saling kenal-mengenal di antara aneka suku dan bangsa.
Arafah yang biasa dinamakan hari renungan (tarwiyah), juga punya makna lain sebagai pemahaman. Manusia yang menyemut mutlak melakukan ta’aruf (perkenalan) tentang hakikat kehidupan. Mereka harus memahami bahwa antara zuhur dengan maghrib di Arafah adalah miniatur kehidupan di Padang Mahsyar yang terletak di Negeri Akhirat.
Wajib Selama Bernafas
Sebelum kedatangan Islam, wilayah Arafah sudah sangat populer. Padang tandus datar seluas 3,5 x 3,5 km (800 hektar) tersebut, berjarak 25 km dari Metropolitan Mekkah al-Mukarramah arah ke timur. Arafah dikelilingi gunung-gunung batu yang kokoh berdiri.
Di zaman lampau, orang Arab pra-Islam berhaji sebagai warisan dari Nabi Ismail serta Nabi Ibrahim. Selain melaksanakan haji, mereka menyembah pula berhala. Di atas bukit Shafa, masyarakat Arab mendewakan berhala yang dinamakan Isaf. Sementara di pucuk gunung Marwa berdiri berhala yang disapa dengan Nailah.
Menurut sahibul gosip, Isaf bin Ya’ala dengan Nailah binti Zaid adalah sepasang kekasih dari suku Jurhum. Dari Yaman, keduanya bersama rombongan berangkat menunaikan haji.
Ketika Kabah sepi, sejoli itu bercinta penuh nafsu di dalam Baitullah. Keduanya saling bergumul dalam gejolak api asmara yang panas membara. Setelah melampiaskan libido seksnya yang menderu-deru persis tsunami, sontak keduanya berubah jadi batu.
Di samping Isaf dan Nailah, juga Lata (dewi) di Thaif, Uzza (sang perkasa) di Nakhlah serta Manat alias Manawat (si penentu) di kuil suci yang terletak di Qudaid, pesisir Laut Merah, ramai disembah orang Arab Hijaz Sedangkan al-Hubal, termaktub sebagai berhala terbesar dalam Kabah.
Orang Arab kuno menjalankan haji tidak berbeda jauh dengan manasik (tata cara) Islam. Masyarakat Arab seperti puak Khuza’ah, Jurhum, Akk maupun Rahi’ah, melakukan pula wukuf di Arafah. Sementara orang Quraisy berwukuf di Muzdalifah. Publik Quraisy tampil beda di zaman jahiliah lantaran membaiat diri sebagai al-hums (kuat dan keras).
Kekuatan serta kekerasan hati mereka tersebut, ditunjukkan sebagai keangkuhan. “Kami ini qathiinullah (tetangga Baitullah)”, sembur komunitas Quraisy penuh rasa bangga.
Arafah merupakan medan laga. Jemaah yang berasal dari mana saja wajib ke sana. Orang yang sepuh dan sakit mesti dipaksa sekuat tenaga ke Arafah. Jemaah yang tak bisa berjalan harus dipapah. Orang yang berbaring lemah mesti ditandu. Selama masih bernafas, mereka mutlak menginjakkan kaki di hamparan Arafah yang berpasir.Di Arafah, jemaah berkonsentrasi tanpa putus dalam melaksanakan wukuf. Kala mentari tergelincir (zuhur) sampai tenggelam di ufuk barat (maghrib), lautan hujjaj tiada henti mengagungkan Allah.
“Ya Allah, ya Rabbi, selamatkan kami di dunia serta di akhirat. Subhanallah. Alhamdulillah. Allahu Akbar. La ilaha illallah, Muhammadarrasulullah”, merupakan zikir yang sambung-menyambung terucap.
Arafah menjadi wilayah laga demi merebut predikat haji mabrur (diterima). Sebab, seperti diriwayatkan sebuah hadis bahwa: “Haji itu adalah di Arafah”. Nabi Muhammad pun berseru kalau doa yang paling afdal terdapat di hari Arafah. Rasulullah juga bersabda bahwa: “Tiada hari yang paling banyak Allah menentukan pembebasan hamba-Nya dari neraka kecuali di hari Arafah”.
Taubat dari Kemaksiatan
Sesudah melewati prosesi di Arafah, berarti, inti keseluruhan ibadah haji telah rampung. Karena, alhajju ‘arafah (haji adalah di Padang Arafah). Para kafilah dari penjuru buana lantas diperkenankan menuju ke Kota Mina buat meraih gelar “al-Hajj” (haji).
Di kampung-kampung terpencil, titel haji teramat agung. Sebab, tidak semua umat Islam diundang oleh Allah guna melihat sekaligus merasakan Mekkah yang serba haram.
Di kota suci tersebut, haram mengambil segenggam tanah untuk dibawa pulang ke Tanah Air. Kemudian haram membunuh binatang sekalipun lalat dan haram mencabuti rumput yang tumbuh.
Gelar haji yang diperoleh merupakan perisai. Wujudnya harus membentengi diri agar tidak berbuat semau gue atau suka-sukaan tanpa batas aturan. Dengan predikat haji, berarti, ibadah seyogyanya dilakukan dengan kekuatan 200 persen. Nafsu mesti dikekang supaya tidak dikendalikan sifat megalomania. Apalagi, banyak yang mengejar harta serta jabatan tanpa mempertimbangkan bahwa pengabdian kepada komunitas lapis bawah lebih mulia.
Kewajiban hidup pada esensinya tiada lain bersujud di hadapan Allah. Karena, citra diri (self consept) berupa harta dan jabatan tidak bakal ikut dengan pemiliknya masuk ke liang lahat.
Tiap individu yang sudah mengarungi medan Arafah diharap memiliki inovasi berantai dalam membangun kehidupan rohani. Fenomena itu mengemuka akibat manusia secara komprehensif telah mengidentifikasi diri agar lebih bertakwa. Apalagi, Arafah adalah momen berkah demi mengusir segala bentuk spekulasi liar kehidupan. Arafah merupakan proses dari kehampaan jiwa (spiritual vacuum) kepada pemaknaan hidup secara maksimal sesudah bertaubat dari segenap kemaksiatan.
Kembara berujung kemenangan bagi para alumnus Arafah mutlak melahirkan instrumen wawasan keimanan. Dengan nilai-nilai sejati wukuf, niscaya energi eksplosif haji akan menjadi penggerak dalam mencapai ridha Allah. Apalagi, di era spektakuler dengan jargon globalisasi ini, hidup dalam naungan Ilahi telah menjadi the icon of the modern lifestyle.
(Republika, 18 Januari 2005)
(Republika, 18 Januari 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar