Ekonomi Syariah sebagai Terapi Krisis Moneter
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Ekonomi
Memasuki tahun 2006, terbetik kabar kalau pertumbuhan ekonomi akan melambat. Menurut vice president Bank Dunia untuk Asia Pasifik Dr Jamaluddin Kasum, hal tersebut terjadi lantaran proses penyesuaian bahan bakar minyak (BBM) yang over killing. Kemudian lambatnya transisi pertumbuhan modal. Di samping itu, pengeluaran sektor sosial bakal mengakibatkan pertumbuhan ekonomi terseok-seok di awal 2006.
Sebulan setelah kenaikan BBM, inflasi memang mencapai 8,7 persen. Fenomena tersebut menunjukkan bila laju inflasi periode Januari-Oktober 2005, mencapai 15,65 persen. Angka itu merupakan yang tertinggi dalam empat tahun terakhir. Sebagai indikator penting bagi perekonomian negara, maka, inflasi wajib dipandang secara kritis. Sebab, inflasi yang melonjak tinggi bermakna gong marabahaya.
Pada saat ini, tercatat jika sejak Maret 2005, jumlah utang Indonesia mencapai Rp 1.282 triliun. Angka fantastis nan bombastis tersebut, setara dengan 52 persen dari produk domestik bruto. Komposisi utang itu ialah 49 persen utang luar negeri. Sementara 51 persen utang dalam negeri.
Kini, terhampar kalau ekonomi Indonesia terpuruk dalam kasta onde-onde. Negeri gemah ripah loh jiwani ini, cuma unggul atas negara-negara Afrika seperti Malawi, Uganda, Kenya, Zambia, Mozambik, Zimbabwe, Mali, Angola dan Chad. Peringkat daya saing pertumbuhan (growth competitiveness index) Indonesia, nyaris tak beda dengan Ethiopia yang pernah hancur-lebur oleh perang serta wabah kelaparan.
Koes Plus yang pernah mengibaratkan bumi pertiwi ini teramat subur-makmur, pasti kecewa berat setengah mati. Karena, syair lagunya bertolak belakang dengan kenyataan. “Bukan lautan hanya kolam susu. Tongkat dan kayu jadi tanaman”.
Pada kurun yang bersamaan, negara-negara industri maju terlihat makmur sejahtera. Ihwal tersebut terkait dengan komitmen yang teguh pada prinsip ekonomi pasar bebas. Inggris, umpamanya, membuka diri untuk arus barang dan modal sejak abad ke-18. Amerika Serikat (AS) maupun sebagian Eropa mengikutinya pada 1870-an.
Ketika Perang Dunia I meninggalkan jejak kehancuran, maka, negara ikut campur dalam elemen ekonomi. Hingga, diterapkan proteksionisme pada 1930-an.
Langkah itu ternyata keliru. Sebab, terjadi kepelikan politik serta ekonomi. Depresi Besar (Great Depression) malahan melanda AS. Alhasil, negara menutup rapat pasar domestik. Bahkan, menerapkan pula tarif tinggi.
Kebijakan tersebut akhirnya kian memperparah keadaan yang sudah semrawut. Akibatnya, terjadi sikap saling memusuhi. Fasisme pun sontak bangkit. Puncaknya tiada lain Perang Dunia II yang berkobar membara.
Spirit Bisnis
Kala ekonomi konvensional yang berpaham materialisme-sekularis disorot tajam, sekarang menggeliat Ekonomi Syariah. Instrumen Islam itu bukan sekedar nidham al-iqtishad (sistem ekonomi). Karena, Ekonomi Syariah mendorong insan planet bumi menuju ke arah real welfare (kesejahteraan hakiki).
CC Torrey dalam The Commercial Theological Term in the Koran menerangkan bila al-Quran memakai 20 terminologi bisnis. Ungkapan tersebut malahan diulang sebanyak 720 kali.
Komitmen Ekonomi Syariah yakni pertumbuhan, kontinuitas, menyeluruh dan keberkahan. Empat faktor itu merupakan landasan demi memulihkan ekonomi Indonesia yang sakit-sakitan. Selain untuk mengobati krisis moneter, juga empat elemen tersebut didambakan membawa kegairahan yang kondusif di wilayah regional sekaligus internasional.
Konstruksi itu menegaskan jika Islam mewariskan sistem perekonomian. Sebab, ajarannya mengandung spirit dagang serta nilai komersial. Kendati Ekonomi Syariah tidak mengenal bunga, namun, metodenya tidak merugikan. Bank syariah, misalnya, berpraktek dengan akad mudharabah (bagi hasil), musyarakah (joint financing) dan murabahah (debt financing).
Lembaga keuangan Islam bukan semata mengejar keuntungan. Karena, dianjurkan mencari nafkah di seluruh pelosok tanah di bawah langit, asal jangan menzalimi orang lain. Dipersilahkan berbisnis, dengan catatan tidak merusak ekologi. Semua tindak perniagaan mutlak tunduk pada keharmonisan serta kompromi kebaikan. Sebab, aspek yang hendak dicapai adalah stabilitas kesetaraan. Hal itu pula yang membuat Islam menekankan zakat. Instrumen tersebut merupakan elemen pertama yang didayagunakan Nabi Muhammad dalam mengentaskan kemiskinan. Di samping mengurangi kefakiran, zakat sebagai unsur fiskal Islami, juga diterapkan dalam pengembangan bisnis.
Posisi zakat yang mengedepankan pemerataan itu, membuatnya dinamakan al-barakah (pemberi berkah) dan an-nama’ (pertumbuhan). Kedudukan yang sangat cemerlang tersebut, membuat zakat sebagai maliah istima’iyah (pemilik posisi strategis).
Jalan Kemakmuran
Ekonomi Syariah merupakan solusi bagi dunia yang kini pengap oleh globalisasi neo-liberalisme. Apalagi, perangkat neo-liberalisme terkadang mengusik demokrasi. Karena, memberi hak veto kepada para investor. Akibatnya, investor seenaknya membatalkan kebijakan pembangunan nasional yang tak melayani kepentingan mereka. Gejala itu menunjukkan kalau model ekonomi kapitalisme cuma mengabdi pada kepentingan pemilik modal. Hingga, terhampar monopoli serta penerapan aturan harga. Orang pun hidup dalam suasana “siapa kuat berarti ia pemenang” (survival of the fittest) yang nihil etis humanis.
Kapitalisme sebagai pilar ekonomi konvensional hanya melahirkan ketimpangan. Sistem kapitalisme yang berbasis bunga bank (riba), justru menyengsarakan roda perekonomian. Apalagi, duit cuma berputar pada segelintir orang.
Fenomena tersebut membuat sebagian ekonom non-Muslim mengharamkan riba. Bahkan, menyejajarkan pelaku riba dengan pembunuh. JP Proudhon dalam buku What is Property, berargumen bila riba merupakan pemicu utama lumpuhnya kegiatan komersial dan industri.
Ekonomi Syariah sebagai sistem ekonomi yang adil serta transparan adalah terapi jitu bagi umat manusia. Sebab, nilai-nilai Islam yang diimplementasikan secara efektif dan konsisten, akan menekan inherent risk. Selain itu, bakal mendorong reputasi serta perkembangan yang lebih tinggi sekaligus stabil. Alhasil, pertumbuhan ekonomi di Tanah Air bisa dipulihkan. Dana Moneter Internasional (IMF) tak perlu lagi mendiktekan hasratnya yang sering berdasarkan pertimbangan ideologi dan politik. Karena, statistik Ekonomi Syariah akan melempangkan jalan tol kemakmuran.
Di masa sekarang, pertumbuhan lembaga keuangan Islam di dunia terus membumbung melampaui dua digit. Perkembangan tersebut tidak lepas dari kafilah neo-revivalis (pembaru pasca-kaum modernis) yang melaknat riba.
BBM yang meroket tinggi, transisi perubahan modal maupun mengeluaran sektor sosial, bukan lagi alasan bagi macetnya pergerakan ekonomi Indonesia. Sebab, dengan Ekonomi Syariah, semua deraan krisis bakal ditangkis sekaligus dipatahkan. Apalagi, pertumbuhan Ekonomi Syariah dilandasi masyarakat luas (based on poor groups) guna memenuhi kebutuhan jasadiyah maupun ruhaniyah. Di samping itu, juga zakat menjadi sistem yang kukuh sebagai garda terdepan kebijakan fiskal. Hingga, Ekonomi Syariah bisa mempertautkan antara kombinasi moral dengan distribusi kemakmuran dalam prinsip Ilahiyah yang rahmatan lil alamin (rahmat bagi alam raya).
(Fajar)
(Fajar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar