Kala Amerika Bergoyang Dangdut
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Kekristenan serta Sejarah Yesus Kristus
“Penuh dengan rupa-rupa kelaliman, kejahatan, keserakahan serta kebusukan. Sarat oleh dengki, pembunuhan, perselisihan, tipu muslihat dan kefasikan” (Roma 1: 29)
Kalam Alkitab di atas sangat nyata menggambarkan watak Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan George Walker Bush. Apalagi, awal Agustus 2004, Paman Sam meningkatkan derajat kewaspadaan di lima kantor pusat lembaga keuangan di AS. Bush menyatakan AS dalam bahaya, menyusul adanya ancaman serangan Al Qaeda di sejumlah kota di wilayah AS.
Gedung bursa saham New York Stock Exchange serta Citigroup di Manhattan, Prudential Finance di Newark, Bank Dunia dan IMF di Washington, mendapat prioritas keamanan siaga dua (jingga). Sepanjang hari aparat kepolisian terus memantau detail perkembangan.
Sebenarnya info yang menjadi rujukan Bush tergolong kedaluarsa. Sebab, informasi yang mendorong keputusan itu, berasal dari laporan intelijen sebelum 11 September 2001.
Walau usang, tetapi, di mulut Bush info tersebut tetap menyengat. Sang presiden paham bahwa rakyat AS hidup dalam bayang-bayang ancaman terorisme. Alhasil, mereka gampang dikontrol dengan menakut-nakuti mengenai serangan teroris.
Di samping itu, terjadi pengkhianatan media -khususnya televisi- lantaran jaringan tersebut, dikuasai korporasi mapan yang pro-Bush. Banyak pers AS bersatu-padu mendukung kebijakan Bush. Sebagian media besar yang memiliki reputasi tinggi dengan investigasi akurat berkelas Pulitzer, justru bertekuk-lutut menjadi corong propaganda Gedung Putih.
Boneka dari India
Bush menebar ketakutan di AS dengan kartu trufnya yang berlabel terorisme. Sementara di Indonesia menderu-deru musik dangdut yang makin meresahkan sejak Inul Daratista berkibar dengan goyang ngebor.
Siaran pornografi di media massa teramat memprihatinkan. Karena, biduanita tidak risih menari erotis dengan celana ketat. Jarang penyanyi wanita yang tak menonjolkan ketiaknya yang putih mulus tanpa bulu. Bahkan properti pribadi seperti buah dadanya asyik digoyang-goyangkan sampai terburai. Hingga, nyaris jatuh melenting. Sedangkan pinggulnya digerak-gerakkan layaknya orang yang sedang beraktivitas ranjang dengan gaya dog style.
Dangdut adalah paduan gambus (irama padang pasir) dengan tabla dari India. Jejak hikayat menuturkan kalau tabla dibawa ke Arab oleh pengikut Nabi Ibrahim. Kafilah itu melewati Iran, Babilonia serta Palestina. Setelah unsur sungai Gangga memperkaya dangdut, maka, kaum Melayu tak lagi menilai musik itu sebagai irama Melayu.
Pengaruh gaya India dalam dangdut, terlihat lewat ekspresi wajah, gesture dan goyang pinggul yang aduhai. Faktor India tersebut yang membuat Tim Peneliti Lagu-lagu Melayu Radio Republik Indonesia, cenderung menolak dangdut ke dalam jajaran irama Melayu. Mereka menyebut dangdut sebagai “orkes tabla”. Pada esensinya, dangdut sudah dimodifikasi dari segi musikalitas. Bunyi gendang serta suling yang dominan, telah diimbangi dengan suara piranti musik lain.
Saat gambus mulai pudar, maka, era dangdut segera menjulang. Apalagi, sesudah unsur-unsur Hindustan padu dalam lagu Boneka dari India yang dilantunkan Ellya Khadam. Lagu yang diciptakan Husein Bawafie pada 1956 itu, tertera sebagai lagu dangdut pertama. Setahun berselang, Husein mendirikan orkes yang dinamakan Chandralela. Kebangkitan dangdut, akhirnya menandai terjungkalnya irama gambus dalam percaturan musik.
Masuknya wujud Hindustan ke irama dangdut tidak lepas dari Demokrasi Terpimpin di masa Presiden Soekarno. Ketika itu, penguasa membendung banjir film Barat. Akibatnya, pengaruh film India teramat terasa dalam kehidupan masyarakat.
Istilah “dangdut” (dari suara gendang), pertama kali digunakan pada 1972. Ungkapan tersebut merupakan ejekan kawula muda rock di Bandung. Penamaan dangdut adalah fenomena onomatopoeia (bentuk kata berdasar bunyi), yang cenderung meremehkan.
Sukma Erotis
AS dan dangdut mempertontonkan dunia vulgar. Bush menakuti warganya secara berlebihan perihal ancaman terorisme. Sementara dangdut menghibur dengan tarian erotis yang merobohkan iman.
Dengan menjual isu terorisme, maka, Bush bisa tetap duduk di Ruang Oval sekaligus minum teh di Rose Garden, Gedung Putih. Apalagi, sosok Osama bin Laden yang sebenarnya membuat Bush menjadi berharga pasca 9/11 (nine-eleven).
Sedangkan dangdut menyuguhkan pornoaksi demi meraih keuntungan. TV yang menayangkan butuh rating guna meraup iklan.
Alibi Bush bahwa AS berada dalam bahaya, sungguh naif. Sebab, orang yang masuk ke dalam wilayah AS dipantau ketat secara sistematis. Siapa saja yang masuk ke daratan AS bakal menjalani prosedur pemeriksaan oleh Transportation Security Administration maupun Customs Service. Pemotong kuku serta pisau lipat saja, susah lolos. Apalagi, kendaraan truk bermuatan bom untuk menghancurkan institusi-institusi keuangan.
Datang ke AS susah, namun, mendatangi pertunjukan dangdut yang menekankan goyang pembangkit syahwat di Indonedsia, mudah. Di AS, penyanyi yang mengandalkan blondness, beauty and bustiers (pirang, cantik serta montok), dilanda badai perlawanan. Britney Spears, contohnya, yang lihai memajang tubuh seksinya, sekarang gencar diserang
Citra yang dibangun Britney berupa pamer pusar, menuai kritik pedas. Ia bergeming, malahan memajang fotonya di sampul album terbaru In The Zone, yang cuma mengenakan cawat tanpa kutang. Rambut genitalnya yang hitam, terlihat menyembul dan merambat.
Di AS tarian seronok Britney dicaci, tetapi, di sini penampilan biduanita belia itu ditiru penyanyi dangdut dengan penuh takzim. AS anti-Britney, namun, orang Melayu cinta dangdut yang dirasuk sukma cabul yang menimbulkan histeria seksual.
Kecintaan kepada dangdut versi vulgar yang memantik rangsangan nafsu birahi tersebut, serupa dengan Bush. Presiden AS yang licik serta bermuka badak itu, sangat doyan memainkan istilah terorisme. Ia tidak punya sense of urgency (kepekaan nurani) terhadap struktur kemanusiaan. Bush pantang mundur dengan term terorisme, sebagaimana masyarakat Nusantara terus maju dengan dangdut ala streptease yang tidak dilandasi perangkat kesusilaan.
AS dan dangdut seyogyanya memahami instrumen kehidupan. Pekerjaan bukan sekedar mengejar ambisi politik guna merebut kursi kepresidenan. Rutinitas tidak hanya mencari laba raksasa lewat tayangan-tayangan berbau porno di televisi.
Inti kehidupan yakni tindakan nyata untuk saling menghargai. Karena, tidak ada individu yang tidak memerlukan manusia di sekitarnya. Orang-orang yang berada di sekeliling adalah makhluk yang juga memiliki pikiran serta emosi. Bukan insan yang bisa seenaknya dijadikan tumbal demi mencapai tujuan politik atau mengeruk keuntungan finansial.
“Murka dan geram kepada mereka yang mencari kepentingan sendiri, yang tidak taat kepada kebenaran, melainkan tunduk pada kelaliman” (Roma 2: 8).
(Gloria Edisi 213 Agustus 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar