Winnie Mandela
Oleh Abdul Haris Booegies
Ratusan tahun sesudah mereka wafat, lahir wanita-wanita dengan identitas modern di berbagai bidang. Pada dasawarsa 80-an dan 90-an, muncul Lady Diana serta Madonna sebagai perempuan paling populer di seluruh tapak negeri.
Dunia yang dilanda resesi moral, tak pernah jenuh mendendangkan nama istri jelita Pangeran Charles maupun janda gemerlap Sean Penn, Madonna, itu. Selain Lady Diana dan Madonna, juga Winnie Mandela ramai dibincangkan pada dekade ini. Istri Presiden Nelson Mandela tersebut, sangat seronok diberitakan media massa internasional akibat ulahnya yang meledak-ledak. Karakternya bersepuh ambisi dengan menghalalkan segala siasat. Ia malahan terkenal punya watak pembangkang. Sifat itu pula yang membuat Mandela mendepaknya setelah berjuang bersama dalam menghalau kezaliman rezim Apartheid Afrika Selatan.
Winnie yang bernama asli Nomzamo Winifred Madikizela, lahir di distrik Pondoland, Transkei, Afsel, pada 1936. Nama Nomzamo bermakna “mereka yang beraksi dalam perjuangan”. Sedangkan nama Winifred diberikan oleh orangtuanya yang guru sejarah sebagai rasa hormat kepada seorang misionaris Jerman.
Di masa kecil, Winnie yang berasal dari etnis Xhosa sudah akrab mendengar dari ayahnya perihal kegagahan sukunya dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialis kulit putih. Ketegaran bangsanya itulah yang menempa semangat Winnie dalam melewati variasi kehidupan.
Winnie yang sempat menggembala ternak, kemudian hijrah ke Johannesburg untuk belajar pediatri sosial. Pada Natal 1955, ia bertemu Mandela yang dikaguminya. Winnie lantas mengarungi bahtera kehidupan bersama tokoh pujaannya pada 1958.
Kebahagiaan yang mereka nikmati berakhir kala Mandela dijatuhi hukuman seumur hidup atas perbuatan subversif pada 1964. Winnie pun dialienasi dan berada di bawah ancaman pemerintah Apartheid.
Wanita yang dijuluki si “Elang Besi” tersebut, malahan sempat meringkuk di hotel prodeo selama 17 bulan pada 1969-1970. Winnie lalu hidup di pengasingan di Brandfort selama 1977 sampai 1985. Meski berstatus tahanan rumah yang wajib lapor tiap pekan, namun, ia tetap aktif dalam pekerjaan sosial serta pendidikan.
Perjuangan Winnie kemudian ternoda ketika ia bersama pengawalnya terlibat dalam pembunuhan Stompie Seipei pada 1988. Mei 1991, wanita kontroversial itu dihukum penjara enam tahun gara-gara menculik dan menganiaya. Winnie yang bersahabat dengan Hazel Crane (mafia intan di Afsel), akhirnya bebas dengan membayar uang jaminan.
Pada 13 April 1992, Mandela pisah rumah dengan Winnie atas tekanan politik ANC. Pemutusan hubungan tersebut dinilai mutlak dilaksanakan supaya citra Mandela tidak tercoreng. Maklum, Winnie tak jera dikeroyok tuduhan yang merusak reputasi Mandela. Perpisahan itu mengungkap pula kalau Winnie memiliki kisah asmara dengan seorang pengacara muda. Walau berpisah, tetapi, Mandela yang terpilih menjadi presiden masih bermurah hati mengangkatnya sebagai Deputi Menteri Kesenian, Kebudayaan, Sains dan Teknologi.
Selama 1995, Winnie yang ultra-militan sudah mengukir sederet daftar dosa. Winnie yang populer di mata rakyat, malahan mengeritik pemerintahan Mandela yang menurutnya telah mengecewakan warga kulit hitam. Ia berpendapat bila kepemimpinan Mandela terlampau akomodatif kepada kepentingan kulit putih.
Perilaku vulgar serta pernyataan minor Winnie, bukan sekadar memperlihatkan geliat feminisme yang tengah melanda Afsel. Winnie sebagai the only one in Africa, justru menunjukkan satu sisi tabiat perempuan yang tak segan menentang suami.
Ia tidak merasa riskan mengkhianati sosok publik dan pribadi Mandela yang selalu mendukungnya tanpa syarat. Winnie yang menjadikan Liga Wanita ANC sebagai basis kekuatan dalam menapak karier politik, malahan berambisi pula menyaingi Mandela untuk menduduki kursi presiden.
Figur Winnie akhirnya mengetuk nurani jika dunia membutuhkan perempuan saleh yang dapat mewujudkan kerjasama dengan suami. Bumi yang elok mendambakan ketegaran Maryam binti Imran yang mampu meredakan amukan nafsu jahil di sekelilingnya.
Masyarakat mutakhir yang dibentak keresahan, mengharapkan ketabahan Khadijah binti Khuwailid yang berhasil membantu perjuangan mulia agamanya. Arus aktivitas dinamika kreatif umat manusia, juga merindukan kelembutan Fatimah az-Zahra yang setia mendampingi sang suami dalam membangun cita-cita luhur.
Dunia modern yang ultra-kompetitif tidak memerlukan tipe Lady Diana yang pendiam di depan massa. Bumi yang bergolak oleh aneka nuansa pembaruan tidak membutuhkan pula wanita liar, binal serta gatal yang punya 1000 karakter setan semacam Madonna.
Turnamen-turnamen kehidupan pun tak menghendaki kaum Hawa semacam Winnie yang agresif, emosional dan revolusioner. Soalnya, sifat mengkhianati perjuangan yang telah ditata apik maupun melakukan aksi perbuatan kotor, hanya mempertontonkan kekerdilan jatidiri perempuan sebagai monumen moralitas bangsa.
“Sungguh, Allah tiada menyukai orang-orang yang berkhianat lagi bergelimang dosa” (an-Nisa: 107).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar