Aktualisasi Keislaman Mahasiswa
Oleh Abdul Haris Booegies
Ali, putra Abdul Manaf alias Abi Thalib, tiada lain saudara misan Rasulullah. Ia mengawini Fatimah az-Zahrah al-Batul, putri Nabi Muhammad. Ali, kelak menjadi khalifah keempat yang bergelar Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhahu. Selain kepala negara yang jago memainkan Zulfiqar, pedang saktinya, ia pun disucikan sebagai Imam Syiah.
Ketika tercatat sebagai mahasiswa, yang khusus mendalami ajaran Rasulullah, ia sudah mempertontonkan keteguhan iman. Kala itu, di suatu malam yang lembab, Jumat, 12 September 622, para punggawa Quraisy dari Republik Jahiliah melangkah menyerbu rumah Nabi Muhammad. Ali, dengan hati suci tidur di atas dipan Rasulullah. Udara yang menusuk setelah siang membakar dengan panas 45 derajat Celcius, seolah mengantar kelelapan Ali. Ia ikhlas mempertaruhkan nyawanya untuk dikirim ke alam Ilahi. Ia rela tubuhnya dicabik-cabik pedang para pembunuh yang haus darah.
Detik yang menentukan, saat nyawa serta jasad begitu dekat dengan cengkraman maut, lindungan Allah tiba-tiba membaur. Pedang yang menyilaukan mata sembari memantulkan sinar kemilau ke dinding, tersentak oleh kekagetan para pembunuh. Ali yang berbaring seraya menghangatkan raga dengan selimut, tetap pasrah. Ia menghitung detak jantungnya yang berirama keras. Sabetan pedang panjang ternyata tak kunjung merobek dagingnya. Tahu bila Nabi Muhammad bersama Abu Bakar Shiddiq lolos, para pembunuh mundur. Kaki mereka berat. Kegalauan mengungkung. Mereka kecewa.
Tatkala Ali merentangkan tubuh yang dipagari kemarahan, nafsu dan pedang, maka, ketika itu tergambar bahwa seorang cucu Adam, telah menyelamatkan jiwa pembawa konsep kemanusiaan. Ia melawan kesendiriannya sambil menghadapi maut. Ia mengukur deras alir darahnya yang mendesir. Ia pasrah dirobek pedang angkuh. Kala itu, ia seorang diri. Tanpa kawan!
Roh Berdendang
Bilal bin Rabah atau Bilal Muazzinur-rasul adalah Black Moslem asal Habsyi (Ethiopia). Kelak, namanya lestari sampai Mukmin di Amerika Serikat menamakan diri Muslim Bilali (para pengikut Bilal). Bahkan, koran mereka bernama The Bilalian News.
Sebagai budak yang bekerja di bawah kemewahan Umayah bin Khalaf, kapitalis Mekkah dari keluarga Jumah, Bilal termasuk orang pertama memeluk Islam sesudah Sitti Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar Shiddiq, Zaid bin Haritsah serta Sa’ad bin Waqqas. Keislaman Bilal yang back street, rupanya diendus oleh Umayah. Alhasil, demi Lata dan Uzza, Bilal pun diseret.
Saat terik memanggang paras bumi, Bilal menerima deraan siksa. Dengan badan terikat, ia dicambuk agar tetap mengakui eksistensi Lata serta Uzza. Mulut Bilal yang rapat oleh keyakinan ajaran Rasulullah, tetap tak bergeming.
Kemarahan pun memekik dari ujung kuku ke ujung rambut Umayah. Bilal mesti disiksa oleh alam yang ganas. Ia dibaringkan di atas cadas, lalu perutnya ditindih batu. Tangan dan kakinya diikat. Bilal menggelepar oleh ketakmampuan mengatur nafas. Denyut nadi yang naik-turun, seirama dengan melodi bibirnya, yang mendendangkan keesaan Sang Maharaja di Singgasana Arasy.
Cahaya keimanan bertemu dengan sinar mentari. Persinggungan kedua nur ini, membuat udara bening dari pernik-pernik hawa panas. Jasad kasar Bilal melepuh. Roh halus Bilal berdendang.
Bilal sudah menguji imannya. Cambuk telah menyobek dagingnya. Perih sudah menusuk syarafnya. Surya telah membakar kulitnya. Darah sudah kering serta kristal keringat yang keluar dari pori-porinya membersihkan debu padang pasir yang melekat di badannya.
Bilal menghadapi semua cobaan ini. Ia bangga menciptakan tempat kudus di pelupuk hatinya. Iman mesti di semaikan. Lambang keteguhan iman, telah ia persaksikan. Tanpa seorang pun peduli oleh perihnya cabikan cemeti. Ia tabah. Ia seorang diri. Tanpa teman!
Meremas Mengelus
Ali bin Abi Thalib bersama Bilal bin Rabah, memperlihatkan bahwa jatidiri iman, teruji dengan perkasa oleh kesendirian. Ia bukan hanya Muslim ketika berdua, bertiga atau berombongan. Ia tetap seorang Islam, sekalipun saat berteman kesendirian. Ia tabah. Tak riya (berbuat demi sanjungan). Imannya tetap mekar oleh deraan di sekeliling. Kala ia seorang diri. Seorang diri!
Beratus tahun kemudian, cahaya Islam tegak lurus di bumi Nusantara. Mahasiswa Islam bebas menafsirkan fenornena alam. Bebas menginterpretasikan ajaran Islam sesuai konsep al-Qur’an dan Hadits. Hingga, lahir si Boy, yang catatan-catatannya menggemaskan. Ironi golongan hura-ria anak muda Islam. Mungkin juga kelompok sempalan yang ekstrim. Barangkali pula kesadaran menikmati formula Islam yang bisa diterima rasio mahasiswa.
Di antara beberapa syiar Islam, model si Boy serta Islam Kampus (mahasiswa yang menggebu minatnya tentang Islam), paling jelas terlihat. Si Boy, yang diperankan Onky Alexander, memang menarik. Seorang remaja handsome, rich dan famous di kalangan anak muda metropolitan.
Mulutnya bisa komat-kamit membaca wirid. Tangannya lunglai di sela tasbih yang dipegang. Aneh, mulut yang fasih mengucap alhamdulillah berikut astagfirullah tersebut, ia gunakan pula untuk melumat bibir gadis-gadis. Tangannya yang suci pun ia pakai meremas dada serta mengelus paha. Si Boy memang tak suka mubazir. Di satu sisi ia alim, di sudut lain ia zalim. Sebuah potret kebingungan di sela kebangkitan umat Islam.
Si Boy jelas bukan pemuda Islam yang sesungguhnya. Pasalnya, keadaan masih mempermainkan gejolak hatinya. Ia Muslim ketika suasana memungkinkan. Di pojok lain, ia liberal pula saat kondisi meringankan. Berbeda dengan Ali dan Bilal, yang teguh saat apa saja menghadang.
Generasi si Boy, layak diakui keberadaannya. Sebab, banyak remaja yang shalatnya bagus, tetapi, keusilannya dalam menggoda wanita juga canggih. Bukan cuma sebatas rayuan. Beberapa di antaranya berani menantang dosa serta penyakit. Remaja dari kalangan the haves bisa mengumbar nafsu dengan uang Rp 35.000, tanpa risih. Remaja golongan ekonomi lemah yang dicekik nafsu primitif tak mau kalah. Rp 3.500 ia relakan sekali coba. Sedang remaja indekost, yang kadang telat kirimannya, harus puas bila punya Rp 350. Duit Rp 350 itu sesudah dibelikan sabun, dapat memuaskan dalam kamar mandi. Ditanggung tanpa raja singa dan AIDS.
Potret remaja yang punya ulah begini tak pernah tidak hadir. Shalat seolah cuma aksi gagah-gagahan untuk mengelabui orang supaya ia leluasa dengan perbuatan mungkar. Ini generasi si Boy, generasi bingung.
Prestise Akal
Islam kampus, mesti diakui demikian pula. Bedanya hanya sebatas selaput perawan. Kalau generasi si Boy hura-huranya kental, maka, Islam Kampus lebih intelek. Wawasan cinta (kiss and touch), nyaris tak terdeteksi penglihatan.
Persamaan generasi si Boy dengan Islam Kampus adalah kesendirian yang bisa terombang-ambing. Padahal, letak untuk mengukur sesuatu yakni saat ia tertekan menghadapi gejolak. Tentu juga ketabahannya berteman kesendirian.
Islam Kampus yang kini marak di beberapa perguruan tinggi, teramat menggembirakan. Ada ceramah keagamaan yang ustaz, kyai atau cendekiawannya diundang dari Ibukota. Ada pengajian di rumah sesama rekan seiman. Ada bakti sosial ke daerah-daerah kumuh. Ada pertemuan-pertemuan dengan anak yatim piatu, atau pengidap penyakit lepra. Ada pengumpulan dana untuk rakyat yang menderita kesengsaraan setelah ditimpa bencana. Ada rapat-rapat rahasia untuk membongkar ketakadilan.
Bila tiba bulan suci Ramadhan, kegiatan-kegiatan Islami tersebut terpusat. Tarwih keliling maupun buka puasa bersama dengan kaum lemah berserak-marak di mana-mana. Hati siapa pun bakal bahagia melihat peningkatan yang sangat bergelora itu. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan merupakan janji wajib manusia sebagai khalifatun fil ardy. Untuk membenarkan eksisitensinya sebagai makhluk Tuhan, ia mesti punya hubungan horison dengan manusia. Aspek itu banyak disebut dalam kitab kuning sebagai muamalah.
Harap dimaklumi bahwa kesempurnaan manusia bukan lewat muamalah. Ada satu hal yang sangat menentukan sumpah wajib manusia. Ia harus mempunyai hubungan vertikal, yang dinamakan ibadah.
Sudahkah semua mahasiswa Islam Kampus memenuhi ibadahnya sebagai pemimpin kehidupan? Mikhail Sergeyevich Gorbachev, muamalah-nya sudah membludak. Hatta, dinobatkan Man of the Year sekaligus Man of the Decade. Bahkan, merebut hadiah Nobel dalam bidang perdamaian. Sayang, ibadahnya tak ada. Ia mengingkari ajaran komunis. Gorby malahan mengacaknya dengan Glasnost (keterbukaan) serta Perestroika (restrukturisasi). Gambaran Gorbachev adalah cermin Islam Kampus. Muamalah banyak, ibadah sedikit.
Para aktivis Islam Kampus, boleh bertepuk dada dalam soal kemasyarakatan. Maklum, shalatnya mungkin bagus pula. Masalahnya, tak ada yang tahu bila ia seorang diri. Mungkin seperti si Boy, sang potret bingung.
Menghujat Salman Rushdie, tak ada larangan khusus. Demi Masa! Hidup Bumi dan Langit! Mengapa? “Saya kecewa karena belum membaca The Satanic Verses”. Emosi Islam Kampus meletup oleh Arswendo Atmowiloto yang angkuh serta pengejek. Mengapa? “Kita tak bakal lagi menikmati gadis seronok ceria di halaman lher (keterbukaan) Monitor Minggu”.
Arus informasi yang tak terbendung, memang, bakal merusak berbagai perangkat iman. Dengan demikian, kreativitas muamalah dan aktivitas ibadah, perlu diimbangi pikiran. Children of God yang hampir berjaya di bumi subur indah ini, bukan hanya sukses karena janji-janji muluk. Patut diingat bahwa saat itu, pikiran sudah lemah untuk membedakan kenikmatan dunia fana serta alam baka.
Kini, kreativitas muamalah, aktivitas ibadah dan prestise pikir, mutlak dirangkul erat agar membawa Islam Kampus ke Shirathal Mustaqim. Jika ini sudah menyatu, godam laknat apa pun akan terbendung. Kendati jasad bersahabat kesendirian. Tanpa kawan, tanpa teman!
Abdul Haris Booegies, Pengagum Sasaki Kojiro Ganryu (Samurai Jenius Negeri Matahari Terbit).
(Muwahid No.01/Th.1/April 1991)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar