Kamis, 07 Juli 2011

Film-film Keras di Layar Televisi

Layar Keras
Oleh Abdul Haris Booegies
     Masyarakat Indonesia dan televisi swasta kini sedang berbulan madu.  Bergumpal-gumpal hiburan menawan serta informasi aktual berlomba ketat mengisi layar kaca.  Hadiah-hadiah menggiurkan turut digulirkan pula.  Aneka paket yang ditawarkan kepada penonton itu, bisa lancar berkat anggaran promosi yang sangat meluap.  Pada 1994, misalnya, kue iklan empat TV swasta mencapai Rp. 800 miliar.
     Program televisi yang menonjol dalam menguras perhatian orang-orang yang mulai kecanduan TV (teve-addict) yakni film-film impor.  Arkian, pemirsa mengenal tendangan berantai Jean Claude van Damme, kegesitan tinju Charles Bronson dan sepak-terjang si jelita Cindy Rothrock.  Masyarakat pun sudah fasih mengomel dengan istilah “fuck you”, “bullshit” atau “freeze”.  Bahkan, di film Sniper, didengungkan filosofi “one shot one kill”.
     Film-film yang diputar media pandang-dengar tersebut, memperlihatkan bahwa masyarakat senang dengan tontonan yang penuh gemuruh bak bik buk maupun desingan dar der dor.  Fenomena itu membuat pihak pemasang iklan bersaing mempromosikan produknya dalam acara-acara yang menampilkan kekerasan.  Alhasil, terbentuk suatu mata rantai antara penonton yang haus hiburan, visi bisnis stasiun televisi dengan produsen yang berkompetisi merebut pasaran. Rangkaian tersebut kemudian melahirkan kebijaksanaan yang berorientasi iklan.  Hingga, tayangan berdosis action berlebihan kian berkibar. Akibatnya, program TV dengan tema kekerasan betah menduduki peringkat kepopuleran teratas.
     Paket murahan rakitan Hollywood dengan muatan kekerasan yang meraih rating tinggi di sini, rupanya dianggap garbage film (suguhan sampah) di Amerika.  Aspek itu memperlihatkan bahwa budaya tontonan Amrik sangat berbeda dengan negara-negara Dunia Ketiga.  Sebab, ketika di negeri ini orang terpukau-kagum dengan film keras (Death Warrant, Death Hunt maupun Messenger of Death), maka, tontonan yang memikat hati bangsa Amerika ialah film keluarga (Mr. Doubtfire), galaksi (Star Trek Generations) atau animasi (The Lion King).
     Gejala di Negeri Paman Sam menandaskan bahwa pola pikir serta tingkat ekonomi suatu bangsa, merupakan landasan yang mempengaruhi tradisi tontonan.  Makin tinggi tahta dialektika pemikiran dan kemakmuran status sosial, berarti kian jauh masyarakat dari selera lakon vulgar.
     Amerika kini tidak memberi ruang yang layak bagi sajian kekerasan dengan intensitas tinggi. Pasalnya, lakon kekerasan dinilai menjijikkan untuk ditampilkan.  Amrik yang punya Pendapatan National Bruto (GNP) per kepala senilai 24.750 dolar AS pads 1993, makin muak dengan film keras lantaran episode kebuasan akrab dengan perilaku-perilaku agresif golongan papa di kawasan vandalisme.  Apalagi, suguhan itu gampang menularkan fenomena tindak kriminal yang menumpulkan daya kritis.
     9 Mei 1994, US News bersama UCLA melakukan survei.  Mereka melaporkan bahwa 59 persen responden setuju kalau adegan kekerasan dalam film merupakan problem besar.  Lantas 63 persen menilai bila media hiburan milik mereka justru mendewakan kekerasan. Sementara laporan Komisi Radio Televisi dan Komunikasi Kanada di akhir April 1992, menegaskan jika terdapat indikasi antara penyebab serta dampak kekerasan TV dengan kebrutalan di tengah masyarakat.
     Nancy Signorely, peneliti dari Universitas Delaware, Amerika, malahan menjelaskan kalau dalam 25 tahun terakhir, minimal terjadi lima kecelakaan tiap jam gara-gara pengaruh film televisi. Di sisi lain, Masyarakat Ekonomi Eropa menilai unsur kekerasan dalam film-film Hollywood menjadi faktor penting dalam memantik “proses kebinasaan budaya Eropa”.  Sedangkan National Aryan Youth Council di India, memandang bila ada korelasi antara tingkah laku kekerasan remaja dengan tayangan TV Barat yang dinikmatinya.
      Berbagai tontonan yang menjurus ke arah sadisme, akhirnya menggelorakan ragam ketakutan. Apalagi, film-film beradegan keras mudah mencederai pola pikir dan perilaku.  Bahkan, efeknya sanggup mengacak-acak alam bawah sadar.  Akibatnya, rutinitas keseharian serta ritme pergaulan terganggu lantaran norma kehidupan disambar penganiayaan.
     Urgensi tontonan sehat dibutuhkan masyarakat Dunia Ketiga yang masih tertinggal dalam proses daya akal budi dan pundi-pundi finansial.  Dengan demikian mereka tidak terjerumus dalam dekadensi moral.  Kini, yang dibutuhkan tiada lain suatu mata rantai yang bertanggung-jawab.
     Komunitas pemirsa, industri hiburan serta kaum produsen sebagai suatu kesatuan, dituntut memiliki idealisme luhur untuk menghargai moralitas, pendidikan dan generasi. Sebab, acara-acara yang ditonton hari ini, pada prinsipnya akan menjadi cerminan tunas harapan bangsa di masa nanti.
     Moralitas, pendidikan serta generasi, mutlak memperoleh prioritas perhatian.  Maklum, sinergi ketiganya akan menyeimbangkan nafsu menonton, laba berlapis miliar dan promosi tanpa batas.  Kontrol atas moralitas, pendidikan serta generasi, merupakan pula ayunan langkah dalam melindungi masa depan.  Elemen itu juga berarti menyelamatkan kehidupan dari penganiayaan. “Kami tiada menganiaya mereka.  Mereka sendiri yang menganiaya dirinya. (az-Zukhruf: 76).

(PANJI MASYARAKAT NO. 820 TAHUN, 1-10 SYAWAL H, 1-10 MARET 1995)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People