Siti Nurbaya
(Mitos Cengeng Wanita Indonesia)
Siti Nurbaya, tokoh rekaan Marah Rusli, adalah gadis yang ditebas cintanya oleh faktor ekonomi. Gadis yang berpacaran dengan Samsulbahri itu akhirnya kawin dengan Datuk Meringgih, seorang kapitalis yang juga bos mafia lokal. Cinta suci Siti Nurbaya terhadap Samsulbahri lalu menjadi mitos seperti karya William Shakespeare: Romeo and Juliet.
Dalam artikel Taufik Abdullah: Siti Nurbaya: Roman, Wanita, dan Sejarah, ada kalimat: “Entah sejak kapan, nama ini seakan-akan telah merupakan lambang wanita modern yang teraniaya oleh kekuasaan adat”. Atau penggalan kalimat dalam tulisan, Siti Nurbaya pada Dekade 1990: “tokoh utamanya identik dengan gambaran wanita malang yang menjadi korban adat”.
Sebenarnya, tidak tepat bila Siti Nurbaya dikatakan terhina oleh hukum adat. Persepsi tentang ketidakberdayaan Siti Nurbaya menghadapi kekuasaan adat banyak dipengaruhi oleh Marah Rusli, dalang cerita itu sendiri. Marah Rusli, misalnya, menghabiskan lima halaman hanya untuk “memaki-maki” Datuk Meringgih.
Penggambaran Datuk Meringgih yang keterlaluan itulah yang menimbulkan image kuat, bahwa benar Datuk Meringgih tokoh antagonis yang brengsek. Hingga mampu menutup celah-celah keberanian Siti Nurbaya menantang kodrat, martabat dan Tuhan.
Penggambaran Datuk Meringgih yang keterlaluan itulah yang menimbulkan image kuat, bahwa benar Datuk Meringgih tokoh antagonis yang brengsek. Hingga mampu menutup celah-celah keberanian Siti Nurbaya menantang kodrat, martabat dan Tuhan.
Siti Nurbaya dikatakan tertindas oleh kekuasaan adat. Adat yang mana? Apakah perkawinannya dengan Datuk Meringgih disebut sebagai penganiayaan adat. Bersandingnya konglomerat dan bunga desa itu bukan karena paksaan dari pihak keluarga Siti Nurbaya. Juga bukan karena adat, tapi murni dilandasi kerelaan oleh ketidakberdayaan membayar pinjaman. Sebab, Baginda Sulaiman, ayah Siti Nurbaya, pun tak ingin putrinya dirampas. “Tak dapat kubayar utang itu,…dan anakku tak dapat pula kuberikan kepadamu” (Siti Nurbaya, halaman 119, cetakan XVI).
Dalam kedukaan dan cengkeraman Datuk Meringgih, Baginda Sulaiman berkata, “Nurbaya, sekali-kali, aku tiada berniat hendak memaksa engkau. Jika tak sudi engkau, sudahlah, tak mengapa. Biarlah harta yang masih ada ini hilang ataupun aku masuk penjara sekalipun, asal jangan bertambah-tambah pula duka-citamu” (halaman 118). Bahkan ia berkata: “Sesungguhnya aku lebih suka mati daripada memaksa engkau kawin dengan orang yang tiada kausukai” (halaman 118).
Ucapan-ucapan ini memperlihatkan betapa kukuhnya Baginda Sulaiman bertahan melawan arus utang yang membelitnya. Ia ternyata tak mampu berkelit. la tak mau menjadikan Siti Nurbaya sebagai tumbal, mengingat cinta putrinya terhadap Samsulbahri. Tetapi itu berarti akhir bagi kehidupannya.
Sebagai ayah, ia mengkhawatirkan masa depan anaknya yang bakal luntang-lantung kalau terjadi perpisahan dengannya. la tentu ingin melihat anaknya bahagia. Maka, demi Siti Nurbaya, ia akhirnya rela masuk bui. Pergolakan batin yang diamuk amarah, cinta dan uang ini, menjadikan Siti Nurbaya menuju ambang pernikahan. “Jangan dipenjarakan ayahku! Biarlah aku jadi istri Datuk Meringgih!” (halaman 119).
Cerita tentu tak bakal panjang andai Samsulbahri tak nekat untuk balas dendam. Sebagai anak muda yang masih dikungkung gejolak hati, ia pun terbakar emosi. Dan pembaca roman Siti Nurbaya pun ikut terlibat membenci Datuk Meringgih. Alhasil, lahir simpati untuk Siti Nurbaya yang tertindas dan Samsulbahri yang berusaha jadi pahlawan.
Yang sangat menggelikan adalah Julia I. Suryakusuma, yang menulis: “Berlawanan dengan citranya sebagai ‘korban’, ternyata Nurbaya berani membuat pernyataan yang sangat radikal: ia bukan hanya menghujat laki-laki, adat, kerabat, bangsa, negara, nasib, dan kodrat, melainkan juga agama dan Tuhan. Semangat perlawanannya ini, yang identik dengan semangat perlawanan Kartini, secara tragis dimatikan oleh kekuatan paternalistik yang terdapat pada zaman itu”.
Kalimat tersebut cenderung berpihak ke Siti Nurbaya. Pernyataan Siti Nurbaya bahwa: “laki-laki diizinkan beristri sampai empat, tetapi perempuan, keluar rumah pun tak boleh” (halaman 205), terasa sangat menjijikkan. Andai saja ucapan ini diikuti, maka wanita bukan saja menghina kodratnya, tetapi, juga merobek martabatnya.
Ini menunjukkan Siti Nurbaya sangat primitif, dan bukan dari kalangan terpelajar. Sebab, cara berpikirnya dangkal. Namun, semua itu harus dimaklumi mengingat Siti Nurbaya adalah wanita, yang tentu banyak dipengaruhi oleh emosi ketimbang akal.
Leila S. Chudori dalam Potret Perempuan dalam Novel Indonesia menulis kekagumannya tentang tokoh Bawuk. “Sebuah tema yang memperlihatkan bahwa dunia perempuan bukan sekadar menunggui suami dan menyediakan makan malam, tapi perempuan dilibatkan ke dalam berbagai aspek dunia yang kompleks”.
Kalimat ini merujuk, betapa ingin sang wanita sama derajat dengan laki-laki. Padahal, organ tubuh saja sudah jauh berbeda, tetapi, mereka tetap saja mengomel untuk diakui sama. Selain menunjukkan kepongahan, kalimat tersebut juga berbicara mengenai dangkalnya pandangan perempuan terhadap jati diri mereka.
Wanita yang meniti karier mesti diakui mampu menambah investasi bagi dirinya. Bahkan bisa mengaktualisasikan kemampuannya seraya memperluas pergaulannya. Namun, di sini pula letak kecelakaan itu. Sebab, kurangnya komunikasi dalam rumah mengakibatkan wanita karier bisa tersenggol affair. Dan seperti diketahui lewat media massa: satu dari sepuluh wanita karier menyeleweng.
Datuk Meringgih bukanlah suami yang diidamkan Siti Nurbaya. Karena ia menginginkan pendamping yang perfect. Sedangkan Datuk Meringgih adalah tipe lelaki yang jauh dari harapan Siti Nurbaya, yang nyaris berjiwa hedonistik. Selain memiliki sifat buruk, Datuk Meringgih pun sudah tua. Tetapi performance Datuk Meringgih yang kotor itu diimbangi pula perangai Siti Nurbaya sebagai istri yang kurang baik dan tidak berbakti. Terbukti, asyik berpelukan dan berciuman dengan Samsulbahri.
Kedatangan the other man yang merupakan bekas kekasih istrinya itu membuat Datuk Meringgih sakit hati. Dan siapa pun akan tergetar marah kalau melihat penyelewengan istrinya, termasuk kapitalis Padang itu.
Selain menyeleweng, yang berakibat wafatnya Baginda Sulaiman, Siti Nurbaya juga mengusir suaminya dari rumah. Suatu sikap yang sangat tercela. Bahkan, ia tega meninggalkan suaminya. Demi nafsunya, Siti Nurbaya nekat ke Jakarta menemui Samsulbahri.
Inikah potret wanita yang menjadi korban adat? Atau gambaran tersebut merupakan pengkambinghitaman adat, agar perempuan bisa bebas merdeka tanpa menghiraukan kodrat dan martabatnya.
Perempuan yang menganggap Siti Nurbaya sebagai lambang penderitaan akibat empasan adat adalah wanita kolot dan cengeng. Sebab, Siti Nurbaya hanya menggugat Datuk Meringgih yang sudah menelantarkannya. Ada pun tuntutannya terhadap kodrat wanita, karena keputusasaannya oleh nasib yang menjadikannya istri Datuk Meringgih. Dan pada akhirnya, timbul kecemburuannya sebagai perempuan terhadap pria. la ingin mengukir sejarah karena tidak leluasa seperti laki-laki.
ABDUL HARIS BOOEGIES
Jalan Veteran Selatan No. 292 A
Ujung Pandang 90133
(TEMPO, 1 Juni 1991)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar