Tasawuf di Kalangan Mahasiswa
Oleh Abdul Haris Booegies
Mahasiswa Sastra Perancis
Universitas Hasanuddin Ujung Pandang
Buku Megatrends 2000 karya John Naisbitt bersama Patricia Aburdene, termasuk langka dan jeli. Karena menulis bahwa satu di antara sepuluh arah baru tahun 1990-an adalah kebangkitan agama. Di negara-negara maju, agama kembali dilirik sebagai obat penawar di tengah era globalisasi. Bahkan, Ayatullah Rohullah Khomeini semasa hidupnya, pernah berkirim surat kepada Mikhail Sergeyevich Gorbachev, agar pemimpin Soviet itu mempelajari Islam.
Sebelumnya, Gorby (panggilan Gorbachev) telah mengoyak komunis dengan perestroika (restrukturisasi) serta glasnost (keterbukaan). Dua ide cermelang sakti ini makin dirindukan realisasinya sesudah Bapak Pembaru Soviet itu nyaris tumbang oleh kudeta yang didalangi kelompok garis keras Marxisme.
Di Indonesia, kemarakan menunaikan ibadah agama sangat menggembirakan. Terlebih para pemuda dan mahasiswa Muslim. Mereka menggemakan ceramah keagamaan yang ustaz, kyai maupun cendekiawannya diundang dari Ibu Kota. Lalu, ada pengajian di rumah sesama rekan seiman. Atau, bakti sosial ke daerah-daerah kumuh sampai pertemuan-pertemuan dengan anak yatim piatu serta penderita penyakit. Dan juga, ada pengumpulan dana untuk rakyat yang menderita kesengsaraan setelah dibekap bencana.
Di antara corak keagresifan nafas keagamaan tersebut, tasawuf pun bergema. Tiupan mistik Islam ini menjalar dan membius generasi muda Islam, khususnya mahasiswa.
Pertanyaan yang melingkar sehubungan ketertarikan mahasiswa dengan tasawuf adalah, masalah kematangan jiwa serta pengembangan ilmu dan teknologi. Kebatinan Islam, bukan ajaran yang mudah dijalankan oleh orang yang kurang pengalaman rutinitas keseharian hidup.
Sufisme sangat terkait dengan usia. Sebab, selain anti-dunia, kemapanan rohani pun harus diuji melalui mujahadah (latih rohani serta pembiasaan derita jasmani), musyahadah (mata batin) dan zauq (kepekaan rasa).
Di sini terlihat, bahwa tasawuf bukan cuma melenyapkan kreativitas berpikir, tetapi, juga menelantarkan bumi dan langit. Karena para penganut sufisme cenderung mengasah emosi untuk kepentingan diri sendiri. Sifat toleransi kepada sesama manusia seakan digadaikan hanya untuk rasa egoistis komunikasi transendental belaka.
Orang-orang yang mengesampingkan duniawi, adalah manusia yang tak lolos seleksi tauhid. Tuhan menciptakan manusia ke dunia ini sebagai the leader. Kalau mereka lari dari tanggung jawab sebagai khalifatun fil ardh, maka, mereka mengingkari jati diri sebagai hamba Allah.
Bila dunia yang cuma satu ini tak digarap, berarti pembangkangan maha besar di hadapan Tuhan. Firman Allah: “Kami jadikan bagi kamu bumi sebagai lapangan kehidupan. Namun, sedikit saja di antara kamu yang bersyukur” (al-A’raf: 10). Dan John C. Green menulis dalam buku The Death of Adam bahwa: “The wisdom of God manifested in the creation of God” (kearifan Allah memantul dari ciptaan-Nya).
Butuh Waktu
Usia saat mahasiswa merupakan tahap awal kehidupan. Hingga, mereka mesti berjuang menjalani kehidupan agar merasakan manis serta pahit getir pengalaman yang dilewati hari demi hari. Ini menunjukkan pula bahwa untuk menjadi Islam kaffah (seutuhnya), dibutuhkan waktu dalam menginterpretasi ajaran Islam. Dan untuk menerapkan al-Qur’an dan al-Hadis dalam kehidupan, maka, perjalanan waktu sangat menentukan. Makin bertambah usia, kian banyak pula elemen yang menggoda untuk menjadikan pribadi lebih arif. Margaret Foster, novelis Inggris menganggap bahwa umur 40 atau setengah baya, sebagai masa kontrol terhadap diri sendiri.
Paham tasawuf harus diakui menuntut kematangan jiwa dalam menghayati ajaran-ajarannya yang berisi syatahat (kata-kata ganjil atau ucapan latah). Dan jika tafsiran intelektualitas kurang memadai, maka, akibatnya sangat fatal. Di sini peran kematangan usia sangat dominan menentukan alur berpikir. Kalau tidak, berarti ajaran sufisme akan menyeret ke jurang yang menyengsarakan.
Al-Hallaj, sufi terkenal yang dihukum mati di Baghdad semasa pemerintahan Khalifah al-Mugtadir di abad X Masehi, sebagai contoh. la dipersalahkan karena telah mengajarkan pengertian-pengertian seperti fana’ fillah (musnah dalam Allah) dan anal-haq (akulah Realitas Absolut alias Allah).
Syatahat semacam ini didengungkan pula oleh Umar bin al-Farid bahwa, ana huwa (aku inilah Dia). Atau ungkapan Abu Yazid al-Bustahi, subhani ma a’zama sya’ni (maha suci aku, betapa maha besar aku).
Pada hakikatnya, tasawuf cuma kreativitas ibadah semata dari orang-orang yang masih bimbang dan ragu dengan imannya. Dalam al-Qur’an, aktivitas berzikir (ibadah), hanya ada dua surat (1,7%). Sedangkan masalah politik dan masyarakat ada 27 surat (22,5%).
Bukti sufisme cuma kreativitas ibadah ialah banyaknya corak kebatinan Islam. Ada tasawuf falsafi yang berisi paduan antara visi mistis dan tinjauan rasional dari Ibn Masarrah. Ada tasawuf panteisme (wihdatul-wujud) dari Muhyiddin ibn Arabi. Ada aliran kesatuan mutlak dari Ibnu Sab’in. Ada konsep cinta Ilahi dari Rabiah al-Adawiyah. Juga ada dasar pemikiran yang menafikan segalanya dari Abu Hasan al-Basri.
Selain warna kebatinan Islam tersebut, masih ada beberapa yang sangat berpengaruh. Malah, banyak aliran sufisme yang menyatu dengan budaya lokal suatu daerah. Hingga, mistik Islam ini ada yang diselewengkan dengan syahwat brutal, bahwa hanya ada dua utusan Allah: Nabi Muhammad dan Yesus Kristus.
Kelahiran dan pertumbuhan tasawuf, banyak dibantu paham-paham dari agama di luar Islam. Walau, pada dasarnya sufisme tetap bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadis.
Buku Esaai Sur 1'histoire de l'Islamisme yang disusun Reinhard P. Dozy, menganggap jika mistik Islam diambil orang-orang Persia. Paham Hormuz (Tuhan Kebaikan) dan Zind Afesta dalam agama Zarathustra merupakan sumber Hak Ketuhanan Raja (Tuhan menjelma dalam Imam). Ajaran ini menyerupai Hakikat Muhammad, ketika orang ingin menyatu dengan Nur Rasulullah
Ancaman Politik
Alfred von Kramer dalam buku Geschicte der Herrschenden Ideen des Islams, menulis bila pengaruh Kristen dan Hindu-Budha (ajaran Vedanta), terdapat dalam kebatinan Islam. Menurut Darwis al-Birawi, ada persamaan cara ibadah dan mujahadah tasawuf dengan Hindu. Dan Reynold A. Nicholson dalam karyanya Literary of the Arabs, yakin bahwa dampak Kristen ada dalam sufisme. Sedang paduan alam pikiran Yunani, ibadat Mesir Kuno berikut kepercayaan Hinduisme yang melahirkan Neo-Platonisme, juga disebut sebagai unsur awal mistik Islam.
Fase ini terjadi karena filsafat Yunani telah membaur di Timur Dekat. Hingga, ungkapan Socrates di gnoti theauton Delphi, “kenali dirimu”, diinterpretasikan oleh kaum sufi yang akhirnya melahirkan sebuah hadis maudhu (palsu) tanpa sadar. Bahwa, “man arafa nafsahu, faqad arafa rabbahu” (siapa kenal dirinya, ia tahu Tuhannya). Alasan pengikut mistik Islam karena ada dulcis hospes animae (titik temu manusia dan Ilahiya).
Masalah sakral lain jika mahasiswa menjalankan tasawuf ialah terhambatnya pengembangan ilmu dan teknologi. Sebab, dengan terbiusnya mahasiswa dengan kebatinan Islam, maka, mereka akan menjauhi persoalan dunia. Disiplin ilmu pun bakal macet. Karena otak mahasiswa yang masih fresh, digiring ke alam mistik. Padahal, telah tercantum firman Allah: “Tiada seorang pun akan beriman. Kecuali dengan izin Allah. Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak menggunakan pikiran” (Yunus: 100).
Tasawuf, memang dapat mengguncang kemapanan tatanan sosial dan bisa pula menjadi ancaman politik. Namun, untuk masuk sebagai pengamal kebatinan Islam, dibutuhkan kedewasaan usia dan kematangan jiwa. Agar, harmoni psikologis tak goyang dililit ajaran sufisme yang sangat pelik. Peran kepribadian pun menjadi alat untuk mengolah hakikat dan eksistensi tasawuf. Bila ini telah menyatu, maka, mistik Islam akan menggiring untuk mencapai aktivitas ibadah demi menggapai lingkaran insan kamil (manusia sempurna).
(Pelita, Senin, 2 September 1991)
_______________________________
Tasawuf, Teknologi dan
Terminator
Oleh Abdul Haris Booegies
Pemimpin Redaksi Media Mahasiswa LEKTURA
Universitas Hasanuddin Ujung Pandang
Apa yang diutarakan tersebut, tentu saja ada benarnya. Namun, pertanyaan yang timbul ialah, mistik Islam yang bagaimana kini melanda mahasiswa. Lalu, bisakah disebut mahasiswa yang menjalani tasawuf menghambat ilmu dan teknologi?
Penamaan sebagai “tasawuf”, sampai saat ini masih simpang-siur. Istilah “tasawuf” diperkirakan bermula dari kelompok pemakai bulu domba (shuf) sebagai pakaian. Trend penutup tubuh dari bulu domba bagi orang yang mencari angin surga, merupakan sikap anti-dunia. Fenomena pakaian modis dan keren di zaman itu, sebagai wujud kemewahan kehidupan, ditinggalkan demi ketakwaan.
Pendapat ini diperkuat as-Sarraj at-Thusi dalam karyanya al-Luma’ serta Ibn Khaldun pada bukunya Muqaddimah. Lalu, ungkapan ahlus-suffah pun dianggap sebagian orang sebagai cikal “tasawuf”. Sebab, sekelompok kaum Muhajirin dan Anshar yang hidup dalam kepapaan serta tinggal di Masjid Madinah, menghabiskan waktu hanya untuk berjihad. Juga, ada anggapan kalau kata “tasawuf” punya hubungan dengan istilah theosophy, yang dalam bahasa Yunani berarti Hikmah Ilahi.
Dari alur pencarian kesamaan sudut pandang mengenai makna kebatinan Islam, tersirat benang merah. Karena terlihat adanya pandangan untuk meninggalkan kehidupan dunia. Kesan menyendiri sangat kuat yang akhirnya memberi citra, bila sufisme memang jauh dari kehidupan sosial.
Orang yang tertarik menjadi penganut mistik Islam, mutlak menjalani mujahadah (latih rohani dan pembiasaan derita jasmani), musyahadah (mata batin) serta zauq (kepekaan rasa). Ma’ruf al-Karkhy mengatakan, siapa yang tidak benar-benar hidup dalam kemiskinan, berarti ia tak menjadi pengikut tasawuf. Lalu, Sahl bin Abdullah menganggap bahwa kebatinan Islam ialah makan sedikit, senyap dengan Allah dan lari dari manusia.
Sum Nun yang dijuluki al-Muhibb (si pencinta), berpendapat kalau sufisme adalah, kamu tak punya apa pun serta tak dimiliki siapa pun. Dalam pandangan Ruaim, mistik Islam adalah kepasrahan. Sebab, membiarkan diri dengan Allah menurut kehendak-Nya.
Interpretasi ini menunjukkan adanya sikap ogah berusaha. Firman Tuhan: “Sungguh, Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, jika mereka tak mengubah keadaannya sendiri” (ar-Ra’d: 11).
Sedangkan Zu an-Nun al-Mishri lebih tegar melihat tasawuf. la mengungkap bahwa pengikut kebatinan Islam ialah orang yang tak suka meminta dan tidak merasa susah karena ketiadaan.
Ragam persepsi ini memperlihatkan adanya suatu pemutusan terhadap lingkungan dunia. Ini menandakan hubungan horisontal sesama manusia (muamalah), hilang demi rasa egoistis terhadap ajaran sufisme. Padahal, untuk mewujudkan diri sebagai khalifatun fil ardh, manusia tak mungkin lepas dari ikatan kemasyarakatan.
Gambaran yang sulit mengenai alasan penamaan mistik Islam, serta adanya tahap pengujian sebelum masuk ke lingkungan tasawuf, merupakan tanda bila paham itu cuma kreativitas ibadah.
Kewajiban-kewajiban dalam ajaran Islam, akan meragukan kalau awal mulanya kabur. Kebatinan Islam dan barzanji, misalnya, sulit membumi sebagai kewajiban universal, karena cuma sempalan. Fungsinya sekadar menjaga kesucian tauhid. Sedangkan, pelaksanaan salat lima waktu, tak pernah digugat. Sebab, sangat jelas eksistensinya sebagai perintah yang diterima Nabi Muhammad dalam saga Isra’ Mi’raj.
Sembahyang, selain sebagai penghormatan hamba untuk Sang Khalik, juga merupakan komunikasi transendental kepada Allah. Sedekah dan zakat pun sangat logis keberadaannya. Kewajiban menolong yang di bawah agar tak dililit kesengsaraan, memperlihatkan adanya timbangan rezeki bagi yang punya harta melimpah. Bahwa kekayaan yang dimiliki cuma titipan sementara dari Tuhan.
Salat dan zakat, adalah mosaik keagungan Islam. Wujudnya sangat berbeda dengan paham-paham yang sekadar memperkaya ajaran Islam. Sufisme, bagaimanapun saktinya membius kaum Muslim, tetap tak bisa menjadi kewajiban umat Islam. Karena mistik Islam hanya kreativitas ibadah semata dari orang-orang yang masih bimbang dengan imannya.
Tasawuf bukan malaikat penolong yang mutlak membawa manusia ke alam benderang. Sebab, jika kebatinan Islam dianggap sebagai shirathal mustaqim yang bakal membawa ke Taman Firdaus, maka, sia-sia umat seiman menegakkan sembahyang lima waktu maupun kewajiban lainnya. Bahkan, ada kesan meremehkan untuk shalat bila sufisme dianggap juru selamat atau dianggap moral agama yang par excellence (sempurna). Padahal, mistik Islam cuma paham asing yang berasal dari berbagai ideologi vulgar masa silam. Walau pada hakikatnya, tasawuf tetap bersumber al-Quran dan al-Hadis.
Rayuan Tasawuf
Mahasiswa yang ingin menjadi pengikut kebatinan Islam, tentu bakal menghambat ilmu dan teknologi. Sebab, akan meninggalkan jati dirinya sebagai the leader. Apalagi, wajib melewati mujahadah, musyahadah serta zauq.
Bila ada mahasiswa yang menganggap diri ikut aliran sufisme tanpa menjalani ketiga proses tersebut, berarti ia tak menerapkan kehidupan mistik Islam. Mereka sekadar meningkatkan frekuensi ibadah yang kini marak di mana-mana.
Sangat mengkhawatirkan, karena mahasiswa yang menggenggam alam tasawuf, akan menjauhi pengetahuan-pengetahuan duniawi. Waktu yang tersedia untuk belajar tentang berbagai disiplin ilmu, terkikis habis oleh hasrat menggebu rayuan tasawuf.
Jadi, kebatinan Islam (tanpa menunjuk salah satu alirannya) adalah sesuatu yang sangat sulit untuk ditembus mahasiswa. Karena kematangan usia dan kemapanan rohani belum imbang dalam kehidupannya. Emosi mahasiswa yang masih meledak-ledak, kalau dipertemukan dengan masalah-masalah ghaib, akan menimbulkan stres. Hingga, harmoni kejiwaan bisa miring karena secara psikologis terjadi pertentangan antara emosi, pikiran dan kerinduan menggapai Hakikat Muhammad. Kesegaran otak untuk berpikir pun akhirnya tertekan oleh ego pribadi demi mendekap sufisme.
Jika cakrawala ilmu dan teknologi macet perkembangannya akibat pengaruh mistik Islam, maka, dialektika ilmu tak akan melahirkan teori-teori yang lebih baik untuk peradaban umat Islam khususnya serta masyarakat dunia pada umumnya.
Umat Islam tak dapat berharap lahirnya “Prof. Dr. Abdus Salam” lain yang akan meraih anugerah Nobel. Kilatan ilmiah dari pelosok bumi Islam, kini mesti dibangkitkan. Bukan menghambat kecerdasan otak mahasiswa dengan dalih adanya debu materialisme atau polusi sekularisme. Apalagi, tanpa tasawuf pun, pancaran iman serta nilai Islam tak akan kisut.
Persoalan umur dalam menekuni kebatinan Islam, jelas sangat menentukan. Rasulullah, sebelum kenabiannya sering melakukan khalwat (menyendiri merenungkan kehidupan) di Gua Hira. Ketika itu, usianya mendekati 40 tahun. Umur yang telah mapan untuk berhadapan dengan Zat Ilahi. Bahkan, kekasih Allah itu, sudah pula bergelar al-Amin (terpercaya), saat menerima wahyu pertama. Al-Ghazali pun demikian, ia meninggalkan Baghdad ketika usianya hampir 40 tahun. Pengembaraan mencari kedamaian menjadikannya skeptis. Hingga akhirnya menemukan kepuasan lewat sufisme. Jadi, Al-Ghazali telah melengkapi dirinya dengan kematangan umur dan kemapanan jiwa saat berkeliling mencari kebenaran hakiki.
Masa Silam dan Terminator
Di era globalisasi ini, ketika fokus pikiran didominasi teknologi, umat Islam seolah tertinggal di segala bidang. Hanya kegemilangan masa lampau sering diungkap sebagai kejayaan gemerlap. Ini mengingatkan teori Moammar Khaddafi yang selalu berusaha menomor-satukan bangsa Arab, walau tanpa dukungan data ilmiah.
Presiden Libya itu pernah mengaku, menemukan bukti bila sastrawan klasik Inggris, William Shakespeare adalah asli Arab. Nama sebenarnya ialah Sheikh Zubair. Bahkan, negarawan ini mengakui kata democracy bukan bahasa Yunani Kuno, namun, bahasa Arab. Demo dari daimomah (pemerintahan), sedangkan cracy dari krasi (kursi).
Apa yang diungkap Khaddafi cuma guyon untuk mengangkat kembali prestise bangsa Arab yang terseok-seok di Abad Challeger ini. Hal tersebut tak berbeda dengan apa yang dialami umat Islam, mengungkit kejayaan masa silam. Hingga,
power aliran-aliran sempalan yang dapat menekan hempasan di masa lampau, juga diungkap sebagai prestasi gemilang. Padahal, sukma kemegahan abad silam, tak membuahkan hasil kalau tidak diiringi ketahanan diri berupa iman serta kerja keras untuk meraih ilmu dan teknologi. Ketahanan diri tersebut, tentu harus dijauhkan dari hal-hal yang justru menghambat kebugaran otak dalam berpikir. Sebab, tanpa mistik Islam pun -yang sudah jelas paham asing- umat Islam akan merasakan aroma kenikmatan dunia fana dan alam baqa.
Tasawuf dalam perjalanannya menembus ruang dan waktu, ibarat Terminator (pemusnah yang diperankan Arnold Schwarzenegger). Di satu sisi menghancur-leburkan, di lain pihak melindungi.
Dalam film Terminator bagian pertama, Cyborg T-800 diceritakan mau membunuh Sarah Connor yang bakal melahirkan John Connor. Sebab, anak Sarah tersebut akan menjadi pemimpin besar dunia pasca ledakan nuklir pada 29 Agustus 1997. Dalam Terminator 2: Judgement Day, manusia mesin T-800 ternyata sudah humanis dan malah, berusaha melindungi Sarah dan John dari gempuran T-1000.
Kebatinan Islam yang nyaris sama karakter dengan Terminator, banyak ditentukan the man behind the gun. Bisa sangat berbahaya jika tak diimbangi kematangan usia serta kemapanan rohani. Umur yang telah melewati hari demi hari untuk mencapai pribadi sejati, digambarkan pepatah Amerika Serikat: Life begins at 40. Karena saat itu, kematangan dan kemapanan sudah melewati masa spekulasi.
Sufisme pada dasarnya harus dikendalikan dengan irama kematangan dan nada kemapanan. Dan mistik Islam akan membakar musnah kalau syatahat (kata-kata ganjil atau ucapan latah) seperti punya al-Hallaj tak diimbangi kemampuan intelektualitas serta ketegaran pribadi. Sebab, ungkapan fana’ fillah (musnah dalam Allah) serta anal-haq (akulah realitas absolut atau Allah), sangat liar. Bahkan, tak membawa ke lingkaran insan kamil (manusia sempurna). Tetapi, menggiring ke arah rumus Fir’aun. Yang menenggelamkan iman dan membutakan pikiran tentang kemahabesaran Allah, Tuhan segala makhluk bernyawa dan benda alam semesta.
(Pelita, Sabtu, 28 September 1991)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar