Spiritual Postmodernisme
Oleh Abdul Haris Booegies
Mencari merupakan kegelisahan manusia selama nyawa masih terpatri dalam jasmani. Pencarian manusia senantiasa berputar dalam empat masalah yakni; materi, seks, budaya serta Tuhan.
Empat persoalan itu sering membuat manusia kehilangan pikiran dan nurani. Tanpa sadar, mereka kadang-kadang menginjak-injak hukum, menindas kedamaian maupun menciptakan berhala kemaksiatan. Hingga, harmoni puja-puji bagi The Creator of All Things (Sang Pencipta Segala Hal) atau kasih sayang kepada sesama makhluk acap pudar oleh nafsu jahanam terkutuk demi pemuasan gejolak kegelisahan.
New-Modernism, Pasca-modernitas atau Postmodernisme (sebuah penggambaran suatu situasi maupun kondisi yang telah lewat) yang biasa disingkat menjadi Posmo, termasuk sebuah kegelisahan manusia yang sekarang membius dunia intelektual Indonesia. Eksistensi Posmo yang anti teori serta anti metodologi, dilukiskan bakal membangun konstruksi budaya pemikiran yang sakti, dahsyat sembari mempesona.
Posmo sebagai trend baru yang makin cerewet berkat kegenitan jaring kapitalisme serta sesaknya pasar dunia, berakar dari pasca strukturalisme. Sebagai aliran pemikiran, Posmo merupakan respons atas kegagalan manusia menciptakan peradaban yang lebih baik. Protagonis Posmo melihat bahwa modernisme dalam perjalanannya tak kuasa menunjang era industrialisasi yang menggerayangi kehidupan. Padahal, modernitas dianggap punya kekuatan berupa idea of progress yang bisa merumuskan puncak keunggulan sains dan teknologi.
Kritik para penikmat Posmo terhadap modernisme sebagai gerakan filsafat serta ideologi ialah adanya penekanan pada rasionalitas individu. Kemudian hadirnya karakter filsafat positivisme dalam mendefinisikan realitas dunia, turut pula memeriahkan aksi protes peminat Posmo terhadap modernitas. Akibatnya, modernisme yang merupakan proses transformasi di segala aspek kehidupan, akhirnya terseok-seok lantaran Posmo terlalu menderu-deru dalam menguak dimensi-dimensi negatifnya. Apalagi, Posmo secara radikal menjungkirbalikkan ragam jenis teori kritik.
Dalam menapak jejak sejarah, modernitas bersama liberalisme, humanisme dan marxisme punya sistem pemikiran yang mirip yakni; sentralisme, totalitarian serta kesatuan. Sebagai proyek Barat, modernisme merupakan produk paradigma rasionalitas yang bersumber dari zaman Renaisance (abad ke-14 sampai ke-17) yang dibangun atas sendi antroposentrik dan era Pencerahan (nach Aufklarung), yang bersemboyan Sapere Aude (dare to know) pada abad ke-17. Proyek tersebut merupakan landasan untuk melepaskan diri dari keterbelakangan. Pada kadar lain, modernitas yang memegang tampuk kekuasaan budaya pemikiran, tidak sanggup memicu kesejahteraan umat manusia. Sebagaimana terlihat, kehidupan ternyata tidak terbebas dari belenggu ketimpangan. Peradaban modern yang kini sudah berselimut alam ultra modern, masih tetap menyimpan akar kejahatan (roots of evil) yang mengerikan.
Selama ini, konsep modern serta pra modern selalu mengacu pada kesatuan. Lalu manusia juga dipandang sebagai subyek yang bebas sekaligus memiliki otonomi untuk menentukan diri sendiri. Sedangkan perangkat analisis dan pengetahuan manusia yang ilham awalnya dari prinsip Cartesian, mulai disorot tajam. Cartesian sebagai sebuah istilah, merupakan penghormalan kepada Rene Descartes (Renatus Cartesius). Bapak Filsafat Barat itu, dalam tapak historis termaktub pula sebagai seorang tokoh peletak dasar konsep modernisme.
Epistimologi rasionalisme Cartesian adalah pemujaan terhadap subyek “aku” (I am the thinking thing) yang menyuburkan gejala rasa percaya diri Cartesian menjelaskan bahwa masyarakat bergerak secara homogen, mekanistik, deterministik serta linear. Anatomi tersebut identik dengan keteraturan berikut kedisiplinan. Pandangan yang merupakan warisan Descartes itu, sudah tertanam mantap dalam kebudayaan Barat.
Pada intinya, modernitas dipahami sebagai suatu tendensi yang merasionalkan semua aspek kehidupan. Hal tersebut lantaran pilar utama pemikiran modern bertumpu pada kekuatan rasionalitas (power of rasionality). Di samping menekankan rasionalitas, modernisme pun menghalalkan sekularisme, materialisme dan industrialisme. Sebab, segala variasi yang terjadi dalam kehidupan manusia diukur dengan perspektif rasionalistik teknik. Alhasil, Jacques Ellul, kritikus kebudayaan Barat asal Prancis yang punya animo pada homo faber (manusia dalam dimensi teknik), menamakannya The Technological Society (masyarakat teknologi).
Kriteria-kriteria secara rasio yang sistematik itu, lantas menghasilkan perubahan yang mengagumkan. Apalagi, pusat perhatian modernitas ialah “di sini dan sekarang” (hie et none) yang memungkinkan terjadinya penemuan maupun inovasi di bidang sains serta teknologi. Langkah budaya yang maju pesat tersebut, kemudian membuat rasio didaulat bisa memberikan manusia pengetahuan yang pasti mengenai kehidupan. Karena gesitnya perubahan itu diyakini tidak lepas dari prinsip modern berupa teknologi canggih, inovasi fungsi maupun program akurat yang pada akhirnya melibas virus keterbelakangan.
Superioritas rasio sebagai basis sistem berpikir Cartesian, lalu ditentang oleh Michel Foucault. Tokoh strukturalisme tersebut memperlihatkan bahwa saat ini masyarakat terus menekankan wujud spesial personal dan nilai-nilai subyek. Individu itu muncul bukan sebagai subyek bebas tanpa beban, namun, sebuah permainan rekayasa jaring-jaring kekuasaan.
Posmo merupakan aksi pemberontakan terhadap modernisme global. Posmo membuncah sesudah gebyar pertempuran dalam Perang Dunia II yang menandai hadirnya masyarakat pasca industry. Posmo yang begitu membius memiliki prinsip dasar berupa penolakan terhadap kepastian sebuah teori. Posmo mendengungkan bahwa yang pasti hanya ketidakpastian. Posmo menggemakan pula kalau keberadaannya merupakan alternatif pasti.
Dewasa ini, Posmo yang duduk di atas singgasana kekuasaan budaya pemikiran dengan tegas menuding modernitas gagal dalam pentas sejarah umat manusia. Elemen tersebut akhirnya menjadikan Posmo sebagai antitesis. Sebab posisinya merupakan reaksi atas modernisme. Gugatan ekstrem alias reaksi radikal terhadap modernitas, bersumbu dari rusaknya budaya modern. Padahal, modernisme dipromosikan oleh Auguste Comte bersama Herbert Spencer akan sanggup membentangkan kesejahteraan, kehangatan, rasa aman serta nyaman bagi tiap individu di planet ini.
Di atas pijakan Posmo, Foucault lantas melihat jika alam dan manusia adalah organisme yang terus berproses. Sedangkan rasio dianggapnya terkurung oleh keterbatasan dalam menyelesaikan keruwetan masalah. Di sisi lain, rasio tidak sanggup menyerap sebuah persoalan secara total optimal.
Mitos Sistem
Posmo berasal dari gerakan seni serta filsafat. Gejala Posmo mulai muncul pada 1960-an. Istilah yang terasa seru, menggelegar dan segar itu sangat populer di New York setelah deretan artis, penulis serta kritikus memakainya. Para seniman dan intelektual yang terhipnotis oleh mantra-mantra Posmo tersebut antara lain Robert Rauschenberg, Susan Sontag, Ihab H Hassan, Leslie Fielder, John Cage, Donald Barthelme serta William S Burroughs.
Sebelumnya, keberadaan Posmo mulai terasa pada filsafat Friedrich Nietzsche. Bahkan, pada 1870, pelukis John Watkins Chapman sudah menghembuskan ungkapan Posmo untuk menunjuk aliran avant-garde.
Pada 1934, Frederico de Onis menggunakan istilah Posmo sebagai reaksi terhadap modernisme. Fokus yang dibidik Onis yaitu untuk memperkenalkan secuil periode di bidang sastra, terutama sajak Spanyol dan Amerika Latin. Sedangkan Arnold Toynbee dalam kitab A Study of History yang diterbitkan pada 1947, juga sudah menyebut Posmo. Ia malahan berspekulasi bila Posmo sudah ada sejak 1875. Rudolf Pannwitz pada 1947, memakai pula ungkapan Posmo dalam buku Die Krisis der Europaischen Kultur.
Sosok yang dihormati sebagai kaum Postmodernis ialah Jean Francois Lyotard (pemikir kontemporer Prancis), Michel Foucault (filsuf pascastrukturalis), Jacques Derrida (filosof sayap kiri di Perancis sekaligus paus poststrukturalis), Jean Baudrillard (pemikir pasca-Althusserian), Richard Rorty (pendekar neo-pragmatisme Amerika), Frederic Jameson, Herbert Marcuse, Thomas Kuhn serta Gianni (Gianteresio) Vattimo.
Dalam literatur filsafat, istilah Posmo diformulasikan pertama kali oleh Lyotard. Pada 1977, is menulis La Condition Postmoderne: Rapport sur le Savoir (The Post-Modern Condition: A Report on Knowledge). Kitab yang meneropong adanya perubahan-perubahan dalam masyarakat industri maju lantaran pengaruh teknologi mutakhir itu, ditulis untuk Dewan Universitas Quebec, Kanada. Buku karya Lyotard tersebut, juga menjadi pijakan disahkannya konsep filosofi dan teoritis atas Posmo.
Konsep orientasi Lyotard yang meletakkan dasar-dasar filosofi bagi Posmo dalam kitab itu, mengacu pada pluralitas serta heterogenitas. Arkian, jangkauan yang diraih Posmo terasa lugas. Soalnya, tidak lagi yakin oleh kesatuan, melainkan bentuknya berubah menjadi multivarian sebagai jawaban atas belenggu mitos sistem totaliter. Posmo yang berciri polisentrisme menekankan
berbagai aspek pemikiran. Sebagai misal multivocality, pluralisme, fragmentaris, heterogenitas, indeterminasi, skeptisisme, ambiguitas, kontemporer, refleksivitas, partisipasi, proses, kontradiksi, inkosistensi, paradoks, ambivalensi, dilematik, relativisme yang tegar, eklektisisme (gabungan nilai-nilai yang baik dan benar) atau ketidakpastian suatu karya sintesis dari aneka pergolakan pemikiran.
Sebagai fenomena diskursus filosofis serta kultural, Posmo beranggapan bahwa tidak ada satu pun hal yang universal, yang ada cuma nilai-nilai lokal yang majemuk. Posmo pun tidak mengakui eksistensi di balik materi, yang tersembul hadir hanya presentasi.
Wawasan Posmo juga menilik kalau kehidupan manusia pada dasarnya berpusat pada pergulatan dengan representasi terhadap realita. Dengan demikian, Posmo yang memandang kebenaran sebagai periode dari metodologi tertentu yang bersifat plural, pada intinya didasari sifat dekonstruksi (membongkar). Hatta, Posmo sebagai respons terhadap modernisme dianggap jeli serta tanggap untuk memacu pergulatan pemikiran maupun memicu kesejahteraan umat manusia. Apalagi, Posmo adalah gerakan intelektual (intellectual movement). Hal tersebut dipertegas oleh Brenda K. Marshall, penulis buku Teaching the Postmodern: Fiction and Theory, yang menuturkan bahwa Posmo merupakan gerakan (movement) dan bukan aliran (ism).
Posmo yang anti pengetahuan rasional seraya menolak aspek defenitif, kemudian menjadi “barang iseng yang sedap digombali”. Daya tarik eksotiknya bagi kalangan intelektual sangat menggoyang hasrat. Apalagi, paradigma baru yang tak punya kesatuan itu sangat lantang menggugat segala macam kemapanan. Posmo juga mengundang selera kaum intelektual karena eksistensinya yang memandang peristiwa-peristiwa secara terpisah sekaligus tidak saling berkait. Masing-masing memiliki kekhasan yang unik, serba relatif serta sukar untuk diprediksi.
Posmo yang cenderung memandang realitas sebagai kemajemukan, akhirnya menjadi simbol pemberontakan terhadap kecenderungan-kecenderungan modernitas pada pelbagai taraf. Kehadirannya pun diidentikkan dengan ambruknya budaya modern yang dibangun di atas tiga unsur modernisme, yakni; pikiran, teknologi dan antroposentrisme. Hingga, Posmo yang merupakan bagian inheren dari modernitas, dianggap penentang egalitarisme sekaligus wadah untuk meringkus segala wujud tirani.
Primadona Intelektual
Posmo yang membongkar rasionalitas, obyektivitas serta kebenaran, dipilah menjadi dua bagian oleh Pauline Marie Rosenau. Penulis kitab Post-Modernism and the Social Science tersebut, membaginya menjadi Posmo Skeptis dan Posmo Afirmatif. Posmo Skeptis diyakini terbawa oleh gelombang pemikiran nihilisme. Sebab, aliran Posmo Skeptis menunjukkan hadirnya kontradiksi dalam teori apa saja. Sementara Posmo Afirmatif dianggap berpandangan atomistis lantaran mengukur teori kecil dalam rincian mikro yang cakupannya terbatas. Walhasil, memunculkan wajah teori yang jarang masuk hitungan.
Diskursus Posmo yang multikompleks, akhirnya diperkirakan bakal melahirkan totalitas sosial baru setelah tewasnya rezim modernisme. Apalagi, konsep pengertian Posmo sangat berguna untuk menjelaskan gejala di bidang seni, sastra, teater, film, fotografi, musik, arsitektur, filsafat, fisika, antropologi, politik, sejarah, sosiologi, ekonomi atau agama.
Sebagai tata pembaharuan, Posmo tidak mengakui universalisme. Perspektif dalam filsafat yang menggugat kemapanan itu, justru menentang sistematisasi serta narasi besar (grand narrative) semacam Rasionalisme, Liberalisme, Humanisme, Kapitalisme, Sosialisme, dialektika roh milik George Wilhelm Friedrich Hegel, revolusi proletar dari empu komunis Karl Marx maupun filsafat pencerahan (Enlightenment).
Posmo yang membangun pluralisme-fundamental sambil menolak sistematisasi epistenologi tradisional, juga sarat dengan pencampur-adukan identitas, ketidakteraturan sistem dan orientasi yang tak seragam.
Sebagai sebuah gerakan kultural, maka, pada hakikatnya Posmo adalah penggembira dalam kosmos kegelisahan manusia. Kehadiran Posmo cuma untuk memekarkan sifat “mencari” manusia. Pasalnya, di zaman pra modern serta era modern, manusia tidak kuasa menolak munculnya pertentangan-pertentangan dalam konstruksi kehidupan. Pergolakan pemikiran tersebut ibarat sophia perennis (kebijaksanaan abadi) selama spekulasi akal pikiran masih berfungsi.
Adanya perselisihan paham dalam bangunan peradaban, lalu menjadikan Posmo sebagai wadah pemikiran yang cocok untuk sebuah zaman yang mendurhakai modernisme. Kehadirannya direstui lantaran adanya pembenaran berupa pembenturan rupa-rupa budaya pemikiran yang saling berhimpit.
Posmo akhirnya dibaiat sebagai sebuah dinamika pemikiran yang membawa angin segar nan semerbak. Kelak, pada titik tertentu, Posmo pun akan bermetamorfosis menjadi Neo-Postmodernitas. Ihwal itu terjadi akibat tersemburnya ketidakmampuan Posmo dalam melindungi kesejahteraan kehidupan dari keterkutukan-keterkutukan yang merongrong fitrah (the center) manusia.
Barisan intelektual yang pro-Posmo bakal dilapis secara ketat oleh mazhab yang kontra Posmo. Sebab, dunia ultra modern sudah jenuh berposmoria dalam pesta hura-hura spektrum pemikiran. Wawasan akan beralih ke wacana yang lebih cerdas, canggih serta manusiawi. Arkian, Neo-Posmo bakal pula menjadi primadona kaum intelektual di masa depan untuk kemudian dibantai lagi oleh isme yang lebih spektakuler.
Pada dasarnya, Posmo yang memicu pergolakan perspektif pemikiran tersebut timbul untuk menghangatkan nafsu “mencari” manusia dalam menopang peradaban. Maklum, esensi hakiki Posmo sebagai konsep maupun gerakan kultural, sosiologis, filosofis atau intelektual adalah pencarian sistem kehidupan yang lebih mutakhir.
Tanpa adanya mode Posmo sebagai agenda wacana (discourse) filsafat maupun demam terhadap isme-isme dalam pemikiran, berarti manusia mundur dari saripati keberadaannya sebagai “makhluk pencari”. Hatta, substansi Posmo yang kini menjadi pandangan baru serta dialektika pencerahan, pada intinya sekadar memuaskan naluri “mencari” manusia. Sebab, manusia adalah hamba yang hidup untuk menemukan materi (halal), seks (suci), budaya (agung) dan Tuhan (Allah).
(PANJI MASYARAKAT NO, 790, TAHUN XXXV, 20-29 ZULQAIDAH 1414 H, 1-10 MEI 1994)