Virus Darwin di Sepak Bola
Oleh Abdul
Haris Booegies
Selama Piala Eropa 2012, kita disuguhi
fenomena menarik. Bukan figur Ronaldo
yang diteriaki Messi oleh suporter lawan.
Bukan pula merek celana dalam yang dipamerkan tombak Denmark Nicklas
Bendtner saat selebrasi gol.
Gejala menonjol yang menggoyang kalbu
yakni rasisme. Selama perhelatan sepak
bola dalam turnamen akbar sekelas Piala Eropa, baru kali ini rasialisme begitu
berdenging-dengung.
Hooligans
Inggris yang amburadul serta nekat pun gentar melawat ke Polandia-Ukraina. Mereka mafhum jika di dua negara
penyelenggara Piala Eropa itu, tumbuh subur rasisme. Daripada bonyok ditimpuk di negeri orang,
banyak pendukung Inggris lebih memilih menonton di negaranya.
Inggris termasuk repot. Sebab, skuad the Three Lions diperkuat beberapa pilar berkulit hitam. Sementara di Italia ada Mario Balotelli yang
urakan. Striker Manchester City berdarah Ghana tersebut dianggap jenius,
tetapi, sedikit gila. Balotelli bersama
saudaranya sempat menyelinap ke penjara wanita.
Ia tak punya maksud lain kecuali sekedar iseng. Betul-betul gila anak itu.
Pada Ahad, 10 Juni 2012 kala Italia kontra
Spanyol di Stadion Arena Gdanks, Polandia, Balotelli mengalami pelecehan
rasial. Sebagian pendukung Spanyol
bernyanyi dengan suara mirip monyet tiap bomber Gli Azzurri tersebut menguasai bola.
Di Poznan pada Kamis, 14 Juni 2012,
tatkala Italia melawan Kroasia, kembali Balotelli diolok-olok. Perlakuan rasialis ditunjukkan sekitar 300
suporter Kroasia kepada Balotelli.
Bahkan, pisang sempat dilempar ke lapangan sebagai simbol makanan
favorit monyet.
Di Stadiun Miejski, kota Krakow, Polandia,
pemain berkulit gelap Belanda yang tengah latihan diejek. Mereka diledek dengan menirukan suara monyet.
“Kalau ini terjadi di pertandingan, kami
akan meminta wasit agar mengizinkan kami meninggalkan lapangan”, kata kapten
Mark van Bommel.
UEFA menilai insiden itu sebagai protes
fans. Soalnya, Krakow bukan empat kota
tuan rumah Piala Eropa di Polandia.
Murka van Bommel pun membuncah oleh alasan sekenanya tersebut.
Ukraina sebagai negara Eropa Timur pecahan
Uni Soviet, juga diakui bukan negara toleran bagi kulit berwarna. Di kota Lviv, pendukung sebuah klub sepakbola
doyan mengibarkan bendera Nazi saat pertandingan berlangsung.
Teori Ateis
Atlet profesional sekelas Luis Suarez
(Liverpool) maupun John Terry (Chelsea), mengidap pula sindrom rasial. Keduanya menghina pemain bola yang berkulit
kelam.
Pribadi-pribadi modern di milenium ketiga
ini seolah tercuci otak bila kulit hitam bukan orang. Sosok manusia sebenarnya cuma yang berkulit
putih.
Pada esensinya, semua suku dan bangsa
memiliki perspektif berbeda terhadap manusia dari luar etnisnya. Orang Bugis, umpamanya, memandang aneh
bule. Maklum, kulitnya dianggap pucat
bak lilin. Sedangkan Bugis berkulit sawo
matang. Hingga, kulit putih dinilai
bukan keturunan To Manurung (mahkluk dari langit yang menjadi cikal manusia
Bugis).
Indian di Amerika menghembuskan
mitos. Mereka memandang kulit putih
(Eropa) sekaligus kulit hitam (Afrika) sebagai anatomi salah model. Alkisah, saat tuhan mendesain manusia,
terjadi kecerobohan bin kelalaian. Tuhan
terlalu banyak memercikkan api pada prototipe awal manusia. Hasilnya fatal, makhluk itu gosong. Jadilah ia berkulit hitam. Purwarupa lain menjalani proses perapian,
namun, apinya redup. Salah lagi. Makhluk tersebut belum matang. Terpaksa ia berkulit putih. Dua kesalahan itu membuat tuhan
berhati-hati. Model ketiga diberi api
yang tidak besar, juga tiada kecil.
Hasilnya sip. Warnanya
kemerah-merahan laksana kulit bayi yang baru lahir. Voila,
jadi dech orang Indian.
Hikayat kaum Indian tentang muasal warna
kulit, kurang populer ketimbang postulat Eropa terhadap Afrika. Kulit putih begitu jemawa. Mereka seolah menganggap hanya dirinya
manusia.
Dari mana rasialisme bermula? Jawabnya tentu dari teori evolusi. Charles Darwin telah melukai bermiliar
manusia gara-gara teori evolusi. Darwin
memang tak secara terang-benderang menjabarkan bahwa manusia berasal dari
kera. Pasalnya, ada missing link (mata rantai yang hilang). Pendukung teori evolusi dari kalangan ateis
sesungguhnya yang berkampanye secara besar-besaran bahwa manusia berasal dari
kera.
Melindungi Sepak Bola
Di zaman sekarang, teori evolusi
sebetulnya sudah aus, lapuk serta khatam.
Teori evolusi dinilai tidak sejalan dengan semangat sains dan teknologi. Seleksi alam serta mutasi mustahil dapat
mengubah satu spesies menjadi spesies lain.
Sampai hari ini, tiada satu alibi yang
menerangkan bahwa seleksi alam membuat makhluk hidup berevolusi. Biologi modern menampik secara tegas teori
evolusi. Apalagi, tiada fosil sanggup
membuktikan jika manusia berasal dari kera.
Fosil-fosil yang dipertontonkan tak ada
hubungannya kalau manusia berasal dari kera.
Fosil-fosil yang dipropagandakan berusia ribuan tahun, malahan tidak
punya bukti sahih.
Baru berumur puluhan tahun, sontak
digembar-gemborkan ribuan tahun. Ini
serupa dengan arca-arca yang dipamerkan di museum. Dilabeli berusia ratusan tahun. Padahal, dipahat oleh pematung tiga tahun
silam.
Kini, teori evolusi telah merasuk ke sukma
warga bule. Mereka menatap rendah negro
sebagai orang terdekat dari teori evolusi.
Kulit hitam diremehkan karena bodoh, miskin dan tak beradab. Berbeda dengan kulit putih yang superior,
dominan, cerdas sembari paham tata krama.
Pada intinya, teori evolusi mencabik-cabik
rasa kemanusiaan. Teori evolusi menodai
kehormatan manusia. Bahkan, teori
evolusi menanamkan rasa congkak di hati komunitas Eropa. Hatta, orang yang berkulit hitam dipandang
pecundang. Alam bawah sadar mereka
disusupi risalah sungsang bila negro tiada lain titisan monyet.
Kala Balotelli berlari membawa bola menusuk
pertahanan lawan, di tribun penonton terdengar suara monyet. Bangsa kulit putih ternyata lebih tidak
beradab. Sebab, tak ada pribadi modern
mau melakukan perbuatan tercela dengan menistai manusia, apa pun bentuknya!
Golongan kulit putih rupanya lebih bodoh
dibandingkan negro. Soalnya, bule
dikibuli oleh teori evolusi yang tidak memiliki spirit ilmiah. Charles Darwin telah membodoh-bodohi orang
Eropa dengan sebuah khayalan semu.
Balotelli, Suarez bersama Terry sama-sama
makhluk Tuhan. Struktur genetis
ketiganya sebangun serta selaras. Di
tengkoraknya ditanamkan otak untuk cerdas.
Di rongga dadanya dibenamkan hati untuk saling menghargai. Alhasil, mampu melindungi sepak bola dari
pelecehan rasial. Bukan saling
mencela. Apalagi, ada otak yang bisa
mengendus omong kosong teori Darwin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar