Selasa, 14 Juli 2015

Virus Darwin di Sepak Bola



Virus Darwin di Sepak Bola
Oleh Abdul Haris Booegies

     Selama Piala Eropa 2012, kita disuguhi fenomena menarik.  Bukan figur Ronaldo yang diteriaki Messi oleh suporter lawan.  Bukan pula merek celana dalam yang dipamerkan tombak Denmark Nicklas Bendtner saat selebrasi gol.
     Gejala menonjol yang menggoyang kalbu yakni rasisme.  Selama perhelatan sepak bola dalam turnamen akbar sekelas Piala Eropa, baru kali ini rasialisme begitu berdenging-dengung.
     Hooligans Inggris yang amburadul serta nekat pun gentar melawat ke Polandia-Ukraina.  Mereka mafhum jika di dua negara penyelenggara Piala Eropa itu, tumbuh subur rasisme.  Daripada bonyok ditimpuk di negeri orang, banyak pendukung Inggris lebih memilih menonton di negaranya.
     Inggris termasuk repot.  Sebab, skuad the Three Lions diperkuat beberapa pilar berkulit hitam.  Sementara di Italia ada Mario Balotelli yang urakan.  Striker Manchester City berdarah Ghana tersebut dianggap jenius, tetapi, sedikit gila.  Balotelli bersama saudaranya sempat menyelinap ke penjara wanita.  Ia tak punya maksud lain kecuali sekedar iseng.  Betul-betul gila anak itu.
     Pada Ahad, 10 Juni 2012 kala Italia kontra Spanyol di Stadion Arena Gdanks, Polandia, Balotelli mengalami pelecehan rasial.  Sebagian pendukung Spanyol bernyanyi dengan suara mirip monyet tiap bomber Gli Azzurri tersebut menguasai bola.
     Di Poznan pada Kamis, 14 Juni 2012, tatkala Italia melawan Kroasia, kembali Balotelli diolok-olok.  Perlakuan rasialis ditunjukkan sekitar 300 suporter Kroasia kepada Balotelli.  Bahkan, pisang sempat dilempar ke lapangan sebagai simbol makanan favorit monyet.
     Di Stadiun Miejski, kota Krakow, Polandia, pemain berkulit gelap Belanda yang tengah latihan diejek.  Mereka diledek dengan menirukan suara monyet.
     “Kalau ini terjadi di pertandingan, kami akan meminta wasit agar mengizinkan kami meninggalkan lapangan”, kata kapten Mark van Bommel.
     UEFA menilai insiden itu sebagai protes fans.  Soalnya, Krakow bukan empat kota tuan rumah Piala Eropa di Polandia.  Murka van Bommel pun membuncah oleh alasan sekenanya tersebut.
     Ukraina sebagai negara Eropa Timur pecahan Uni Soviet, juga diakui bukan negara toleran bagi kulit berwarna.  Di kota Lviv, pendukung sebuah klub sepakbola doyan mengibarkan bendera Nazi saat pertandingan berlangsung.

Teori Ateis
     Atlet profesional sekelas Luis Suarez (Liverpool) maupun John Terry (Chelsea), mengidap pula sindrom rasial.  Keduanya menghina pemain bola yang berkulit kelam.
     Pribadi-pribadi modern di milenium ketiga ini seolah tercuci otak bila kulit hitam bukan orang.  Sosok manusia sebenarnya cuma yang berkulit putih.
     Pada esensinya, semua suku dan bangsa memiliki perspektif berbeda terhadap manusia dari luar etnisnya.  Orang Bugis, umpamanya, memandang aneh bule.  Maklum, kulitnya dianggap pucat bak lilin.  Sedangkan Bugis berkulit sawo matang.  Hingga, kulit putih dinilai bukan keturunan To Manurung (mahkluk dari langit yang menjadi cikal manusia Bugis).
     Indian di Amerika menghembuskan mitos.  Mereka memandang kulit putih (Eropa) sekaligus kulit hitam (Afrika) sebagai anatomi salah model.  Alkisah, saat tuhan mendesain manusia, terjadi kecerobohan bin kelalaian.  Tuhan terlalu banyak memercikkan api pada prototipe awal manusia.  Hasilnya fatal, makhluk itu gosong.  Jadilah ia berkulit hitam.  Purwarupa lain menjalani proses perapian, namun, apinya redup.  Salah lagi.  Makhluk tersebut belum matang.  Terpaksa ia berkulit putih.  Dua kesalahan itu membuat tuhan berhati-hati.  Model ketiga diberi api yang tidak besar, juga tiada kecil.  Hasilnya sip.  Warnanya kemerah-merahan laksana kulit bayi yang baru lahir.  Voila, jadi dech orang Indian.
     Hikayat kaum Indian tentang muasal warna kulit, kurang populer ketimbang postulat Eropa terhadap Afrika.  Kulit putih begitu jemawa.  Mereka seolah menganggap hanya dirinya manusia.
     Dari mana rasialisme bermula?  Jawabnya tentu dari teori evolusi.  Charles Darwin telah melukai bermiliar manusia gara-gara teori evolusi.  Darwin memang tak secara terang-benderang menjabarkan bahwa manusia berasal dari kera.  Pasalnya, ada missing link (mata rantai yang hilang).  Pendukung teori evolusi dari kalangan ateis sesungguhnya yang berkampanye secara besar-besaran bahwa manusia berasal dari kera.

Melindungi Sepak Bola
     Di zaman sekarang, teori evolusi sebetulnya sudah aus, lapuk serta khatam.  Teori evolusi dinilai tidak sejalan dengan semangat sains dan teknologi.  Seleksi alam serta mutasi mustahil dapat mengubah satu spesies menjadi spesies lain.
     Sampai hari ini, tiada satu alibi yang menerangkan bahwa seleksi alam membuat makhluk hidup berevolusi.  Biologi modern menampik secara tegas teori evolusi.  Apalagi, tiada fosil sanggup membuktikan jika manusia berasal dari kera.
     Fosil-fosil yang dipertontonkan tak ada hubungannya kalau manusia berasal dari kera.  Fosil-fosil yang dipropagandakan berusia ribuan tahun, malahan tidak punya bukti sahih.
     Baru berumur puluhan tahun, sontak digembar-gemborkan ribuan tahun.  Ini serupa dengan arca-arca yang dipamerkan di museum.  Dilabeli berusia ratusan tahun.  Padahal, dipahat oleh pematung tiga tahun silam.
     Kini, teori evolusi telah merasuk ke sukma warga bule.  Mereka menatap rendah negro sebagai orang terdekat dari teori evolusi.  Kulit hitam diremehkan karena bodoh, miskin dan tak beradab.  Berbeda dengan kulit putih yang superior, dominan, cerdas sembari paham tata krama.
     Pada intinya, teori evolusi mencabik-cabik rasa kemanusiaan.  Teori evolusi menodai kehormatan manusia.  Bahkan, teori evolusi menanamkan rasa congkak di hati komunitas Eropa.  Hatta, orang yang berkulit hitam dipandang pecundang.  Alam bawah sadar mereka disusupi risalah sungsang bila negro tiada lain titisan monyet.
     Kala Balotelli berlari membawa bola menusuk pertahanan lawan, di tribun penonton terdengar suara monyet.  Bangsa kulit putih ternyata lebih tidak beradab.  Sebab, tak ada pribadi modern mau melakukan perbuatan tercela dengan menistai manusia, apa pun bentuknya!
     Golongan kulit putih rupanya lebih bodoh dibandingkan negro.  Soalnya, bule dikibuli oleh teori evolusi yang tidak memiliki spirit ilmiah.  Charles Darwin telah membodoh-bodohi orang Eropa dengan sebuah khayalan semu.
     Balotelli, Suarez bersama Terry sama-sama makhluk Tuhan.  Struktur genetis ketiganya sebangun serta selaras.  Di tengkoraknya ditanamkan otak untuk cerdas.  Di rongga dadanya dibenamkan hati untuk saling menghargai.  Alhasil, mampu melindungi sepak bola dari pelecehan rasial.  Bukan saling mencela.  Apalagi, ada otak yang bisa mengendus omong kosong teori Darwin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People